Menuju konten utama

Dokter Bersatu di Perancis Gugat Pemerintah yang Abaikan COVID-19

Pemerintah Perancis dianggap melakukan 'kebohongan negara' dalam mengelola krisis atas bencana kesehatan COVID-19.

Dokter Bersatu di Perancis Gugat Pemerintah yang Abaikan COVID-19
Perdana Menteri Prancis Edouard Philippe didampingi Menteri Junior untuk reformasi pensiun Laurent Pietraszewski dan Menteri Kesehatan dan Solidaritas Agnes Buzyn berbicara kepada para wartawan setelah pembukaan konferensi mengenai dana pensiun antara perwakilan negara Prancis dan mitra sosial di Paris, Kamis (30/1/2020). (Charles Platiau/Pool via AP)

tirto.id - Lebih dari 600 dokter di Perancis yang menamakan diri C19 menggugat mantan Menteri Kesehatan Agnès Buzyn dan Perdana Menteri Édouard Philippe ke pengadilan, 19 Maret lalu. Gugatan dilayangkan setelah seorang dokter meninggal akibat pandemi Corona COVID-19.

Kedua politikus ini dianggap melakukan 'kebohongan negara' dalam mengelola krisis yang timbul karena COVID-19. Para praktisi ini menuduh Agnès Buzyn dan Édouard Philippe tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlambat penyebaran pandemi di Perancis meskipun mereka sadar akan bahayanya.

Buzyn bahkan sempat mengeluarkan pernyataan 'meremehkan' terkait penyebaran virus ini.

“Risiko penularan virus ini di tengah populasi sangat rendah. Impor penularannya dari Wuhan hampir sama dengan nol,” kata Agnes Buzyn pada 24 Januari, saat masih menjabat, mencoba meyakinkan publik betapa kecilnya potensi pandemi ini.

Berdasarkan dokumen pengadilan, pemicunya berawal dari kelangkaan masker di pasaran. “Masker wajah akan didatangkan pada akhir Februari, kata pemerintah kepada para tenaga medis. Dan mereka percaya saja,” ujar Fabrice Di Vizio, kuasa hukum C19, seperti dilansir Le Figaro. Namun hingga awal Maret, masker tak kunjung datang. Pemerintah mulai mengatakan tidak butuh masker.

“Itu bohong. Kenyataannya, kami tidak memiliki persediaan,” tambah Di Vizio.

Pemerintah Perancis lantas berjanji akan menyiapkan masker wajah secara efektif. Namun persediaan masker yang datang tak cukup.

Investigasi kriminal, menurut Di Vizio, penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana informasi yang disembunyikan dari pemerintah Perancis. Hal tersebut untuk menentukan tanggung jawab dan peran masing-masing pihak dalam kegagalan mitigasi bencana kesehatan di negera itu.

Masih melansir Le Figaro, saat ini pengaduan tersebut tengah dipelajari Komisi Pengaduan. Mereka akan mengirimnya ke Komite Investigasi. Selanjutnya, komite yang terdiri dari sejumlah hakim akan melanjutkannya ke tingkat penyelidikan.

C19 menggugat berdasarkan pasal 223-7 dari hukum pidana, yang berbunyi: Siapa pun yang secara sukarela menahan diri untuk tidak mengambil atau memprovokasi tindakan yang memungkinkan, tanpa risiko untuknya atau untuk sebagiannya, untuk memerangi bencana yang cenderung menimbulkan bahaya bagi keselamatan pribadi maupun publik, dihukum dua tahun penjara dan denda 30 ribu euro.

Salah Satu Kasus Tertinggi di Dunia

Kemarahan para tenaga medis ini makin memuncak ketika mengetahui ada perusahaan Perancis yang memproduksi masker justru untuk Inggris. Menurut Di Vizio, berdasarkan wawancara dengan surat kabar Le Monde, Buzyn tahu perkara ini “tapi tidak melakukan apa-apa.”

Buzyn diwawancarai oleh Le Monde pada 17 Maret. Saat itu ia mengaku “yang paling pertama tahu apa yang terjadi di Cina,” negara pertama COVID-19 menyebar. Buzyn lantas mengatakan bahwa ia memberitahu situasinya kepada para pejabat terkait. “Pada 11 Januari, saya mengirim pesan kepada Presiden (Emmanuel Macron) tentang situasi saat ini. Pada 30 Januari saya memperingatkan PM Edouard Philippe bahwa pemilu mungkin saja dibatalkan.”

Menurut persatuan dokter, pemerintah seharusnya dapat bertindak lebih cepat sejak 30 Januari, ketika Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan virus ini sebagai epidemi. Mereka menganggap pemerintah semestinya melakukan antisipasi dengan, misalnya, membeli massal alat pelindung diri (APD) berupa masker wajah, baju hazmat, goggles, dan sarung tangan. Pemerintah juga semestinya mengikuti rekomendasi WHO untuk melakukan screening sistematis.

Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan isolasi kepada mereka yang tidak menunjukkan gejala namun berpotensi menjadi carrier (pembawa) virus. “Ini berhasil di Korea Selatan dan seharusnya bisa ditiru di Eropa,” ujar Di Vizio.

Per 23 Maret, menurut John Hopkins University & Medicine, kasus positif COVID-19 di salah satu negara Eropa Barat itu mencapai 16.937, dengan korban meninggal mencapai 674 dan pasien sembuh 2.200.

Jumlah tersebut menempatkan Perancis di peringkat ketujuh negara dengan kasus COVID-19 positif terbanyak di dunia, persis di bawah Iran. Angkanya lebih banyak dari Korea Selatan yang mencapai 8.961 kasus. Sementara untuk kasus meninggal, Perancis menempati peringkat kelima terbanyak.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Rio Apinino