Menuju konten utama
Suap Pegawai MA

Dipanggil KPK, Nurhadi dan Eddy Mangkir

Nurhadi dan petinggi PT Paramount Enterprise Eddy Sindoro mangkir dari panggilan KPK. Keduanya akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang didaftarkan di PN Jakpus.

Dipanggil KPK, Nurhadi dan Eddy Mangkir
Ilustrasi. rumah mewah milik sekretaris MA nurhadi usai digeledah kpk di jalan hang lengkir v, no 2-6, kebayoran baru, jakarta, kamis (21/4). antara foto/wahyu putro a.

tirto.id - Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan petinggi PT Paramount Enterprise Eddy Sindoro mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keduanya sejatinya akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

“Staf Nurhadi datang membawa surat dan meminta jadwal ulang pemeriksaan, sedangkan untuk Eddy Sindoro belum ada keterangan,” kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Jumat (20/5/2016).

Namun waktu pemeriksaan ulang belum ditentukan. “Alasan ketidakhadiran belum diketahui karena tidak disebutkan di suratnya,” ujarnya.

Sebelumnya, KPK sudah mencegah Nurhadi dan Eddy bepergian ke luar negeri terkait dengan penyidikan perkara ini. Rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir bahkan sudah digeledah pada 21 April lalu dan ditemukan uang senilai total Rp1,7 miliar yang terdiri dari sejumlah pecahan mata uang asing.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan, uang tersebut terkait dengan perbuatan pidana sejumlah kasus. “(Uang dari) kumpulan dari bermacam-macam kasus, itu yang sedang diteliti. Jumlah uangnya itu kasus A berapa, kasus B berapa itu sedang diteliti,” kata Laode beberapa waktu lalu.

KPK sedang mencari supir Nurhadi bernama Royani karena Royani sudah dua kali dipanggil tapi tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan sehingga Royani diduga disembunyikan. KPK menduga Royani adalah orang yang menjadi perantara penerima uang dari sejumlah pihak yang punya kasus di MA.

Sedangkan Eddy Sindoro diketahui pernah menduduki sejumlah jabatan penting di kelompok usaha Lippo Group seperti Wakil Presiden Direktur dan CEO PT Lippo Cikarang Tbk, Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk, Presiden Komisaris PT Pacific Utama Tbk, Komisaris PT Lippo Karawaci Tbk dan sejumlah anak perusahaan lainnya.

Kelompok bisnis Lippo Grup diduga terlibat kasus ini. Salah satu perkara yang sedang diurus di tingkat MA adalah sengketa antara PT Direct Vision yang merupakan bagian dari Lippo Group dengan Grup Astro, korporasi yang berasal dari Malaysia dan Belanda.

Kedua kelompok bisnis itu pecah kongsi dan masuk ke pengadilan arbitrase Singapura International Arbitration Center (SIAC) dengan putusan Grup Lippo harus membayar ganti rugi 230 juta dolar AS dan Rp6 miliar ke Astro All Asia Network Plc. Namun atas putusan itu Lippo Group mengajukan pembatalan putusan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tapi kalah hingga tingkat kasasi sehingga Lippo pun mengajukan PK.

Kasus lain yang melibatkan grup Lippo adalah kasus kepailitan PT Kymco Lippo Motor Indonesia. Kymco sempat dimohon pailit oleh sejumlah kreditur di Pengadilan Niaga Jakpus. Permohonan pailit tersebut kemudian dikabulkan pengadilan, bahkan hingga tingkat PK.

Kymco diharuskan membayar terhadap pihak penggugat pailit dalam batas waktu yang telah ditentukan. Namun, Kymco kemudian mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) agar tidak perlu dipailitkan.

KPK melakukan OTT pada Rabu (20/4/2016) di Hotel Accacia Jalan Kramat Raya Jakpus dan mengamankan panitera/sekretaris PN Jakpus Edy Nasution dan seorang swasta Doddy Aryanto Supeno. Penangkapan dilakukan seusai Doddy memberikan uang Rp50 juta kepada Edy dari komitmen seluruhnya Rp500 juta terkait pengurusan perkara di tingkat PK di PN Jakpus.

KPK menetapkan dua tersangka yaitu Edy Nasution dengan sangkaan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tengan penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sebagai pemberi suap adalah Doddy Aryanto Supeno dengan sangkaan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (ANT)

Baca juga artikel terkait KORUPSI

Sumber: Antara
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz