tirto.id - Firli Bahuri, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, dan Lili Pintauli Siregar adalah orang-orang yang dipilih Komisi III DPR RI sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. Mereka juga sepakat Firli-lah yang jadi ketuanya.
Hari ini (16/9/2019), Komisi III DPR melaporkan hasil kerja mereka di depan Rapat Paripurna dan segera mengirimkan hasilnya kepada Presiden Joko Widodo untuk secepatnya ditindaklanjuti. Jokowi-lah yang nanti akan melantik semuanya.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin rapur, juga termasuk politikus paling getol menyerang KPK, mengatakan sebaiknya Jokowi sesegera mungkin melantik lima orang ini sebelum masa kerja pimpinan KPK periode sekarang habis, Desember 2019.
Fahri mengklaim tidak ada aturan yang dilanggar jika Presiden mempercepat pelantikan pimpinan terpilih KPK.
Sebagian besar anggota dewan pun mempunyai pandangan yang sama, klaim Fahri.
"Itu (pimpinan KPK) juga bisa sekaligus dilantik lima-limanya. Tidak ada masalah. Secara UU itu tidak salah. Sebab Keppres hanya mengatur kapan dia mulai [bertugas]," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Internal KPK saat ini tengah bergejolak. Dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Laode M Syarif, menyatakan mengembalikan mandat dan menyerahkan tanggung jawab mengelola KPK kepada Presiden karena tidak terima terhadap keputusan-keputusan yang dianggap melemahkan komisi antirasuah itu.
Pimpinan KPK lainnya, Saut Situmorang, lebih dulu melakukannya ketimbang Agus dan Laode. Otomatis, pimpinan KPK tersisa dua orang, Basaria Pandjaitan dan Alexander Marawata.
Fahri bilang kondisi tersebut memperkuat alasan Jokowi harus secepatnya melantik pimpinan baru KPK.
Kebijakan-kebijakan KPK diputuskan secara kolektif oleh para pimpinan. Tanpa pimpinan yang lengkap, kerja KPK sangat mungkin terhambat. Anggota Komisi III DPR dari fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengatakan itulah alasan utama Jokowi harus secepatnya melantik pimpinan baru KPK.
"Komisioner saat ini tak mampu melaksanakan tugas hingga akhir jabatan, ya tentu harus segera dilantik [pimpinan terpilih KPK]," kata Masinton kepada reporter Tirto.
Dikte Jokowi
Zaenur Rohman, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan anggota dewan sebetulnya sedang "mendikte" Jokowi. Dan itu, katanya kepada reporter Tirto, "menandakan mereka tidak paham Undang-Undang."
"Permintaan tersebut bertentangan dengan UU KPK. Berdasarkan Pasal 34 UU KPK (PDF), pimpinan memegang jabatan selama empat tahun. Pimpinan periode sekarang menjabat hingga Desember," katanya. Ia juga menjelaskan, "jika ada pimpinan KPK yang mundur, maka Presiden memilih pimpinan sementara, bukan melantik pimpinan terpilih KPK."
Lagipula, kata Rohman, hingga saat ini belum ada pimpinan KPK yang mengundurkan diri secara resmi. "Jadi secara hukum tidak ada ketentuan yang memberi dasar pelantikan pimpinan terpilih KPK sebelum Desember 2019."
Agus Rahardjo sampai hari ini masih bekerja. Tadi pagi dia bahkan melantik Cahya Harefa sebagai Sekretaris Jenderal dan Fitroh Rohcahyanto sebagai Direktur Penuntutan.
Jokowi pun bilang tidak ada istilah "pengembalian mandat", yang ada hanya skema mengundurkan diri, meninggal, hingga terjerat tindak pidana korupsi.
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menegaskan usulan percepatan pelantikan bukan bermaksud mendikte Presiden. Namun, katanya dalam pernyataan tertulis, "mencermati kondisi di KPK setelah terpilihnya lima pimpinan KPK. Situasinya gaduh dan adanya pandangan pro-kontra di masyarakat."
Tapi bagi Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia-Fakultas Hukum UI Dio Ashar Wicaksana, alasan pimpinan tidak lengkap sama sekali bukan halangan bagi KPK untuk bisa melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
"Dulu juga pimpinan KPK pernah jalan tanpa formasi lengkap lima orang. Jadi bukan alasan yang mendesak," ucap Dio.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino