tirto.id - “Apa urusannya Polisi dan TNI masuk ke kampus dan meminta daftar nama dosen dan khatib serta isi khutbah di Kampus STIE Ahmad Dahlan? Ini apa maksudnya. Pak @jokowi panglima TNI, Pak Kapolri?”
Cuitan tersebut diunggah Danhil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah melalui akun Twitter @Dahnilanzar, pada 6 April 2018. Ia menyertakan capture postingan akun Facebook Mukhaer Pakkanna (Kepala STEI Ahmad Dahlan) yang menulis perihal aparat yang masuk ke kampus tersebut.
Sontak unggahan Dahnil tersebut ramai diperbincangkan di media sosial, dan di-retweet hingga seribu kali lebih. Kepada Tirto, Dahnil menyebut tindakan “itu khas perilakunya Orde Baru. Apa urusannya Polri tanya nama-nama dosen? Apa urusannya Polri tanya nama-nama khatib dan dosennya?”.
Senin (9/4/2018), Komando Dinas Miiter 0506/Tangerang, Polres Tangerang Kota, dan pihak Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan mengadakan pertemuan menyoal isu anggota Polri-TNI masuk kampus dan melakukan pendataan. Pihak TNI-Polri menyangkal melakukan pendataan, sedang pihak kampus sempat menganggap Polri-TNI bertindak seenaknya.
Kepala STIE Ahmad Dahlan, Mukhaer Pakkanna menjelaskan kembali pokok persoalan yang terjadi. Dalam unggahan di Facebooknya, Mukhaer menulis bahwa Polri, tepatnya bagian Pembinaan Masyarakat Polsek Jatiuwung, Aiptu Jusuf meminta daftar nama penceramah di masjid STIE Ahmad Dahlan. Sementara anggota TNI dari Babinsa Koramil wilayah Kota Tangerang meminta pendataan lain, yakni dosen dan rektor setempat.
Lalu, di mana letak masalahnya?
Kurang lebih dua minggu lalu, anggota Babinsa wilayah Panunggangan Barat TNI, Serka Dicky mendatangi salah satu petinggi kampus STIE Ahmad Dahlan, Angel Ardian. Dalam pertemuan itu, Dicky meminta data dosen dan rektor yang mengajar di STIE Ahmad Dahlan dengan menunjukkan surat perintah tahun 2017. Angel menolak, dan ia meminta Dicky menunjukkan surat tugas yang baru.
Lalu pada Kamis (5/4/2018), giliran Polri yang dianggap bermasalah oleh STIE Ahmad Dahlan. Anggota Binamas Polsek Jatiuwung, Aiptu Jusuf mendatangi kampus STIE Ahmad Dahlan dan berbicara dalam ruangan dengan Angel. Mukhaer mengatakan, saat itu Jusuf meminta daftar nama penceramah dan nama khatib di STIE Ahmad Dahlan.
“Dia masuk ke dalam ruangan, bicara. Padahal itu bukan hari Jumat,” kata Mukhaer, kepada Tirto, Senin (9/4/2018).
Menurut Mukhaer, anggota Binamas dan Babinsa memang terbiasa mampir untuk melakukan salat di Masjid STIE Ahmad Dahlan, tetapi tidak pernah meminta nama khatib. Ia menyatakan, Polri seharusnya tidak bisa masuk dalam ranah sipil, terutama mendata nama khatib yang ada. Sedangkan untuk kasus TNI, Mukhaer tidak keberatan dengan permintaan nama dosen dan rektor.
“Kalau dia sekiranya ada surat tugas yang baru, tentu kami berikan,” kata Mukhaer menambahkan.
Hanya Salah Komunikasi?
Kapolsek Jatiuwung, Kompol Eli menegaskan, perkara Polri masuk ke dalam area kampus hanyalah salah paham, karena komunikasi yang buruk. Eli menjelaskan, Aiptu Jusuf tidak pernah meminta nama khatib. Selain soal di luar kewenangan, Jusuf juga tidak mendapat perintah dari atasannya untuk melakukan pendataan.
“Tidak tiba-tiba [ada kunjungan ke STIE Ahmad Dahlan]. Binamas dan Babinsa sudah sering sambang ke STIE, termasuk ke tokoh-tokoh wilayah mereka. Tidak ada sweeping atau pendataan. Namanya sambang adalah silaturahmi,” tegasnya.
Eli menerangkan, tugas Binamas dan Babinsa adalah untuk menjaga ketertiban masyarakat. Untuk itu, kata dia, Polri dan TNI memang sering menyambangi daerah ramai, seperti halnya kampus. Ia menegaskan, tidak ada sama sekali pendataan khatib yang dilakukan Polri.
“Memang setelah pulang [shalat], dia [Jusuf] tanya: tadi ustaznya siapa ya? Itu ‘kan enggak jadi masalah. Tapi rupanya penyampaian itu disalahartikan sehingga seolah-olah ada masalah,” kata Eli berdalih.
Menurut Eli, Jusuf hanya menanyakan pada petugas keamanan dan bukan mendata khatib yang ada. Bila memang mendata, Eli menerangkan bahwa Jusuf akan menanyakan nama, alamat, dan sebagainya, tetapi hal itu tidak dilakukan.
Eli juga beranggapan bahwa perkara ini terlalu dibesar-besarkan, sehingga Polri diperkirakan mengintervensi kampus STIE Ahmad Dahlan dengan banyak orang, padahal hanya satu orang yang melakukan salat di sana. Jika dihitung dengan petugas Babinsa, kata dia, maka hanya ada 2 orang.
“Ini salah komunikasi saja. Mungkin penyampaian dari petugas keamanan yang bermasalah. Padahal tidak ada rasa ingin tahu atau apa tidak ada, hanya pengen tahu saja,” katanya lagi.
Komandan Kodim 0506/Tangerang, Letnan Kolonel Inf M. Imam Gogor juga membantah isu sweeping yang dilakukan anggotanya di STIE Ahmad Dahlan, apalagi ikut melakukan pendataan terhadap khatib. Namun, ia mengaku bahwa memang ada pendataan nama dosen dan rektor yang merupakan bagian dari tugas TNI.
Pendataan nama rektor dilakukan berdasar surat telegram Staf Teritorial Kodam Jaya/Jayakarta untuk pendataan wilayah yang menjadi tugas pokok Kodim dalam rangka pembinaan Sumber Daya Manusia. Imam mengaku, pendataan itu bukan untuk melakukan hal-hal yang dituduhkan di media sosial, yakni sweeping yang terindikasi anti-Islam.
Dari sisi Imam, Dicky mendatangi Angel bersama Jusuf pada hari Kamis (29/3/2018), tetapi Angel tidak ada di tempat. Seminggu kemudian, pada Sabtu (7/4/2018) ada informasi dari akun Twitter Widjianto Noto Miharjo tentang aparat TNI yang melakukan sweeping di kampus.
“Tidak benar adanya isu mengenai perintah kepada Babinsa Kodim 0506/Tangerang untuk melakukan sweeping di kampus,” kata dia dalam keterangan tertulis, Minggu (8/4/2018).
Sementara itu, Kapendam Jaya, Letnan Kolonel Kristomei Sianturi mengatakan, pendataan dosen dan rektor di kampus oleh TNI sudah merupakan hal yang wajar. Hal ini dilakukan dalam rangka memperbarui data teritorial.
“Itu sudah merupakan tugas pokok sesuai jabatan Babinsa di wilayah masing-masing. Babinsa harus tahu betul tentang kondisi wilayahnya,” kata Kristomei, kepada Tirto, Senin.
Ia menambahkan “Tidak hanya kampus, tapi seluruh objek vital.”
Kampus Bebas Dari Intervensi Polri-TNI
Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi disebutkan bahwa kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab pribadi civitas academica. Sementara TNI-Polri tidak termasuk di dalamnya.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti mengatakan, Polri boleh saja ikut andil dalam sistem kampus apabila memang ada tindakan pidana, atau dugaan pidana, dan diminta menjaga keamanan kampus. Namun, pendataan khatib di kampus, kata dia, tentu hal itu di luar kuasa Polri.
“Kalau ada dugaan anggota melakukan tindakan yang dianggap melawan hukum, maka sebaiknya dilaporkan kepada pimpinan Polri, dalam hal ini ke Kapolres atau ke pengawasan internal Polri,” kata Poengky kepada Tirto.
Sementara Dahnil Anzar menyesalkan adanya Polri dan TNI yang diduga masuk ke dalam kampus dan melakukan pendataan khatib. Jika hal itu terjadi, kata dia, seharusnya Polri mendapat sanksi.
“Menurut saya itu konyol,” katanya.
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto menyatakan, pihaknya belum mengetahui kebenaran peristiwa yang terjadi di STIE Ahmad Dahlan. Ketika ditanya soal boleh atau tidaknya Polri mendata nama khatib di kampus, ia tidak menjawab.
Setyo hanya menegaskan, Polri boleh masuk ke kampus selama untuk penegakan hukum dan ikut dalam aktivitas sebagai peserta kuliah. “Mereka [kampus] sering mengundang sebagai pembicara. Selain itu, tiap hari banyak anggota Polri yang masuk kampus karena memang kuliah di kampus tersebut. Apa ada larangan?” kata dia.
Ia justru melontarkan pertanyaan retoris “kampus tersebut wilayah Republik Indonesia bukan ya? Wilayah kerja Polri seluruh wilayah NKRI termasuk premis-premis RI di luar negeri.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz