tirto.id - Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi, menyatakan masyarakat tidak perlu khawatir dengan adanya automatic exchange of information (AEOI). Seperti diungkapkan Ken dalam seminar nasional bertajuk ‘Komitmen Indonesia atas Implementasi Automatic Exchange of Information Tahun 2018’ di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Jumat (3/3/2017), AEOI hanya akan dilakukan untuk melihat data warga negara asing yang membuka rekening di Indonesia.
Sementara itu, karena telah ada 100 negara lain yang sepakat mengakhiri kerahasiaan perbankan, Indonesia akan mendapatkan informasi dari negara-negara tersebut perihal warga negara Indonesia yang memiliki aset di sana.
Menurut rencana, AEOI akan diberlakukan mulai September 2018. Pemberlakuan AEOI ini sendiri terkait dengan dibuatnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Kerahasiaan Perbankan.
“Sebenarnya yang menjadi heboh kan karena ada ketakutan. Tapi tenang saja, kalau di sini yang dilihat adalah rekening nasabah asing. Itu pun untuk keperluan audit, yang akan dilaporkan ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Kalau dulu ini dilakukan secara manual, sekarang bisa secara online,” ujar Ken.
Untuk menepis kekhawatiran masyarakat, Ken menjamin sistem informasi yang dibentuk memprioritaskan faktor keamanan. “Jadi nanti ada bagian tertentu yang menangani itu. Kalau ada data yang masuk ke server kami, dan ada pihak berotoritas yang meminta, dia langsung menghubungi ke bagian tersebut,” kata Ken.
Senada dengan Ken, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), Hestu Yoga Saksama, juga meminta masyarakat untuk percaya kepada Dirjen Pajak dalam hal AEOI ini.
“Indonesia sudah lulus fit and proper test. Enggak mungkin kan masyarakat internasional mau mengakui kalau kita saja enggak lulus dari sisi internal. Standar operasional untuk bagaimana data diterima dan jaminan agar data tidak bocor juga ada. Dirjen Pajak sendiri sudah lulus assessment oleh Global Forum on Transparancy and Exchange Information,” ujar Hestu kepada awak media seusai acara.
Oleh karena itu, Hestu menyatakan pihaknya berupaya betul agar standar yang digunakan Dirjen Pajak dalam AEOI sesuai standar minimum kesepakatan internasional. “Jangan sampai kita gagal untuk mencapai itu. Karena di Singapura, Hongkong, aturannya juga seperti itu. Sebisa mungkin tidak ada celah, yang mana bisa berakibat kita tidak diikutkan dalam AEOI ini,” katanya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menilai langkah Dirjen Pajak ini sebagai upaya pemerintah untuk menekan jumlah pengemplang pajak yang mengamankan asetnya di luar negeri.
“Saya kira Perpu Kerahasiaan Perbankan pada dasarnya akan menjadi aturan primer yang lebih menguatkan dengan keterbukaan informasi nasabah untuk keperluan perpajakan. Oleh karenanya, Perpu ini dapat digunakan untuk menggantikan UU Perbankan yang berkaitan dengan kerahasiaan bank,” ucap Muliaman.
Di luar negeri, pertukaran informasi keuangan pertama kali dilakukan Amerika Serikat yang menerbitkan Foreign Account Tax Compliance (FATCA) pada Maret 2010. Bentuk dari FATCA adalah perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain untuk mencari warga negara Amerika Serikat yang melakukan pengemplangan pajak. Hal inilah yang lantas diadaptasi oleh negara-negara G20, termasuk Indonesia, untuk mulai menerapkan AEOI.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari