tirto.id - Seorang remaja usia 15 tahun diperkosa oleh lima hingga enam laki-laki. Empat puluh orang menyaksikannya langsung. Tak ada yang melapor ke polisi ketika kejadian berlangsung. Para pelakunya diduga saling mengenal. Kini remaja tersebut menjalani perawatan intensif. Saat ditemui polisi, ibu sang korban mengaku putrinya telah 24 jam menghilang.
Sekilas, tidak ada yang luar biasa dari peristiwa yang terjadi di Chicago pada Rabu lalu (22/03/17), kecuali saksi sebanyak empat puluh orang yang tak bergeming. Peristiwa ini bisa terjadi di mana saja dan diberitakan lembar kriminal di media manapun.
Namun, empat puluh orang saksi itu jauh jaraknya dari tempat kejadian. Pemerkosaan tersebut kabarnya muncul begitu saja dalam Facebook Live, sebuah fasilitas live video streaming yang disediakan Facebook.
Sudut Gelap Facebook Live
Sejak diluncurkan secara terbatas pada 2015, Facebook Live berkembang jauh dari yang awalnya didesain untuk berkomunikasi dengan orang-orang terdekat, kini menjadi menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa penting.
Pada awal Januari 2017 situs berita CNN merangkum momen-momen Facebook Live yang mendapat sorotan publik. Daftar itu dibuka dengan video Facebook Live yang pertama mengudara yang memperlihatkan dua orang menunggu semangka meledak, siaran langsung persalinan, lalu ke video seorang perempuan separuh baya berkaraoke di mobil.
Pada video di urutan keempat, kelima dan seterusnya, kita mendapati momen-momen luar biasa: penembakan oleh polisi, penganiayaan, overdosis, dan pemukulan.
Daftar ini belum selesai. Pada 15 Januari 2017, seorang gadis usia 12 tahun asal Polk County, negara bagian Georgia, dikabarkan bunuh diri dan menyiarkannya di Facebook. Sepuluh hari setelahnya, aksi ini diulangi seorang aktor pemula bernama Frederick Jay Bowdy yang tinggal di negara bagian California.
Di Indonesia, Pahinggar Indrawan, seorang laki-laki asal Jakarta, menyiarkan bunuh diri di Facebook. Wall Street Journal mencatat setidaknya terdapat 57 kasus kekerasan yang disiarkan secara langsung melalui berbagai macam platform, khususnya Facebook dan Periscope.
Banyaknya konten kekerasan yang tersebar di Facebook memaksa perusahaan Mark Zuckerberg itu mengeluarkan pernyataan resmi yang kembali menekankan tujuan dirilisnya fitur tersebut.
"Ketika kami meluncurkan membuat Facebook Live, kami membayangkan wahana itu akan digunakan oleh orang-orang untuk berbagi momen spesial dengan keluarga dan teman-teman, entah itu ketika mereka main ke tempat baru, masak resep favorit baru, atau sekadar mengeluarkan isi kepala,” kata Zuck, seperti dikutip New Zealand Herald.
Februari lalu, Facebook mengumumkan pengintegrasian mekanisme anti-bunuh diri pada fitur Facebook Live serta menawarkan dukungan live-chat dari organisasi-organisasi setempat seperti National Suicide Prevention Lifeline dan Crisis Text Line melalui fitur Facebook Messenger.
Yang Publik dan Yang Personal
Perlu juga dicatat bahwa live video streaming memiliki potensi yang tidak sedikit. Ia membawa sarana baru untuk jurnalisme warga dan aktivisme sosial. Karena sifatnya live, fasilitas ini dianggap menghadirkan peristiwa secara otentik, tanpa manipulasi dan penyuntingan. Dan karena portabilitasnya, tiap pengguna diasumsikan memiliki kapasitas untuk memproduksi konten-konten publik.
Peran sosial live video streaming di sini bisa disejajarkan dengan televisi yang mulai terdistribusi secara merata di tiap rumah tangga Amerika Serikat pada 1960an. Waktu itu, pertama kalinya perang disiarkan melalui berita televisi.
Ketika pemuda Amerika direkrut secara paksa untuk terjun ke meda perang Vietnam, televisi terbukti ampuh menyebarkan sentimen anti-perang pada rumahtangga yang cenderung konservatif dan pro-perang. Caranya dengan memperlihatkan kesengsaraan pada serdadu rekrutan di Vietnam.
Pada gilirannya, ia turut membentuk opini publik mengenai kesia-siaan Perang Vietnam. Namun di sisi lain, pada dekade yang sama masyarakat Amerika mulai akrab dengan kekerasan yang diperlihatkan melalui televisi.
Keunggulan fasilitas live video streaming beserta ekses-eksesnya ini kemudian memancing diskusi yang lebih mendalam mengenai peran Facebook. Semenjak pemilus AS tahun lalu, Facebook dituduh menjalankan peran sebagai perusahaan media. Pasalnya, sebagai media ia memberlakukan sensor dan filter melalui algoritma.
Dengan kasus-kasus seperti kekerasan dan bunuh diri, serta kebijakan Facebook yang menyediakan fasilitas pelaporan untuk konten-konten tertentu, nampaknya kontradiksi antara yang publik dan yang personal pun seolah terdamaikan—sekaligus tidak dikehendaki Facebook.
Otentisitas tontonan dan sensasi kelangsungan (immediacy) yang didapat ketika menonton protes anti-Trump pun akhirnya berlaku pada kesenangan pada orang-orang tertentu untuk mengekspos dan menyaksikan aksi-aksi kekerasan dan pencabulan—tanpa editing, tanpa efek visual, tanpa manipulasi, tanpa keterangan konteks peristiwa, dan tanpa pemberitahuan tentang konsekuensi etis dari aktivitas-aktivitas tersebut.
Empat puluh orang yang menonton pemerkosaan, seperti halnya ribuan penonton bunuh diri Pahinggar minggu lalu, memunculkan pertanyaan tersendiri: apakah produk-produk temuan Facebook yang bertujuan merekatkan hubungan sosial para penggunanya dan membuat mereka bersimpati tanpa batas untuk isu-isu tertentu, justru mendorong suatu kultur di mana mati rasa meraja?
========================
Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdikusi dengan pihak terkait, seperti psikolog atau psikiater maupun klinik kesehatan jiwa. Salah satu yang bisa dihubungi adalah Into the Light yang dapat memberikan rujukan ke profesional terdekat (bukan psikoterapi/ layanan psikofarmaka) di intothelight.email@gmail.com.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani