tirto.id -
Ketua STIE AD, Mukaher Pakkanna menjelaskan, ada dua kasus yang terjadi. TNI terlibat dengan perkara permintaan pendataan nama dosen dan rektor STIE AD. Sedangkan Polri terlibat dengan pendataan nama khatib dan isi ceramah STIE AD.
Mukhaer meralat pernyataannya bahwa kejadian anggota pembinaan masyarakat (Binamas) Polsek Jatiuwung, Aiptu Yusuf datang pada Kamis (5/4/2018). Yusuf datang pada Jumat (6/4/2018) dan melaksanakan salat Jumat di sana.
Meski sudah mengadakan dua kali pertemuan, masih ada benang kusut peristiwa yang terjadi hari itu. Satu kesamaan, Yusuf memang meminta nama khatib pada kesempatan tersebut.
Versi STIE AD, Yusuf sudah sering melakukan salat Jumat di sana. Di hari itu, Yusuf tiba-tiba menemui kepala keamanan dan meminta daftar nama khatib selama satu tahun, termasuk isi ceramahnya. Satpam yang tidak tahu hal tersebut lantas memanggil Kepala Staf Umum, Angel Ardian.
Ketika Angel datang, Yusuf sudah tidak ada. Kasus itu lantas menjadi perdebatan: mengapa Polri meminta nama khatib, termasuk isi ceramahnya?
"TNI-Polri sering salat Jumat di situ. Tapi baru sekali Polri minta daftar dan isi ceramah," tegasnya pada Tirto, Selasa (10/4/2018).
Pada pertemuan yang dihadiri Dandim 0506/Tangerang Letnan Kolonel Imam Gogor dan Kapolres Kota Tangerang Kombes Harry Kurniawan, disimpulkan terjadi salah komunikasi antara anggota Polri sendiri.
Dalam aturannya, Mukhaer merasa Polri memang memiliki perintah tak tertulis ketika salat Jumat di lokasi yang mereka datangi, yakni melaporkan nama khatib dan isi ceramah. Tindakan ini disalahartikan oleh Yusuf sebagai mendata khatib sepanjang tahun 2018 di STIE AD.
"Terjadi miskomunikasi terutama di tingkat aparat sehingga diperlukan sikap kehati-hatian, perlunya perbaikan dan koreksi prosedur di tingkat lapangan dalam pendataan dan pembinaan masyarakat sehingga tidak memunculkan lagi reaksi dan kegaduhan masyarakat," kata Mukhaer.
Namun dari pertemuan tersebut, hubungan STIE AD dengan TNI-Polri sudah tidak ada masalah. Untuk ke depannya, STIE AD malah ingin mengajak aparat untuk menjadi khatib. Yang jelas, perkuliahan di STIE AD tetap bebas dari intervensi penegak hukum.
"Para pihak sepakat bahwa dunia Perguruan Tinggi memiliki otonomi dan kebebasan akademik yang perlu dihargai dalam rangka mengembangkan budaya kritis, kooperatif, dan bertanggungjawab," tegasnya lagi.
Versi Polri menyampaikan hal yang sedikit berbeda. Kapolsek Jatiuwung, Kompol Eli mengatakan, Yusuf meminta maaf karena tindakannya menyebabkan adanya salah komunikasi yang berujung viral.
"Tapi tidak pernah dia mendata nama khatib," tegas Eli saat dikonfirmasi Tirto.
Eli mengatakan, Yusuf hanya melakukan salat keliling. Berbeda dengan yang dikatakan Mukhaer, Eli menegaskan anggotanya baru sekali mengadakan salat Jumat di sana. Saat salat Jumat keliling, sudah wajar bagi anggota untuk mendata siapa nama khatib dan isi ceramahnya.
"Tapi itu tidak wajib juga. Itu hanya membuktikan dia memang ibadah," kata Eli lagi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri