tirto.id - Pemerintah Indonesia sudah resmi memulai program vaksinasi Covid-19, dengan memakai vaksin Sinovac sejak 13 Januari 2021 lalu. Vaksinasi dimulai dengan penyuntikan vaksin Covid-19 kepada Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat tinggi negara.
Penyuntikan vaksin Covid-19 buatan Sinovac dilakukan dua kali atau dua dosis. Untuk Jokowi dan sejumlah pejabat lain, penyuntikan vaksin Sinovac yang kedua sudah dilakukan pada 27 Januari, atau 2 pekan setelah suntikan pertama.
Pemerintah RI merencanakan jadwal vaksinasi Covid-19 berlangsung 15 bulan, sejak Januari 2021 sampai Maret 2022. Dengan target vaksinasi kepada 181,5 juta warga berusia di atas 18 tahun, Indonesia membutuhkan setidaknya 426 juta dosis vaksin.
Kemenkes RI sudah menetapkan 7 jenis vaksin Covid-19 yang akan digunakan di Indonesia. Daftar 7 jenis vaksin corona di Indonesia itu, sesuai produsennya: Vaksin Sinovac, Vaksin AstraZeneca, Vaksin Pfizer, Vaksin Novavax, Vaksin Sinopharm, Vaksin Moderna, dan Vaksin buatan Bio Farma.
Vaksin Sinovac (CoronaVac) merupakan yang pertama datang ke Indonesia. Setidaknya, Sinovac sudah mengirim 18 juta dosis vaksin corona, 15 juta di antaranya bahan yang akan diproduksi Bio Farma. Vaksin buatan perusahaan farmasi Tiongkok ini dikembangkan dengan platform inactivated viruses, atau virus yang sudah dilemahkan.
Selama vaksinasi tahap pertama, selain pejabat pemerintahan, sasaran utama penyuntikan vaksin Covid-19 adalah 1,4 juta tenaga kesehatan. Setelah itu, menurut Sekjen Kemenkes Oscar Primadi, vaksin corona akan diberikan kepada 38,99 juta petugas pelayanan publik. Selanjutnya, sasaran vaksinasi gratis tersebut adalah 63,8 juta masyarakat kategori rentan.
Efek Setelah Vaksin Corona dari Sinovac Disuntikkan
Efek samping setelah penyuntikan vaksin Sinovac jadi pertanyaan publik di saat proses vaksinasi corona tahap awal dijalankan pemerintah.
Sebelum digunakan massal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyatakan bahwa vaksin Sinovac memenuhi syarat menerima persetujuan penggunaan darurat (EUA), baik terkait dengan keamanan, khasiat (efikasi), hingga efektivitasnya.
Kepala BPOM Penny Lukito menyatakan keamanan vaksin Sinovac dibuktikan berdasarkan laporan hasil uji klinis tahap 3 (akhir) di Indonesia, Turki, dan Brasil, yang dievaluasi lembaganya.
"Hasil evaluasi menunjukkan CoronaVac [Vaksin Sinovac] aman, dengan kejadian efek samping yang ditimbulkan bersifat ringan hingga sedang, yaitu efek samping lokal berupa nyeri, indurasi [iritasi], kemerahan dan pembengkakan. Selain itu terdapat efek samping sistemik berupa myalgia [nyeri otot], fatigue, dan demam," ujar Penny pada 11 Januari lalu.
Sejumlah efek samping itu adalah kondisi yang mungkin dialami oleh peserta vaksinasi Covid-19, yang menerima suntikan vaksin Sinovac. Para peserta vaksinasi tidak selalu merasakan efek itu.
Presiden Jokowi misalnya, setelah menerima suntikan vaksin Sinovac yang kedua kali pada Rabu (27/1/2021) lalu, mengaku hanya sempat merasakan pegal-pegal di badannya.
"Sama seperti yang dilakukan dua minggu yang lalu, tidak terasa. Kalau dulu setelah 2 jam hanya pegal-pegal, sekarang saya kira juga sama saja. Saya juga aktivitas ke mana-mana juga," begitu kata Jokowi, seperti dikutip dari laman Setkab.
Sampai 20 Januari 2021, Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) juga baru menerima 30 laporan terkait efek Vaksin Sinovac. Tidak ada reaksi serius yang memerlukan perawatan intensif setelah tenaga kesehatan (nakes) mendapat vaksin COVID-19 pertama kali.
Ketua Komnas KIPI, Profesor Hindra Irawan Satari menyatakan efek setelah vaksinasi yang sejauh ini dilaporkan bersifat ringan, sesuai dengan yang dilaporkan dalam sejumlah jurnal ilmiah maupun informasi dari negara lain.
"Semua kondisinya sehat. Jadi, tak ada yang memerlukan perhatian khusus sampai saat ini," kata dia dalam siaran resmi Satgas Penanganan Covid-19 pada 21 Januari lalu.
Sementara Muhammad Fajri Adda’i, dokter dan tim penanganan COVID-19 yang telah menerima vaksinasi Covid-19 dosis pertama mengaku tidak merasakan reaksi yang tidak wajar.
"Tenaga kesehatan yang lain ada yang mengalami demam, nyeri, lemas, ada yang jadi merasa lapar terus, hingga ngantuk. Reaksi ini wajar dan masuk dalam kategori ringan," ujarnya.
Pengakuan lain juga disampaikan oleh Nita Legiantini, seorang dokter Puskesmas Ngagel Rejo yang menerima penyuntikan vaksin corona di Surabaya, pada 23 Januari lalu. Dua hari usai menerima suntikan vaksin itu, dokter Nita mengaku tidak mengalami efek samping apa pun.
"Tidak terasa apa-apa. Panas di tempat suntikan, demam, mual, muntah, gatal-gatal, sesak, pusing, semua [efek itu] tidak ada. Jadi saya bisa beraktivitas kembali seperti biasanya," kata Nita pada 25 Januari lalu, seperti diberitakan Antara.
Keterangan soal efek setelah menerima penyuntikan vaksin Sinovac juga disampaikan oleh Wakil Walikota Yogya sekaligus Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Yogyakarta, Heroe Poerwadi.
Heroe yang mendapat suntikan pertama vaksin COVID-19 pada 15 Januari 2021, mengaku dirinya hanya sempat merasa cepat lelah dan mengantuk setelah menjalani vaksinasi.
"Badan cepat lelah dan mudah mengantuk. Terkadang merasa ada bagian tubuh yang panas, tapi tidak sampai menyebabkan demam tinggi," kata Heru, juga seperti diwartakan Antara.
Kendati demikian, Heroe mengatakan, kondisi itu tidak sampai mengganggu kegiatan sehari-hari atau menghambat dia dalam menjalankan tugas sebagai wakil wali kota. "Saya juga masih sering bersepeda, meskipun saat ini lebih banyak dilakukan pada malam hari," kata dia pada 23 Januari.
Respons dari tubuh masing-masing orang bisa berbeda-beda terhadap suntikan vaksin Sinovac. Jika Wakil Walikota Yogyakarta merasakan efek ringan, Bupati Sleman Sri Purnomo justru tidak.
"Saya tadi selesai divaksin dan menunggu sampai 30 menit setelah disuntik. Setelah disuntik saya tidak merasakan apa-apa, mudah mudahan nanti tidak ada efek seperti gatal, pusing dan lainnya," kata Sri Purnomo seusai menjalani vaksinasi, pada 14 Januari 2021.
Laporan Tirto bertajuk "Bagaimana Rasanya Divaksin COVID-19? Cerita Relawan Uji Klinis" pada 14 Januari 2021, juga memuat pengakuan dari sejumlah orang yang menjadi relawan uji klinis tahap 3 untuk vaksin Sinovac di Bandung.
Misalnya, Herlina Agustin, seorang relawan uji klinis, hanya mengalami sedikit pegal di lengannya yang disuntik. Pegal itu tak bertahan lama lama dan hilang dengan sendirinya. Hal itu dialami oleh relawan vaksin lain di kloter yang sama dengannya. Pada penyuntikan berikutnya dua minggu berselang, pegalnya semakin tak terasa.
Relawan lain yang menceritakan pengalamannya adalah Asanilta Fahda, yang bersama beberapa anggota keluarganya yang lain menjadi relawan uji klinis vaksin Sinovac di Bandung.
Nilta mengaku selain nyeri otot, setelah divaksin ia merasa pusing hingga hampir pingsan. Semua gejala tersebut, baru hilang beberapa menit setelah ia menerima ibuprofen.
Nilta menduga efek itu terjadi karena ketika disuntik ia sedang dalam kondisi tidak fit: kurang tidur, tidak sarapan, dan menstruasi hari pertama. Buktinya, pada penyuntikan kedua, ia mengaku tidak mengalami reaksi seperti itu lagi, selain nyeri otot.
"Enggak perlu takut tentang efek sampingnya karena itu normal banget. Yang perlu ditekankan kondisi tubuh harus fit, untuk menghindari efek samping yang lebih intens," ujar Nilta kepada reporter Tirto, Mohammad Bernie, pada 13 Januari lalu.
Meskipun demikian, Kemenkes RI tetap memantau efek apa saja yang dialami oleh mereka yang sudah menerima penyuntikan Covid-19. Hal ini untuk mengantisipasi adanya efek serius yang kemungkinan bisa terjadi pada penerima suntikan vaksin.
Profesor Kusnandi Rusmil, guru Besar UNPAD sekaligus Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Sinovac, pernah mengatakan bahwa salah satu efek serius yang perlu diantisipasi dalam setiap vaksinasi (tidak terbatas vaksinas Covid-19) adalah efek syok anafilaktik. Maka itu, menurut dia, pengelola fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu siap mengantisipasi potensi efek samping ini.
"Kalau melakukan vaksinasi 1 juta saja, 1-2 orang [mungkin] akan pingsan. Kalau yang disuntik 10 juta maka yang [mungkin] pingsan 10-20 orang, orang akan ribut, medsos bertubi tubi, media sibuk. Padahal, memang seperti itu. Jadi kita harus siap siap," kata Kusnandi, seperti dilansir laman Kemenkes pada 23 Januari 2021.
Editor: Agung DH