tirto.id - Usulan hak angket yang diajukan DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini dinilai masih sebagai kasus elit. Hal ini terlihat dari minimnya atensi publik terhadap bergulirnya hak angket terhadap kinerja lembaga antirasuah.
Praktisi hukum Andi Syafrani menegaskan, publik perlu menaruh perhatian dalam kasus hak angket KPK seperti layaknya kasus penistaan agama (kasus Ahok) yang menyita perhatian publik dan menimbulkan reaksi yang sangat besar dari masyarakat.
"Kalau kita bicara soal tekanan publik terhadap kasus yang sedang berjalan di pengadilan maka saya mengatakan tidak setuju. Sekali lagi kita harus menyatakan dengan tegas bahwa pengadilan itu independen. Tidak boleh terpengaruh oleh aspek eksternal apapun," kata Andi di Menteng, Jakarta, Sabtu (29/4/2017).
Andi mengaku, kasus hak angket masih dianggap sebagai permasalahan elit. Publik perlu diedukasi bahwa kasus hak angket yang berkaitan dengan proyek e-KTP ini memberikan dampak kepada masyarakat. Dengan demikian, publik akan bisa bergerak untuk mendukung gerakan mencegah permainan dalam hak angket ini.
Publik pun bisa melakukan beragam hal untuk membuktikan simpati mereka seperti berorasi atau mengirimkan karangan bunga ke Senayan. Alhasil, para anggota dewan bisa berhati-hati karena publik sudah menaruh atensi dalam proses hak angket.
Koordinator Divisi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz menilai, publik seharusnya bisa bergerak seperti kasus dugaan penistaan agama. Ia mengingatkan bahwa ada kasus korupsi yang melibatkan agama dan hal itu sangat penting untuk mendapat atensi publik.
"Kasus penistaan agama ada seruan dan fatwa MUI, nah ini ada kasus pengadaan Alquran kok MUI gak kasih seruan juga?" ujar Donal di Menteng, Jakarta.
Ia mengatakan, seruan tersebut sempat diunggah di akun media sosialnya. Ia mengajak publik untuk mengutuk korupsi tersebut karena merugikan umat Islam.
Hal itu berguna untuk membangun semangat publik dalam memberantas korupsi. Seharusnya, isu korupsi seperti korupsi Alquran juga mendapat dorongan dari publik seperti kasus dugaan penistaan agama.
"Jadi kalau kita merasa rugi dengan satu ayat, seharusnya kita makin rugi dengan satu Alquran," tegas Donal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri