tirto.id - Tahun 1962, perusahaan milik Edi Kowara Adiwinata sedang mengerjakan proyek di Tampaksiring, Bali. Suatu hari, Edi memeriksa tangga dan menemukan sambungan pipa listrik yang tidak beres. Dia pun memarahi tukang yang mengerjakan bagian tersebut. Si tukang hanya diam, dan tanpa sepengetahuan Edi, tukang itu telah pergi digantikan orang yang berbeda. Sementara Edi terus marah dan membentak. Ketika dia menoleh, ternyata orang dimarahi itu telah digantikan Presiden Sukarno.
Tempat yang dibangun Edi adalah Istana Kepresidenan Tampaksiring yang terletak dekat Pura Tirta Empul. Dia juga sempat dipercaya Sukarno menjadi Ketua Tim Logistik Proyek Ganefo pada awal 1960-an.
Sejak 1940, seperti dicatat Richard Robison dalam Indonesia The Rise of Capitals (2009:335), Edi Kowara bersama Ali Achmad mendirikan perusahaan dagang dengan nama Tehnik Utama. Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia bekerja di perusahaan minyak milik Jepang, Dai Nippon Sekyu Jimosho, yang aset-asetnya dari milik perusahaan minyak Belanda Bataafsch Petroleum Maatschappij (BPM) di daerah Jawa Barat. Selama bekerja di situ, Edi yang kelahiran Pandeglang, Banten ini pernah meninju seorang perwira Jepang. Dia pun dihukum selama 20 hari.
Pada Desember 1945, Edi dan kawan-kawannya mengambil-alih aset-aset perminyakan. Dia pun dianggap sebagai komandan laskar minyak dan terafiliasi dengan Divisi III Siliwangi di Jawa Barat. Di masa revolusi, selain menjadi komandan laskar minyak, Edi juga pernah dijadikan Inspektur Perusahaan Minyak Negara untuk daerah Jawa Barat.
Ketika Negara Pasundan eksis, dia turut serta dalam pencurian obat-obatan secara besar-besaran dari Negara Pasundan yang dibeking Belanda. Dua kali dia sukses, sedangkan yang ketiga kalinya tertangkap aparat di daerah pendudukan Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan, Edi memilih berbisnis ketimbang bekerja untuk pemerintah. Dia menjadi direktur NV Tehnik Utama sejak 1950 hingga 1968. Menurut catatan Richard Robison, perusahaan itu mendapat pinjaman modal sebesar Rp 10 ribu atas persetujuan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1950. Sebelum membangun Istana Tampaksiring pada 1953, Edi pernah dapat proyek membangun beberapa gedung di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tehnik Utama, seperti disebut Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa (2017:352), adalah “salah satu perusahaan terbesar di Indonesia di bawah Soeharto yang terlibat dalam konstruksi, teknik, dan perdagangan umum.” Di perusahaan ini Harlan Bekti juga bergabung.
Edi Kowara dan Harlan Bekti kemudian menjadi konglomerat di zaman Soeharto. Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1981:306-307) menyebut bisnis Edi antara lain pembotolan Coca-Cola di Jawa Barat, makanan ternak, asuransi jiwa, suku cadang mesin tekstil, pabrik minyak kelapa, perkebunan karet, pabrik baja, dan PT Cipta Sarana pada sekitar awal 1980-an.
Dalam catatan Solichin Salam di buku Wajah-wajah Nasional (1990:410), Edi Kowara pernah menjabat Ketua Dewan Kerjasama Indonesia-Australia dari 1970 hingga 1984. Selain itu, Edi juga aktif dalam asosiasi perusahaan konstruksi bersama Ir Roosseno dan Ir Danunagoro. Ketiganya adalah pendiri Asosiasi Konstruksi Indonesia (AKI). Edi pernah dua periode menjadi Ketua AKI. Oleh karena itu, namanya begitu dikenal pada bidang konstruksi di Indonesia.
Di luar bidang konstruksi, Edi juga dikenal sebagai pemilik saham di Meta Epsi Pribumi Drillings Co alias Medco, hasil perkongsiannya dengan Siswono Judohusodo dan Arifin Panigoro. Terjunnya Edi di perminyakan bukan hal aneh karena dia pernah sekolah perminyakan di Cepu pada zaman kolonial. Pengalaman hidupnya di zaman Jepang dan revolusi kemerdekaan juga tidak jauh dari perminyakan.
Edi merupakan salah satu besan daripada Soeharto. Indra Rukmana, anaknya yang nomor empat dari pernikahannya dengan Ratna Sumirah, menikah dengan Siti Hardiyanti alias Tutut putri daripada Soeharto. Mereka menikah pada 29 Januari 1972. Ketika hendak melamar Tutut untuk anaknya, Edi kelimpungan.
Setelah menikah, Indra ikut mengurus perusahaan ayahnya yang kelak juga menjadi salah satu pemegang saham Medco.
Semasa hidupnya, Edi pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di era Soeharto. Berbeda dengan besannya yang hanya punya ijazah setara SD, Edi merupakan lulusan MULO (setera SMP). Hal ini dimungkinkan karena ayahnya adalah pegawai Bank Tabungan Pos di zaman kolonial. Bank itu belakangan menjadi Bank Tabungan Negara (BTN).
Edi wafat pada 2 Maret 1996 di Singapura pada usia 77 tahun, atau sebulan sebelum Tien Soeharto--besannya--meninggal dunia secara mendadak.
Editor: Irfan Teguh Pribadi