tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa aparatur sipil negara (ASN) yang terbukti melakukan korupsi harus dipecat dengan tidak hormat.
Penegasan itu tertuang dalam putusan MK saat menolak uji materi, yang diajukan oleh ASN Pemkab Bintan Kepulauan Riau, Hendrik terhadap pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Hendrik merupakan ASN yang pernah divonis bersalah di kasus korupsi.
Dalam putusannya yang digedok pada Kamis (25/4/2019), MK menegaskan pemecatan ASN yang terbukti melakukan korupsi tidak melanggar konstitusi.
"Itu putusan yang perlu diapresiasi, artinya ini menunjukkan bahwa jelas 1.466 PNS atau ASN [koruptor] yang masih digaji negara, jadi permasalahan," kata peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter di kantornya, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
"Anggaran juga membengkak untuk membayar orang-orang yang terbukti melakukan korupsi," dia menambahkan.
Lalola menilai putusan MK tersebut seharusnya mendorong Kemendagri dan Kemenpan-RB) secara tegas memecat dengan tidak hormat para ASN yang terbukti merugikan keuangan negara.
"Pendekatan seperti ini perlu kita dorong untuk dilakukan, ini kan bukan pemidanaan, pidananya telah dijalankan oleh ASN ini kemudian dikuatkan. Bolanya dilempar ke Kemendagri dan Kemenpan RB," tegas Lalola.
Oleh karena itu, ICW akan terus menyuarakan pemecatan ASN koruptor. "Jadi kalau mau lihat komitmen negara soal pemberantasan korupsi bisa dilihat dari sini," jelasnya.
MK memutus bahwa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjadi dasar pemerintah memecat PNS koruptor konstitusional. Dalam pertimbangan putusannya, MK beralasan seorang PNS yang diberhentikan karena melakukan tindak pidana yang terkait dengan jabatannya sebagai hal yang wajar.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang berbunyi: “Pegawai negeri sipil (PNS) diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.”
MK berpendapat, perbuatan penyalahgunaan jabatan telah menghambat upaya mewujudkan cita-cita atau tujuan bernegara.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom