tirto.id - Jika hari sedang terik dan kamu sedang menyusuri ruas Jalan Sultan Agung, Jember, Jawa Timur, coba mampir ke Es Krim Domino. Kalau beruntung kamu bisa bertemu dengan Tee San Hiong. Umurnya sudah 95 tahun. Tapi lelaki yang juga dipanggil Torus ini masih sering duduk-duduk di dekat meja kasir. Menurut pengakuannya --yang sering bercanda kalau jiwanya masih kepala dua-- beliau masih tetap mengurusi pembuatan es krim.
Kedai ini sudah berdiri sejak 1960, didirikan oleh Un Hwa Nio, ibunda Torus. Dari dulu tempatnya tetap berada di ruas Sultan Agung, jalan utama di Jember. Tempat pertamanya kini sudah menjelma jadi toko karpet. Domino kini menempati bangunan di sebelah Gang Dahlok, sebuah gang legendaris yang dihuni oleh banyak keluarga peranakan Tionghoa, Arab, dan India.
Ada sekitar 40-an menu di Domino. Semua harganya terjangkau. Yang orisinal, resep warisan keluarga, adalah rasa-rasa klasik seperti vanila, cokelat, hingga choco raisin. Beberapa menu seperti mocca chips memiliki rasa rum yang lamat-lamat, menghadirkan kelegitan yang menyenangkan. Harga es krim paling murah Rp6 ribu per skup. Kalau mau mabuk es krim, tersedia pula yang ukuran satu liter dengan harga antara Rp30 ribu sampai Rp35 ribu. Selain menjual es krim, Domino juga menjual aneka panganan dan kudapan. Dari nasi goreng, mi pangsit, hingga lumpia.
Setiap hari ada 10 liter es krim yang terjual. Itu setara dengan 200 skup. Itu belum termasuk es krim potong. Rasa yang favorit adalah durian, orange, rainbow, dan juga piring terbang, es krim cokelat berbentuk bundar yang diiris jadi delapan potong. Es krim di Domino adalah es krim tradisional, dalam artian: bahan kuncinya adalah campuran susu sapi dan telur. Sebagai kedai es krim artisan, Domino selalu menggunakan bahan lokal terbaik.
"Susu kami selalu segar. Sejak tahun 1960, kami selalu memasok susu kami dari Rembangan," kata Dany, menantu Torus yang kini menangani gerai kedua Domino. Rembangan adalah nama daerah di Jember yang terkenal sebagai pemasok susu sapi kualitas terbaik.
Domino adalah satu dari sedikit sekali kedai es krim klasik yang masih bertahan di Indonesia. Di Malang dan Semarang ada Oen. Di Surabaya ada Zangrandi. Di Yogyakarta dan Medan ada Tip Top, yang meski namanya sama tapi tidak berhubungan. Di Bandung ada Sumber Hidangan. Sedangkan di Jakarta yang paling terkenal adalah Ragusa.
Jika merujuk pada tahun berdiri, Sumber Hidangan dan Tip Top Medan yang berdiri pada 1929 adalah yang tertua di antara saudaranya. Barulah disusul oleh Zangrandi dan Oen Malang (1930), Ragusa (1932), Tip Top Yogyakarta (1936), dan si bungsu Domino.
Tak ada catatan pasti yang bisa memberitahukan kapan pertama kali es krim masuk ke Indonesia. Namun bisa dipastikan bahwa banyaknya populasi warga Belanda pada zaman dulu punya andil dalam menyebarkan es krim di Indonesia.
Kebanyakan kota yang punya kedai es krim adalah kota dengan populasi warga Belanda yang tinggi. Jember sejak dulu dikenal sebagai pemasok tembakau dan kopi bagi Belanda. Sedangkan Malang adalah tempat tetirah meneer Belanda. Kota seperti Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Batavia juga adalah kota yang amat penting bagi Belanda. Karena itu di kota-kota tersebut banyak ditemukan kedai es krim. Tapi kedai es krim yang banyak itu rontok satu per satu. Hanya tersisa sedikit. Itu pun masih dikepung oleh produk es krim pabrikan yang harganya murah dan praktis.
Dulu dan Sekarang
Ada banyak versi tentang sejarah es krim. Kudapan populer ini disebut-sebut dibuat oleh bangsa Cina sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi. Menurut sejarawan John Ayto dalam buku An A to Z of Food and Drink, es krim dari Cina ini menyebar ke Eropa melalui Italia. Berkat siapa lagi kalau bukan Marco Polo. Warga Italia mengenal es krim pada abad ke-13. Es krim mereka disebut sebagai gelato.
Menurut buku The Great American Ice Cream Book, resep es krim beredar luas berkat buku dari Perancis, L'Art de faire des Glaces. Diperkirakan buku ini berasal dari era 1700-an. Di sana ada cara pembuatan es krim beraneka rasa: aprikot, mawar, cokelat, dan juga karamel. Es krim juga memiliki resep yang berbeda. Di Perancis, es krimnya hanya memakai kuning telur. Membuat teksturnya lebih lembut, nyaris seperti mayonaise. Sedangkan di Philadelphia, hanya menggunakan putih telurnya.
Dulu yang bisa mengudap es krim adalah kaum bangsawan dan keluarga kerajaan. Atau paling tidak para saudagar kaya. Pelarian paling efektif bagi keluarga biasa adalah dengan mengudap salju yang dituang madu, atau salju yang dimakan bersama buah-buahan tumbuk. Es krim tetap merupakan penganan langka dan mahal hingga freezer dan mesin pembuat es krim diciptakan di abad ke-19.
Penemuan itu membuat es krim menempuh jalan yang berbeda. Pabrikan menghasilkan es krim dalam jumlah yang besar, dengan pembuatan yang cepat dan efisien. Kini es krim bukan lagi penganan yang susah dicari. Bukan pula monopoli keluarga kaya dan keluarga kerajaan.
Es krim menjadi produk global yang diminati. Menurut lembaga riset Technavio, penjualan es krim diperkirakan akan mencapai 31 miliar dolar AS pada 2020 nanti. Pabrikan es krim yang paling besar dan mendominasi adalah Unilever. Menurut Euromonitor, Unilever punya 8 merek es krim dalam daftar 15 merek es krim terlaris dunia. Mulai merek Magnum, Cornetto, hingga Ben & Jerry yang mereka akuisisi pada tahun 2000. Secara global, Unilever memegang 22 persen penjualan es krim dunia.
Merek andalan Unilever adalah Magnum. Es krim dengan lapisan cokelat Belgia ini adalah merek terlaris di dunia. Penjualannya pada 2015 mencapai 2,5 miliar dolar AS. Naik sekitar 8 persen dari penjualan di tahun sebelumnya. Menurut Euromonitor, diperkirakan penjualan Magnum akan mencapai 2,6 miliar dolar AS pada 2016.
Merek Haagen-Dazs yang berdiri sejak 1960 mengekor di belakang Magnum. Mereka menyasar kelas premium. Merek yang kini menjadi milik perusahaan General Mills ini dijual di sekitar 50 negara, dengan penjualan mencapai 2,09 miliar dolar AS pada 2015. Cornetto berada di peringkat ketiga dengan penjualan sekitar 1,6 miliar dolar AS. Diikuti oleh produk Unilever lain, Ben & Jerry's yang membukukan penjualan 1,2 miliar dolar AS tahun lalu.
Pasar terbesar es krim adalah Cina, dengan nilai penjualan mencapai 11,38 miliar dolar AS pada 2015. Pasar terbesar kedua adalah Amerika Serikat, dengan nilai penjualan 11,19 miliar dolar AS. Di kawasan Timur Tengah, salah satu perusahaan es krim besar adalah Mihan Dairy Group (Iran). Perusahaan ini mendapatkan pemasukan 575 juta dolar AS dari penjualan es krim di kawasan Timur Tengah.
Menurut perusahaan riset IBISWorld, es krim adalah makanan yang paling menguntungkan. Margin keuntungan produk ini mencapai 23 persen. Ini selisih untung terbesar dibandingkan dengan kudapan lain seperti permen atau sereal. Karena itu tak heran perusahaan-perusahaan raksasa berlomba menguasai pasar. Unilever dan Nestle bersaing, antara lain dengan mencaplok merek-merek es krim tradisional.
Di sisi lain, kudapan beku seperti froyo (frozen yoghurt) terus menurun penjualannya. Froyo yang awalnya diposisikan sebagai lawan tanding es krim, malah semakin loyo. Penjualan pada 2014 turun sebanyak 9 persen dan terus menurun 11 persen pada 2015. Padahal dengan mengandalkan tekstur yang mirip es krim dan rendah lemak, froyo dianggap bisa menggerus penjualan es krim dengan menggaet konsumen yang sadar kesehatan. Ternyata ini pertarungan yang tak sebanding.
"Bisa dibilang ini pertanda bahwa konsumen tidak lagi bersedia mengorbankan rasa demi kesehatan," tulis Alex Beckett, analis industri makanan dan minuman di Mintel, pada Forbes.
Es krim adalah raja di dunia kudapan. Dengan harga yang terjangkau, es krim kini bisa ditemukan hingga di pelosok desa. Namun es krim artisan, yang dibuat dengan tangan dan cinta, tetap mendapat tempat tersendiri.
Es krim klasik seperti yang dijual di Domino, Zangrandi, Oen, Tip Top, atau Ragusa masih dicari orang. Pasarnya malah semakin luas. Jika dulu yang menyendok es krim di sana adalah orang-orang tua yang ingin nostalgia, kini banyak juga konsumen berupa anak muda yang suka hal baru dan klasik. Karena itu meskipun penjualannya tak akan bisa sebesar pabrikan, es krim klasik masih akan tetap dicari.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Suhendra