tirto.id - Proses evakuasi korban kecelakaan Lion Air JT-610 dengan rute penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, pada Senin (29/10/2018) masih terus berlanjut. Sampai saat ini, para korban masih terus dicari seiring dengan pembicaraan mengenai kompensasi maupun klaim asuransi yang mulai mencuat.
Korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 berhak mendapatkan uang pertanggungan asuransi. Berdasar Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 77 Tahun 2011, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat berhak mendapatkan kompensasi sebesar Rp1.250.000.000,00/pax. Jasa Raharja bahkan telah berjanji akan menyerahkan hak santunan bagi keluarga korban meninggal sebesar Rp50 juta untuk para korban jatuhnya Lion Air JT-610.
Di sinilah muncul persoalan dalam kasus jatuhnya Lion Air JT-610. Salah seorang penumpang bernama Arif Yustian ternyata tidak tercatat dalam manifes penumpang Lion Air tersebut. Pria yang akrab disapa Iyus itu berada di dalam penerbangan JT-610 untuk pergi ke Pangkal Pinang karena menggantikan koleganya bernama Krisma Wijaya.
Berdasar Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, para penerima uang ganti rugi tersebut ialah mereka yang tercatat pada daftar manifes penumpang yang dipegang maskapai. Sedangkan Iyus tidak tercatat dalam manifes.
Iyus ditunjuk kantornya, PT Sky Pasific Indonesia, untuk berangkat ke Pangkal Pinang bersama dua rekan kerjanya, yakni Darwin Harianto dan Rohmanir Pandi Sagala. Akan tetapi, ternyata nama yang muncul dalam manifes penumpang masih Krisma Wijaya. Padahal posisi Krisma batal berangkat dan bahkan dikabarkan telah mengundurkan dari PT Sky Pasific Indonesia.
Selain perkara asuransi, kondisi yang dialami oleh Iyus ini memunculkan pertanyaan ihwal pengawasan terhadap pendataan penumpang dalam industri penerbangan di tanah air.
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengaku akan menelusuri adanya dugaan pelanggaran dalam manifes penumpang Lion Air JT-610 kepada Lion Air dan Bandara Soekarno-Hatta. Kendati demikian, ia mengaku belum dapat laporan secara resmi tentang dugaan adanya beberapa penumpang yang tak tercatat dalam manifes maskapai berlogo singa tersebut.
"Saya belum dapat laporan, kami tentu akan telusuri lebih jauh," ujar Budi Karya di sela-sela konferensi Pers seusai mendatangi JICT II, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (1/11/2018).
Hingga saat ini, ia belum bisa menyimpulkan apakah pelanggaran tersebut merupakan kelalaian maskapai Lion Air atau petugas Bandara. "Nanti kami klarifikasi," ujarnya singkat.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menilai pihak maskapai tidak bisa serta merta disalahkan ini. Gerry menyebutkan kesalahan bisa melibatkan berbagai pihak, mulai dari petugas Lion Air di counter check-in, petugas bandara di pintu depan pemeriksaan, hingga penumpangnya sendiri.
“Karena memang masih ditemukan KTP yang dicek hanya satu orang saja. Padahal seharusnya setiap orang yang naik dicek KTP-nya, apakah sudah sesuai atau tidak,” ungkap Gerry kepada reporter Tirto pada Rabu (31/10/2018).
Gerry mengaku baru mendengar mengenai kasus ini, sehingga ia tidak berani berspekulasi dan menyimpulkan lebih lanjut. Namun ia mengatakan, tak menutup kemungkinan potensi terjadinya human error, mengingat yang melakukan verifikasi antara data penumpang di tiket dengan KTP bukan mesin.
“Untuk itu ada aturan keamanannya, bahwa penumpang yang terbang harus sesuai dengan KTP. Masalah siapa yang melakukan pemesanan, harus dijelaskan terlebih dahulu,” kata Gerry.
Meski berpotensi menyalahi aturan, pengamat asuransi Irvan Rahardjo menyebutkan bahwa asuransi korban tetap bisa cair. Irvan mengatakan cara yang bisa ditempuh ialah dengan menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat apabila Iyus benar-benar menjadi korban. Salah satunya dengan surat kematian yang dikeluarkan RS Polri.
Namun Irvan tidak menampik apabila proses klaim untuk Iyus akan relatif sulit, mengingat ia bukan “penumpang yang sah” atau tidak terdaftar di manifes penumpang. Hanya saja, kata dia, keluarga Iyus tetap berpeluang memperoleh asuransi dengan menggunakan asas ex-gratia atau pertimbangan di luar syarat polis asuransi.
“Jumlahnya memang tidak sebesar nilai pertanggungan normal,” kata Irvan kepada reporter Tirto, Rabu kemarin.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz