tirto.id - Fachri Hafiez masih sesekali ke lapangan untuk mencari berita. Media tempatnya bekerja sudah mulai menerapkan kebijakan kerja dari rumah sebagaimana anjuran pemerintah sejak 18 Maret 2020.
"Cuma beberapa kali memang harus ke lapangan. Kayak liputan wajib kantor dan persidangan yang enggak menyediakan live streaming," ujarnya kepada Tirto, Sabtu (4/4/2020).
Reporter yang biasa menggarap isu pidana khusus ini merasakan khawatir setiap kali harus ke lapangan dalam kondisi pandemik COVID-19. Lantaran ia tak tahu, apakah area liputannya cukup steril dari virus yang sudah menjangkiti 2.092 masyarakat Indonesia (data 5 April 2020).
Tempat Fachri bekerja hanya memberi semacam vaksin influenza. Selebihnya ia bergantung pada diri sendiri dengan rutin mengonsumsi suplemen vitamin 3 kali sehari setiap harus meliput keluar rumah.
"Yang paling utama masker dan hand sanitizer. Setelah sampai rumah langsung bersih-bersih. Semua baju, jaket, dan celana langsung cuci," ujarnya.
Jika Fachri masih harus meliput ke lapangan saat pandemik, ada pula pegawai media lain yang gajinya dibayar telat dan harus tetap bekerja.
Setyo A. Saputro, Ketua Serikat Pekerja di jaringan media daring tempatnya bekerja, mengatakan seharusnya para pegawai mendapatkan hak upah pada tanggal 29 setiap bulan. Namun hingga 2 April 2020, para pegawai belum mendapatkan gaji bulan Maret.
"Pengumuman pertama dari pihak manajemen yang disampaikan pada 26 Maret 2020. Di situ, dikabarkan bahwa gaji untuk bulan Maret akan dibayarkan antara tanggal 31 Maret atau 1 April karena alasan pandemi COVID-19, sehingga dana dari pihak ketiga terlambat masuk," ujar Setyo.
Setyo mendapatkan kabar bahwa perusahaan berjanji mampu membayar gaji pegawai pada 7 April 2020. Kabar itu membikin para pegawai putar otak untuk menghidupi diri dan keluarga di rumah.
Namun, kondisi memprihatinkan itu tidak membuat profesionalisme para pegawai surut. Menurut Setyo, pegawai tetap bekerja seperti biasa meski untuk kebutuhan internet saja terpaksa berutang.
"Kalau kondisinya begini, bagaimana kami bisa bekerja di rumah dengan tenang?" katanya. "Kami ini ingin kerja, kok malah dikerjain?"
"Di tengah pandemi seperti ini, kami butuh uang buat memenuhi kebutuhan pokok atau vitamin. Belum lagi banyak kawan-kawan yang masih punya bayi yang harus dijaga gizi dan kesehatannya," tambah Setyo.
Dilindungi, tapi Masalah Belum Selesai
Apa yang dialami Fachri maupun Setyo hanya satu dari beberapa kisah wartawan selama pandemi COVID-19.
Sebut saja kisah WD, wartawan yang meninggal akibat ditolak rumah sakit rujukan pemerintah dan terlambat dalam penanganan medis.
Sebagaimana diberitakan BBC Indonesia, WD ditolak di dua rumah sakit rujukan, yakni RSPAD Gatot Subroto dan RSPI Sulianti Saroso. WD diterima di RSUD Kabupaten Tangerang, tetapi ditelantarkan selama 5 jam. WD kemudian mengembuskan napas terakhir saat ditangani di RS Eka, Tangerang Selatan.
Selain itu, beberapa wartawan sempat ditelantarkan dalam penanganan medis akibat berinteraksi dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Puluhan wartawan ditelantarkan saat mereka berusaha memeriksakan diri positif atau tidak di beberapa rumah sakit.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan berpendapat insiden kematian jurnalis merupakan "lonceng" bagi pemerintah yang lambat menangani COVID-19.
"Saya kira ini salah satu kritik penting terhadap pemerintah yang memang dari awal terkesan meremehkan wabah ini. Ketika wabah mulai ramai di Wuhan, kita terlalu percaya diri dengan mengatakan Indonesia bebas corona," kata Manan.
Manan berkata data lengkap hasil pengaduan mengenai masalah wartawan selama pandemi COVID-19 baru direkapitulasi AJI pada Senin hari ini (6/4). Ia berkata ada kabar perusahaan pers lain juga menggantungkan nasib wartawannya serupa seperti media tempat Setyo bekerja.
"Selain itu, kami dengar dari Semarang, tapi laporannya belum masuk," katanya.
Manan berkata AJI sudah menerbitkan protokol peliputan selama COVID-19. AJI mendorong agar para wartawan untuk work from home. Kemudian, AJI meminta perusahaan pers menyiapkan perlengkapan pelindung diri bagi wartawan seperti hand sanitizer maupun masker.
AJI juga mendorong agar perusahaan pers tidak menugaskan wartawan ke daerah berisiko, selain mendorong pemerintah untuk memberikan informasi secara daring.
AJI mengkritik keras ketika peliputan tidak menerapkan protokol COVID-19 saat konferensi pers Kemenko Maritim beberapa waktu lalu. Peliputan itu tidak menerapkan social distancing dan membahayakan wartawan. Manan berkata terkadang protokol tidak bisa dipenuhi bagi beberapa jurnalis, terutama jurnalis televisi.
Alasannya, "di momen tertentu harus mengirimkan orang karena memang kehadiran secara fisik tidak terhindarkan, [karena itu] kewajiban utama perusahaan pers memastikan dia memiliki perlengkapan sangat baik dan pengetahuan sangat baik untuk meliput secara aman," kata Manan.
Manan meminta perusahaan pers memenuhi kewajiban kepada pekerja selama pandemi. Sebab, wartawan menjadi garda terdepan kedua setelah tenaga medis dalam memberitakan COVID-19 maupun memberikan informasi kritis tentang kebijakan pemerintah tentang COVID-19.
"Kami berharap hendaknya perusahaan media memenuhi kewajibannya kepada pekerjanya dan harus berusaha menghindari pengurangan kesejahteraan, misalnya mengurangi gaji atau PHK. Itu seharusnya dihindari saat situasi sulit begini," kata Manan.
Sementara Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Yadi Hendriana mengatakan jurnalis televisi sudah menerapkan protokol dalam proses peliputan. Mereka menggelar kerja sama untuk pelaksanaan peliputan.
"Kami melakukan kerja sama proses gathering dengan semua stasiun televisi dan berjalan dengan baik," kata Yadi.
Yadi mencontohkan wartawan yang bertugas di Istana adalah MNC Group; BNPB menjadi tugas TVRI dan CNN; sementara Wisma Atlet untuk Kompas TV dan Emtek Group; Balaikota untuk TV One.
Masing-masing TV pool bertugas mengirimkan materi konferensi pers ke seluruh media via SNG dan berlangsung selama dua minggu. Mereka mendorong visual gathering untuk proses konferensi pers.
Sementara ini IJTI belum menerima laporan permasalahan untuk wartawan yang positif COVID-19 maupun berstatus PDP.
Berdasarkan laporan yang diterima IJTI, baru satu jurnalis televisi yang positif COVID-19, yakni reporter CNN dan sudah diumumkan oleh perusahaan. Puluhan berstatus ODP dan PDP. Dan, perusahaan media mengakomodasi pembiayaan. IJTI berusaha membantu pembiayaan bila ada yang tidak mampu membiayai.
"Sejauh ini, perusahaan masing-masing membiayai test swab," kata Yadi.
Saat ini IJTI masih berfokus pada permasalahan perlindungan jurnalis. Ia mengimbau agar perusahaan pers bisa mengakomodasi kebutuhan pelindung diri bagi wartawan selama liputan. Selain itu, mereka khawatir untuk masalah pendapatan bagi kontributor daerah.
"Yang belum tersentuh secara keseluruhan adalah kawan-kawan jurnalis di daerah; mereka kesulitan mendapatkan masker dan hand sanitizer. Kami sedang usahakan untuk mencarikan kebutuhan tersebut. Mudah-mudahan kami bisa mengatasi problemnya," kata Yadi.
Perusahaan Pers Jangan Tutup Mata Pakai Dalih COVID-19
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin mengatakan permasalahan wartawan tak hanya saat COVID-19 seperti masalah gaji. Ia mengingatkan perusahaan pers wajib melindungi wartawan saat bertugas.
"Soal perlindungan itu sebenarnya mutlak tanggung jawab perusahaan karena di undang-undang ketenagakerjaan itu penanggung jawab perusahaan harus memberikan safety net," kata Ade.
Ade berkata jika ada wartawan yang positif COVID-19, perusahaan harus melindungi.
"Jadi bukan hanya disuruh berobat kemudian dilepas, tapi harus memastikan si jurnalis mendapatkan pelayanan secukupnya, yang memadai," kata Ade.
Ade mengingatkan pandemi COVID-19 tidak diketahui kapan berakhir, dan karena itu perusahaan seharusnya tidak menunda gaji. Perusahaan pers seharusnya bisa mengalkulasi keuangan mereka sehingga, idealnya, tak bisa berkelit karena situasi virus corona maka tidak membayar gaji tepat waktu.
Ade berkata situasi sulit sekarang tak hanya bagi perusahaan pers, tetapi juga seluruh lini ekonomi.
Ia meminta wartawan untuk berhati-hati saat bertugas dan mengikuti protokol peliputan. Selain itu, ia mengajak para wartawan untuk berani bersuara dan berserikat di tengah pandemi COVID-19.
Ade menilai permasalahan pers masih muncul selama sebulan ke depan. Karena itu, LBH Pers berencana membuat posko untuk membantu para wartawan yang mengalami masalah saat pandemi, terutama untuk isu kesejahteraan jurnalis, kata Ade.
"Harapannya ketika ada kendala di lapangan terkait ketenagakerjaan, teman-teman jurnalis bisa melaporkan kepada kami, setidaknya dengan hasil data itu kami akan membantu seminimal-minimalnya ada konsultasi hukum karena kami enggak bisa kerja langsung di lapangan," ujar Ade.
Penulis: Andrian Pratama Taher & Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri