tirto.id - Hari kelima bulan Oktober tahun ini akan menandakan 79 tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkiprah sebagai alat pertahanan negara. Jelang pemerintahan baru, TNI diharapkan memperkuat profesionalitas prajurit dan tunduk terhadap negara hukum demokrasi. TNI perlu setia pada tugas fungsi utamanya sebagai garda depan pertahanan bangsa, agar tidak terjebak urusan-urusan sampingan.
Sejumlah pemerhati dan analis bidang pertahanan militer memandang penguatan profesionalisme dan ketaatan hukum bagi prajurit TNI menjadi evaluasi utama. Mereka melihat TNI masih rawan balik tergelincir ke jurang ‘Dwifungsi’ dengan banyaknya perwira yang bercokol di jabatan publik. Cita-cita reformasi harus diselesaikan dan didorong terus agar TNI tidak berjalan mundur.
Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, menilai, TNI saat ini masih sering tidak fokus pada fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara sebagaimana mandat konstitusi dan raison d’etre militer di negara demokrasi. Salah satu penyebabnya adalah kontestasi politik praktis yang menarik-narik TNI dalam urusan sipil.
Hussein melihat dalam upaya revisi Undang-Undang TNI beberapa waktu lalu, yang lagi-lagi mencoba mengembalikan pesan sosial-politik Dwifungsi ABRI. Hal itu terlihat dari salah satu pasal dalam revisi UU TNI yang membolehkan kembali TNI masuk di kementerian dan lembaga selama mendapat persetujuan Presiden.
Selain itu, Hussein melihat masih ada figur-figur pimpinan yang melibatkan prajuritnya pada urusan-urusan sipil, salah satunya mencopot baliho saat pemilu.
“Keduanya melemahkan profesionalitas TNI sebagai alat pertahanan negara yang combat ready fokus pada menghadapi ancaman perang,” kata Hussein dihubungi reporter Tirto, Kamis (3/10/2024).
Hussein menyatakan untuk mencapai TNI yang profesional, setidaknya perlu memenuhi 4W. Well Trained, Well Educated, Well Equipped, dan Well Paid. Saat ini, kata dia, keempatnya masih perlu perbaikan di sana-sini.
Pemerintah mendatang juga perlu meneguhkan political will untuk menuntaskan reformasi di tubuh TNI. Pasalnya, kata Hussein, kasus-kasus dugaan kekerasan dan penyiksaan warga sipil yang melibatkan prajurit TNI masih menjadi masalah laten.
Menurut Hussein, tak ada jalan lain selain mereformasi sistem peradilan militer. Peradilan militer idealnya hanya mengadili perkara khusus pidana militer seperti disersi, pembocoran rahasia militer, dan lain-lain. Pada tindak pidana umum yang dilakukan anggota militer aktif, kata Hussein, sudah seharusnya diadili lewat peradilan umum.
“Itu amanat UU TNI dan TAP MPR Nomor 6 dan 7 Tahun 2000. Tidak mungkin masyarakat percaya akan ada keadilan di peradilan militer kalau hakimnya, jaksanya, pengacaranya, dan terdakwanya semua sama-sama militer,” tegas Hussein.
Reformasi peradilan militer perlu digulirkan kembali lewat revisi UU Nomor 31/1997 tentang Pengadilan Militer. Eksklusifitas peradilan militer dikhawatirkan akan memelihara impunitas di tubuh TNI. Sejauh ini, beberapa kasus yang ditangani lewat peradilan militer memang masih menimbulkan catatan.
Ia mencontohkan pada kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Eluay, yang hukumannya tidak adil; kasus serangan lembaga pemasyarakatan Cebongan yang hukumannya tergolong ringan: hingga penanganan kasus korupsi helikopter AW 101 yang dihentikan melalui SP3 oleh TNI.
“Selain itu harus perkuat pengawasan terhadap institusi TNI. Untuk itu penting agar Kemhan dan komisi I DPR RI tidak lagi hanya sebagai juru bicara dan tukang stempel,” kata Hussein.
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Hans Giovanny Yosua, memandang profesionalisme prajurit TNI ke depan memang perlu ditingkatkan. Hans menyoroti kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan prajurit masih terus terjadi. Padahal, prajurit TNI seharusnya mematuhi Undang-Undang TNI yang menyatakan bahwa Prajurit TNI profesional adalah tentara rakyat sehingga tidak seharusnya melukai warga sipil.
“Apalagi sampai menjadi pelaku tindak-tindak penyiksaan kepada warga sipil,” kata Hans kepada reporter Tirto, Kamis (3/10/2024).
Di sisi lain, Hans memandang profesionalisme TNI terganggu dengan pelibatan prajurit saat mengamankan proyek-proyek pembangunan nasional maupun swasta. TNI seharusnya tak perlu mengawal – apalagi mengamankan – proyek-proyek pembangunan yang tidak terkait hubungannya dengan tugas pertahanan negara.
Proyek-proyek pembangunan pemerintah sendiri tak sedikit memicu konflik agraria dengan warga. Adanya TNI di tengah-tengah proyek negara dikhawatirkan membuat prajurit justru ikut terjebak dalam pusaran konflik vertikal dengan warga.
Pada tahun 2023, KontraS mencatat masih banyak kasus kekerasan anggota TNI yang menimpa warga sipil. Ada sebanyak 59 peristiwa kekerasan yang terdiri atas 32 tindak penganiayaan, 15 intimidasi, 11 penyiksaan, 3 penembakan, 5 kekerasan seksual, 2 penghukuman tidak manusiawi, 4 penculikan, serta 2 kasus penangkapan sewenang-wenang.
Adapun dalam laporan ‘Situasi Penyiksaan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia’ yang dipublikasikan Kontras pada 26 Juni 2024 lalu, tercatat 60 peristiwa penyiksaan yang menyebabkan 92 orang menjadi korban di mana 14 di antaranya merupakan korban di bawah umur.
Berdasarkan pemantauan tersebut Kepolisian tercatat menempati urutan teratas dengan 40 peristiwa penyiksaan, diikuti oleh TNI dengan 14 kasus, dan sipir dengan 6 kasus.
“Fungsi tugas utama TNI adalah alat negara dalam hal pertahanan yang fungsi utamanya adalah diterjunkan dalam operasi militer. Adapun misalnya operasi militer selain perang atau OMSP itu harus dilakukan atas dasar keputusan politik negara,” ujar Hans.
Sayangnya, kata Hans, mekanisme OMSP sering kali tak dijalankan sesuai mandat UU TNI. Ia masih melihat banyak kasus-kasus saat TNI justru digunakan untuk membubarkan unjuk rasa warga sipil atau mengawal pembangunan proyek negara.
Dengan begitu, Hans menilai sangat penting bagi institusi TNI ke depan menanamkan kultur memahami hak asasi manusia (HAM). Dari sisi instrumen hukum, Hans setuju jika peradilan militer direvisi agar tidak ada lagi urusan hukum prajurit justru dibahas tertutup dan eksklusif.
DPR dan pemerintah ke depan harus fokus mendorong reformasi TNI yang masih tertunda seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial (koter), dan melakukan evaluasi serta koreksi menyeluruh penyimpangan tugas pokok TNI.
“Evaluasi aspek transparansi dan akuntabilitas, baik itu dalam hal pengadaan-pengadaan alutsista maupun transparansi dan akuntabilitas di dalam penerjunan prajurit dalam operasi militer non-perang atau operasi militer,” ujar Hans.
Urgensi Kepatuhan Hukum
Pengamat militer sekaligus Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi, menekankan bahwa kepatuhan terhadap hukum merupakan fondasi setiap institusi yang profesional, termasuk TNI. Meskipun reformasi militer memberikan arahan yang jelas, masih terdapat tantangan dalam memastikan agar seluruh prajurit patuh terhadap hukum.
“Terutama dalam kasus yang melibatkan warga sipil,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Kamis (3/10/2024).
Salah satu masalah yang sering kali mencuat adalah ketidakpuasan publik terhadap proses peradilan militer, yang kurang transparan dan tidak memberikan efek jera yang cukup. Untuk meningkatkan kepatuhan terhadap hukum, jelas Fahmi, salah satu dorongan utama adalah membuka proses peradilan militer yang melibatkan kasus kekerasan terhadap warga sipil dengan pengawasan publik.
Bukan hanya memberikan keadilan kepada korban, namun juga membangun kepercayaan masyarakat terhadap integritas TNI sebagai institusi yang tidak kebal hukum. Penerapan sanksi yang tegas dan transparan bagi prajurit yang terbukti bersalah juga akan memberikan sinyal kuat bahwa TNI menghargai supremasi hukum.
Menurut Fahmi, internalisasi disiplin serta kepatuhan hukum perlu ditanamkan sejak awal pendidikan militer. Hal ini tidak berarti pemahaman cukup meliputi aturan militer, namun juga pemahaman kepada prajurit agar memiliki tanggung jawab moral menjaga keselamatan dan keamanan rakyat.
“Dengan membangun budaya hukum yang kuat, TNI akan semakin dihormati, tidak hanya karena kekuatannya dalam menjaga kedaulatan, tetapi juga karena dedikasinya dalam menegakkan keadilan,” sambung Fahmi.
Fahmi menyampaikan harapan publik pada presiden terpilih, Prabowo Subianto, akan sangat besar untuk peningkatan profesionalitas dan perbaikan di tubuh TNI. Pengalaman Prabowo dalam dunia militer seharusnya bisa memberikan perspektif mendalam tentang kebutuhan TNI agar lebih kuat dan profesional.
Ia berharap ada modernisasi alutsista dan sistem pertahanan secara menyeluruh. Indonesia perlu meningkatkan kemampuan tempur agar lebih relevan dengan ancaman global, seperti ancaman di wilayah maritim, perang siber, hingga konflik asimetris. Selain itu, kesejahteraan prajurit harus mendapatkan perhatian lebih.
“Terutama yang bertugas di wilayah terluar, daerah terpencil maupun daerah tertinggal,” kata Fahmi.
Pembenahan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) penting dilakukan seiring meningkatnya kebutuhan Indonesia menghadapi bencana alam, krisis kesehatan, serta situasi darurat lain. Lebih lanjut, pemerintah ke depan harus menjamin netralitas dan akuntabilitas TNI.
“Sebagai presiden berlatar belakang militer, ia memiliki peluang besar untuk mendorong TNI menjadi lebih profesional, sekaligus tetap menjaga jarak dari politik sehari-hari,” ucap Fahmi.
Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Hariyanto, menyebut momen HUT ke-79 TNI akan menjadi momen refleksi bagi seluruh prajurit. Dia menyatakan bahwa Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto berpesan agar hari jadi TNI dapat membuat seluruh prajurit terus meningkatkan profesionalisme dan semangat juang menjaga keutuhan NKRI.
“TNI berkomitmen untuk selalu siap sedia dalam mengawal kepentingan nasional, baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Hariyanto kepada reporter Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Andrian Pratama Taher