tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (22/8/2016), menggelar sidang pendahuluan uji materi Pasal 70 ayat 3 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Calon incumbent pada Pilkada DKI 2017 itu menyoal kewajiban cuti kampanye bagi calon petahana.
Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK, Anwar Usman itu, Ahok menginginkan agar MK menjadikan ketentuan cuti dalam Pasal 70 ayat 3 tersebut sebagai opsional, bukan kewajiban.
“Saya meminta tafsiran, saya setuju bahwa kalau orang mau kampanye itu wajib cuti. Namun, saya hanya ingin meminta tambahan apakah boleh ditafsirkan cuti merupakan hak setiap orang. Kalau saya tidak mengambil hak cuti saya, saya juga akan menerima konsekuensi tidak melakukan kampanye. Karena saya diangkat secara konstitusi untuk 60 bulan,” kata Ahok di hadapan majelis hakim, seperti dilansir laman resmi MK.
Ahok juga membandingkan kewajiban cuti yang termaktub dalam UU Pilkada dengan ketentuan cuti yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Ahok menganggap cuti merupakan hak sebagaimana tercermin pada hak pegawai negeri sipil (PNS) dalam UU ASN.
Merujuk pada ketentuan cuti PNS tersebut, Ahok menilai hakikatnya cuti merupakan pilihan atau hak dari yang bersangkutan dan tidaklah wajib diambil. Gubernur DKI ini khawatir apabila saat masa kampanye dirinya cuti, maka ia secara otomatis lepas tangan dari berbagai persoalan di Pemda DKI, termasuk tidak dapat mengawal pembahasan APBD DKI 2017.
Namun, ada yang luput dari pengamatan Ahok. Ketentuan cuti dalam UU Pilkada dan UU ASN berbeda, pelaksanaannya juga berbeda. Terlebih dalam Pasal 1 UU ASN ditegaskan bahwa yang dimaksud ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah, sedangkan kepala daerah tidak termasuk kategori ASN.
Apalagi kewajiban cuti bagi petahana tidak ujug-ujug dalam revisi UU Pilkada yang disahkan pada awal Juni 2016 lalu, melainkan sebagai upaya menghindari konflik kepentingan.
Penyalahgunaan Wewenang
Salah satu poin penting dalam revisi UU Pilkada ini adalah untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang biasanya digunakan oleh petahana agar terpilih kembali. Misalnya, dalam pilkada serentak 2015 lalu, tak dapat dinafikan masih ada petahana yang mencalonkan diri dengan memanfaatkan program pemerintah sebagai media kampanye.
Karena itu, dalam revisi UU Pilkada tersebut ada 10 poin yang menjadi bahasan untuk direvisi, yaitu soal jadwal pelaksanaan pilkada, sanksi politik uang, mekanisme kampanye, larangan ganti pejabat, pembatalan pencalonan, Presiden lantik bupati/walikota, syarat dukungan, petahana wajib cuti, konflik internal parpol, dan penggunaan e-KTP.
Ketentuan wajib cuti bagi calon petahana dalam pembahasan revisi UU Pilkada ini sangat panjang, bahkan tiga hari menjelang UU Pilkada disahkan pada 2 Juni, perdebatan soal ketentuan cuti bagi petahana masih belum menemukan titik temu. Misalnya, pada 30 Mei 2016 ketentuan soal apakah calon petahana cukup cuti ketika kampanye saja atau saat pendaftaran belum juga diputuskan.
Pengesahan revisi UU Pilkada pada 2 Juni 2016 dinilai sudah mempersempit celah untuk petahana melakukan kecurangan, salah satunya dengan keharusan cuti selama empat bulan ketika dirinya menjalankan proses sebagai calon kepala daerah. UU ini juga mengatur, pemerintah akan menunjuk pelaksana harian ketika kepala daerah tersebut cuti.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Muhammad Lukman Edi mengakui jika aturan ini memang belum maksimal karena ia berpandangan akan lebih baik jika petahana mundur ketika ingin maju kembali sebagai kandidat kepala daerah. Namun, hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena berbenturan dengan keputusan MK yang menyatakan kepala daerah cukup cuti jika ingin kembali mencalonkan sebagai kepala daerah.
Idealnya, menurut Lukman, calon petahana saat menjadi calon kepala daerah harus mundur, karena jabatan lain seperti PNS dan anggota DPRD/DPR/DPD harus mundur saat menjadi calon kepala daerah.
Alasan Lukman cukup masuk akal, sebab kuasa yang dipegang oleh petahana dapat menimbulkan konflik kepentingan, karena petahana dapat mengatur APBD, mengangkat kepala dinas dan memiliki jaringan sampai ke desa.
Pertanyaannya, mengapa Ahok terkesan “ngotot” tidak mau cuti seperti diatur UU Pilkada? Tentu Ahok sendiri yang bisa menjawab. Namun, uji materi yang diajukan Ahok ke MK memiliki efek domino, karena ketentuan dalam UU Pilkada tidak hanya berlaku untuk Ahok, melainkan untuk seluruh calon kepala daerah di penjuru nusantara.
Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie menilai, Ahok memiliki hak untuk mengajukan uji materi ke MK. Namun, kata Jimly, aturan cuti kampanye sifatnya bukanlah hak, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana telah diatur dalam UU Pilkada.
Aturan tersebut dibuat untuk mencegah konflik kepentingan agar calon kepala daerah petahana tidak menggunakan fasilitas negara saat masa kampanye. Sebagaimana diketahui, saat menjabat sebagai Ketua MK, Jimly pernah memutuskan kalau kepala daerah yang hendak mencalonkan kembali tidak perlu mundur, tapi wajib cuti. Keputusan tersebut tertuang dalam putusan Nomor 17/PPU-VI/2008.
Pandangan Jimly senada dengan Mahfud MD. Ia menegaskan bahwa aturan cuti bagi calon petahana selama masa kampanye seperti diatur dalam UU Pilkada merupakan kewajiban yang tidak bisa ditolak.
Mahfud berpandangan pasal yang diuji materi oleh Ahok justru tidak bermasalah. Yang perlu diuji materikan seharusnya Pasal 7 huruf p UU Pilkada yang menyatakan bahwa kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya sejak ditetapkan menjadi calon kepala daerah lain.
Mahfud menilai pengunduran diri secara permanen dalam pasal tersebut tidak adil dan akan sangat merugikan calon kepala daerah yang mencalonkan diri di daerah lain, jika tidak terpilih.
“Menurut saya [pasal] itu tidak fair, harusnya sama dong [calon kepala daerah] disuruh cuti juga. Kalau misalnya gubernur Papua mau menjadi calon gubernur di Jakarta, ya cuti saja karena dia punya hak konstitusional sampai habis masa jabatannya, sehingga kalaupun tidak terpilih dia bisa kembali memimpin daerah asalnya,” kata Mahfud seperti dilansir kantor berita Antara.
Ketentuan Pasal 7 huruf p dalam UU Pilkada tersebut juga berlaku bagi Tri Rismaharini yang disebut-sebut akan menjadi penantang Ahok di Pilkada DKI 2017 mendatang. Artinya, kalau Risma akan maju di Pilkada Jakarta, maka dia harus mengundurkan diri sebagai walikota Surabaya.
Terlepas dari bahasan di atas, MK baru melaksanakan sidang perdana terkait uji materi Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada tersebut. Akankah MK akan menganulir keputusan yang pernah dibuatnya pada tahun 2008 silam?
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti