tirto.id - Mantan Ketua MPR Amien Rais bersama Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin dan beberapa tokoh nasional kembali mempersoalkan UU Corona.
Setelah gugatan mereka tidak dikabulkan pada Kamis (23/6/2020) lalu, mereka kembali menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nama Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK).
Din Syamsuddin selaku Ketua Komite Pengarah KMPK mengatakan, mereka menggugat karena menolak keputusan pemerintah yang mengesahkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020.
"Sikap penolakan KMPK dilanjutkan dengan mengajukan gugatan Judicial Review (JR) atas UU Nomor 2/2020 kepada Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Din dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (2/7/2020).
Din mengatakan, pengajuan permohonan undang-undang juga sesuai dengan sikap KMPK yang sempat menggugat Perppu Nomor 1 tahun 2020 lalu.
Ada 5 persoalan yakni relevansi penerbitan Perppu dan penetapan menjadi undang-undang; penghapusan wewenang hak budget DPR dalam pasal 2 UU 2 tahun 2020; potensi penyelewengan, moral hazard dan korupsi sesuai pasal 27 UU 2 tahun 2020; potensi terulangnya kejahatan BLBI dan ancaman otoriterianisme mengacu pada pasal 28 UU 2 tahun 2020.
Dalam dokumen yang diakses reporter Tirto dari situs MK, sejumlah organisasi masyarakat ikut menggugat selain Din dan para tokoh yakni Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Wanita Al-Irsyad, Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad, DPP Amanat Kejujuran untuk Rakyat (Akurat Indonesia), Yayasan LBH Catur Bhakti, Wanita Islam, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Pemohon meminta agar Undang-Undang 2 Nomor tahun 2020 tidak memiliki kekuatan hukum.
"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kutip Tirto dari dokumen permohonan tersebut, Kamis (2/7/2020).
Dalam gugatan kali ini, Amien Rais cs menguji Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1, angka 2 dan angka 3, pasal 27 dan pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Para pemohon mengajukan alasan formil dan materill dalam permohonan kali ini. Pertama, mereka menyoalkan persetujuan DPR dalam masa sidang melanggar pasal 22 ayat 2 UUD 1945. Kemudian persetujuan DPR tidak melibatkan DPD karena bertentangan dengan passal 22D ayat 2 UUD 1945.
Sementara itu, dari sisi materiel, pemohon beralasan pasal 2 UU 2 tahun 2020 bertentangan dengan pasal 23 dan pasal 23A UUD 1945. Penggugat khawatir tanpa batas defisit bisa menimbulkan permainan politik anggaran.
"Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan agar pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyusun anggaran negara sampai 3 tahun ke depan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah pinjaman luar negeri," kutip Tirto dari poin B.1 angka 33 dokumen tersebut.
Mereka menyoalkan pasal 27 UU Nomor 2 tahun 2020 karena bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 23, pasal 23A, pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 1 dan pasal 28I ayat 2 UUD 1945. Mereka menyoalkan pengaturan hak imunitas dalam pasal tersebut.
Selain itu, pemohon juga menyoalkan pasal 28 UU 2 Tahun 2020 karena bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Mereka kembali mempersoalkan bahwa pemerintah sebetulnya mempunyai instrumen hukum lain dalam penanganan Covid-19, yakni lewat UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta pasal 27 ayat 3 UU 17 tahun 2003.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri