Menuju konten utama

DPR Ingatkan Pemerintah soal Pengelolaan Utang

Marwan menilai imbal hasil di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara.

DPR Ingatkan Pemerintah soal Pengelolaan Utang
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Rupiah ditutup melemah 28 poin atau 0,18 persen ke posisi Rp15.601 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp15.573 per dolar AS akibat dipicu kekhawatiran Bank Indonesia (BI) akan kembali menaikkan suku bunga acuan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

tirto.id - Anggota Komisi XI DPR, Marwan Cik Asan menyoroti terkait pengelolaan utang negara yang dilakukan pemerintah. Mulai dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) setiap tahun, tingginya yield dibanding negara ASEAN, hingga kulminasi utang di masa depan.

“Saya ingin memberikan beberapa penekanan, karena bagaimanapun juga pagu indikatif ini kan kita buat, rencana kerja ini kita buat, untuk membuat Kementerian Keuangan terutama dirjen terkait dengan pembiayaan dan risiko ini supaya perform dalam mengelola utang kita. Salah satu tugasnya kan seperti itu,” tutur Marwan dalam rapat kerja dengan Eselon I Kemenkeu di DPR, dikutip Rabu (14/6/2023).

Dia mengklaim terdapat SiLPA yang cukup besar yang didapatkan dari pembiayaan utang. Marwan mencontohkan SiLPA pada tahun 2020 mencapai Rp245 triliun, SiLPA tahun 2021 yaitu Rp84,9 triliun dan Rp111 triliun pada 2022.

“Tetapi ini bagian dari evaluasi kita, makin besar SiLPA yang tersisa dari APBN kita berarti semakin besar juga uang hasil pinjaman yang tidak kita pakai dan ini adalah uang yang berbunga,” ungkap legislator Dapil Lampung II itu.

Lebih lanjut, dia menyoroti terkait tingginya yield atau imbal hasil investasi. Marwan menilai imbal hasil di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara.

Untuk diketahui, pemerintah menargetkan imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara yaitu 6,49 persen- 6,91 persen. Hal itu sebagai indikator program perbendaharaan, kekayaan negara dan risiko.

“Yang kedua tentang yield yang terjadi setiap tahun. Indonesia ini tinggi sekali biaya bunganya itu lho antara 6 sampai 7 persen. Ini jauh dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN," katanya.

Kemudian, dia juga menyoroti terkait catatan BPK yaitu kulminasi utang yang akan terjadi pada periode 2025-2030. Sebab itu, dia berharap DJPPR dapat memberikan perhatian pada tiga poin yang disampaikannya tersebut.

“Nah jadi pada tiga sektor tersebut, Saya minta untuk menjadi perhatian Pak Suminto beserta jajarannya pertama terkait SiLPA mungkin tidak 100 persen di Bapak, yang kedua terkait imbal hasil pinjaman, yang ketiga terkait kulminasi hutang 2025-2030,” tutup Marwan.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang Pemerintah Indonesia mencapai sebesar Rp7.849,89 triliun hingga per akhir April 2023. Posisi utang ini setara dengan 38,16 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Dalam sebulan, utang pemerintah berhasil diturunkan sebesar Rp29,18 triliun. Posisi utang pemerintah pada Maret 2023 sebelumnya berada di Rp7.879,07 triliun atau 39,17 persen terhadap PDB.

Baca juga artikel terkait PENGELOLAAN UTANG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin