tirto.id - Julia Suryakusuma dikenal dengan karyanya Ibuisme Negara yang dianggap mampu melampaui pemikiran saat itu mengenai "kelas perempuan" dalam hierarki kenegaraan. Perempuan hanya eksis dan dilihat dalam relasi dengan kepentingan karier suaminya. Ia menyebut hirearki perempuan saat itu bersifat kemiliteran.
Para perempuan menempati posisi kedharmawanitaan berdasar jabatan yang dimiliki suaminya. Sebaliknya, keaktifan mereka di organisasi itu pun mempengaruhi posisi sang suami. Sejatinya, posisi mereka tetap berada di lingkungan domestik dan hanya dibalut peningkatan kelas yang palsu.
Kini, sudah lebih 30 tahun buku tersebut dibicarakan sebagai karya klasik. Apakah konsep "ibuisme negara" masih relevan dalam konteks dunia perempuan era kini?
Aditya Widya Putri berkesempatan mengupas pemikiran sang penulis secara langsung di kediamannya di Cinere, Kamis, 23 November 2017 lalu. Berikut adalah petikan wawancaranya:
Apa pengalaman dan kesadaran yang membuat Anda menjadi seorang feminis?
Saya sudah menjadi feminis mungkin sebelum lahir sudah ada bibitnya. Yang paling terlihat dari nenek, meski kakek saya kepala sekolah, tapi nenek yang seperti pegang kendali. Hanya saja itu tidak terjadi di generasi ibu saya, ayah sangat patriarki.
Dan yang betul-betul saya sadar waktu umur 6 tahun dan adik laki-laki saya lahir. dia seketika menjadi anak laki-laki kesayangan, putra mahkota. saya di situ ibarat putri yang tiba-tiba kehilangan kasih sayang. Di samping juga ada kecemburuan antar saudara, saya tiba-tiba tidak nomor satu lagi karena ada pendatang baru. Tapi unsur gendernya saya baru menyadari belakangan.
Di situ saya bilang "Saya tunjukkan saya lebih berharga ketimbang anak laki-lakimu yang spesial." Dan ternyata itu tidak susah buat saya, karena saya lebih pintar dari dia. Sewaktu sekolah di Italia juga saya sempat loncat dua tahun dari kelas tujuh ke kelas sembilan. Saya merasa tertantang dan selalu ada di sepuluh terbaik.
Setelah masa pembuktian itu, apakah pandangan keluarga jadi berubah?
Tidak, karena anehnya ayah saya tidak terlalu mementingkan ilmu. Tapi justru di situ saya melihat ibu saya yang Dharma Wanita sekali, sangat patriarkis dengan [perbedaan] kasih sayang yang sangat mencolok. Semangat feminisme saya muncul dari keluarga yang konsepnya begitu.
Meski ibu saya diskriminatif, saya tumbuh dengan identitas ingin membela dia. Saya jadi semacam ingin ngomporin dan itu akhirnya jadi kesadaran yang meluas. Di umur sekolah dasar saya sudah berpikiran untuk mengubah Indonesia untuk jadi lebih baik. Tapi namanya anak-anak, saat itu mikirnya mengubah dalam arti fisik, ya jadi insinyur-lah.
Kini sesudah Anda menjadi seorang yang vokal menyuarakan gender, masih adakah diskriminasi itu dirasakan?
Enggak terlalu, karena orang lihat saya sudah takut. Apalagi kalau lagi enggak senyum cetakan mukanya memang begini, pose judes, tulang pipinya tinggi, dari segi face reading tulang tinggi ini berani dan ada di garda depan. Ada seorang kaisar yang pilih serdadu garda depannya itu yang bertulang pipi tinggi.
Kalau saya, auranya memang seperti ada benteng, seperti serdadu, lempeng saja. Sepertinya orang sudah tahu, apalagi saya sekarang saya sudah senior.
Hanya, kalau dulu saat muda memang saya seperti harus membuktikan. Apalagi saya cukup cantik dan pernah jadi peragawati saat umur 17-19 tahun. Ya persepsi orang kan kalau perempuan cantik itu... [Julia menggerakkan jari telunjuk dan jari tengah membuat tanda petik. Ia ingin mengatakan stereotip bahwa perempuan cantik otomatis bodoh].
Nah, di umur 20 sampai 30 tahun itu masih harus membuktikan diri dobel karena itu. Karena saya dianggap cantik, maka harus membuktikan karya intelektual saya juga mumpuni.
Tadi Anda mengatakan, sedari kecil sudah ingin mengubah Indonesia dan membela ibu Anda dari sistem patriarki keluarga. Mulai kapan aksi konkret tersebut dilakukan?
Saya bukan seperti Dewi Fortuna Anwar, orang Minang yang sedari kecil memang diminta bicara di forum-forum dan akhirnya tumbuh menjadi seorang feminis yang dibentuk oleh lingkungan. Saya dulu sangat pemalu dan bisa dibilang kutu buku, nerd. Secara formal saya tidak pernah belajar [kajian] gender, cuma dari membaca saja.
Bagaimana perjalanan seorang Julia yang kurang didukung keluarga dan lingkungan sampai bisa dipandang sebagai seorang aktivis gender dan melahirkan buku Ibuisme Negara?
Saya kuliah psikologi di tahun pertama sudah menikah, itu sebenarnya salah satu cara saya melarikan diri dari rumah. Suami pertama saya, Pak Ami Priyono yang lebih tua 15 tahun dari saya adalah orang yang paling mendukung saya. Dialah cinta tak bersyarat.
Meski ego kita suka bertentangan, tapi banyak simbiosisnya. Dialah partner intelektual dan bertukar pikiran untuk saya. Orang yang suportif, karena dia pernah bilang "Saya mendukung kamu bukan karena kamu istri saya, tapi memang kamu patut didukung."
Dan sampai saya melanjutkan kuliah ke Inggris saja dia yang dukung. Padahal saat itu saya sudah melahirkan anak pertama, saya melanjutkan master, meninggalkan dia dan anak saya. Di situlah titik mula pencarian jati diri saya.
Saya berpikir, saya ini jadi anak seseorang, saya adalah istri seseorang, dan saya waktu itu sudah menjadi ibu dari seseorang. Tapi, saya ini siapa?
Makanya saya ke luar itu untuk cari jati diri. Meskipun naluri saya juga ketarik-tarik karena [ada] naluri keibuan juga. Ditambah omongan orang yang macam-macam karena saya meninggalkan suami dan anak. Tapi saya kembali mengukuhkan hati, karena jika tidak tahu jati diri, nanti akan jadi ibu seperti apa saya?
Saat meninggalkan suami dan anak untuk melanjutkan kuliah, bagaimana pandangan keluarga besar terhadap Anda?
Saya memang dari dulu dianggap aneh, apa yang saya inginkan tidak seperti perempuan konvensional yang cukup menjadi istri seseorang yang mapan, punya anak, sudah. Jadi nenek juga sudah katakan: "Biar saja dia mah memang begitu."
Saya juga bilang kepada ibu saya, bahwa apa yang membuatnya happy, belum tentu bisa bikin saya happy. Terlebih, ini bukan cuma soal happiness, tapi jati diri.
Dari masa pendidikan di Inggris itulah Anda mantap mendedikasikan diri di masalah sosiologi, kegenderan, dan melahirkan buku Ibuisme Negara?
Sekembalinya dari Inggris, Pak Ami yang sedang bekerja sama dengan Yayasan Indonesia Sejahtera, sebuah LSM yang bergerak di bidang pengembangan desa dan masyarakat. Memberi tahu saya tentang LSM itu dan saya coba aktif di dalamnya. Tapi tidak lama, saya terlalu revolusioner makanya dikeluarkan.
Saat itu tahun 1980-an dan umur saya 27 tahun, dan saya kembali ke cinta pertama, menulis. Kebetulan saya ditawari oleh Pemred Majalah Prisma untuk menjadi editor tamu tentang perempuan. Saya senang bukan main karena sebelumnya belum pernah menjadi editor-editor apalah. Tapi percaya diri saja bahwa saya bisa.
Di situ akhirnya tulisan pertama saya mendapat perhatian karena dianggap menjadi yang pertama kali memberikan analisis yang sifatnya kelas. Analisis struktural yang mengubah tataran masyarakat, di mana perempuan dan laki-laki egaliter. Bukan sekadar peningkatan peranan perempuan yang sebenarnya penerapannya hanya gitu-gitu saja,
di mana perempuan tetap kerja di bidang domestik hanya dibuat seakan meningkat saja.
Seperti saat Orde Baru, Dharma Wanita kan mengurusi masalah domestik juga yang jadi ibuisme negara. Memang konsep perempuan jadi konco wingking. Jadi gabungan antara ideologi borjuis belanda dan feodalisme jawa. Belum lagi budaya militer ke perempuan benar-benar mereka yang paling patriarkis.
Nah, lalu ada akademisi Belanda yang baca, dia katakan, kok ada tulisan dari scholar Indonesia yang analisisnya kelas. Akhirnya saya diajak dia ke India untuk penelitian bersama negara-negara lain seperti Sudan, Karibia, Peru, dan India negara-negara yang cukup represif. Mereka memberi kesempatan negara tersebut untuk melakukan penelitian mengenai masalah perempuan di negaranya.
Lalu muncullah usul penelitian mengenai Dharma Wanita dari akademisi Belanda tersebut. Dia sendiri membuat penelitian tentang Gerwani. Itu proyek pertengahan 80-an, selama dua tahun dengan tiga kali pertemuan para pesertanya. Itulah cikal bakal Ibuisme Negara lahir.
Bukankah Ibuisme Negara itu tesis Anda?
Ya, saat itu penelitiannya tidak selesai karena ada ketegangan dari para pesertanya. Akhirnya saya ajukan untuk penelitian lanjutan. Sebelum selesai dan dia masih berupa naskah memang sudah difotokopi kemana-mana. Tapi baru dibukukan tahun 2011, itu pun tidak sengaja.
Saya memang pernah mencoba mengirimkannya ke sebuah penerbit di luar, tapi ditolak dan setelah itu menyerah. Tak diduga, ada seorang teman yang mengalihbahasakannya tanpa sepengetahuan saya. Di situ saya sadar, seharusnya dulu saya tidak menyerah.
Bagaimana konsep "ibuisme" saat ini, apakah masih relevan?
Ibuisme Negara telah menjadi karya yang monumental sekali, sudah lebih dari 30 tahun dan itu masih terus dibicarakan hingga sekarang. Dulu saya tak pernah menyangka ini akan menjadi karya yang dikenang lama. Saya bikin, ya bikin saja. Tidak merasa menjadi great thinker, tapi orang-orang yang mengatakan ini karya yang bisa terus diaplikasikan, bahkan hingga kini.
Negara masih mengintervensi kehidupan kita hingga ranah privat seksualitas, yang diaplikasikan pada peraturan seperti pegawai negeri tak bisa nikah lagi, atau macam keluarga berencana.
Sampai sekarang masih dianggap relevan tapi bukan lembaganya bukan negara melainkan agama. Mulai dari cara berpakaian, cara berperilaku sama seperti ibuisme negara. Hanya, sekarang [yang ada adalah] ibuisme agama. Konsepnya itu bisa lama karena berlaku terus dan bisa diimplementasikan ke banyak lini.
Tetap itu [intinya] adalah kontrol terhadap perempuan, hanya bergeser saja penentunya. Tapi sekarang agama juga dipolitisir, jadi sebetulnya nyambung juga ke negara. Misal lagi pilkada jadi pada pakai jilbab, atau seperti pemilihan gubernur Jakarta kemarin, benar-benar seperti atribut.
Melihat kebijakan gender saat ini, apa yang menurut Anda perlu diperbaiki dari Kementerian PPA?
Saya rasa kementerian ini tak terlalu terlihat juga programnya ya? Seharusnya kebijakan gender bisa diterapkan di semua lini, di semua kementerian. Jangan ada pengklasifikasian, karena dengan begitu, sama saja mendikotomisasi.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani