tirto.id - “Saya adalah pemilih Anda pada pilpres lalu, tidak hanya saya tetapi mayoritas masyarakat menengah ke bawah juga memilih Anda. Dan kami ini adalah rakyat yang hanya mampu membeli listrik dengan daya 450 VA dan 900 VA. Listrik termasuk kebutuhan primer di masa kini, tanpa listrik maka sulit bagi kami untuk hidup layak.”
Penggalan kalimat di atas adalah isi petisi yang ditulis Boy Mihaballo di laman www.change.org. Petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo itu memang tidak banyak mendapat respons publik, kalah jauh jika dibandingkan dengan razia Warung Tegal di Serang, Banten yang menyedot banyak perhatian dan membuat riuh suasana. Seorang presiden bahkan langsung turun tangan memberikan donasi.
Namun, apa yang dituliskan Boy dalam petisi itu tentu bukan hanya iseng semata, melainkan sebuah harapan agar pemerintah mendengarkan suara hatinya dan mengurungkan niatnya untuk mencabut subsidi setrum bagi pelanggan 900 Volt Ampere (VA) itu.
Pemerintah sendiri bersikeras ingin mencabut subsidi listrik dengan alasan tidak tepat sasaran. Direktur Utama PLN Sofyan Basir bahkan menyindir pemilik mobil mewah berjenis Alphard ikut menikmati subsidi listrik untuk masyarakat miskin. Akibatnya, subsidi listrik yang diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu itu tidak tepat guna.
Niat pemerintah untuk mencabut subsidi listrik bagi pelanggan 900 VA sudah direncanakan sejak awal tahun lalu. Namun, Komisi VII DPR RI menolak dengan alasan masyarakat belum siap menerima kenaikan tarif listrik. "DPR RI mempertimbangkan keadaan ekonomi sedang tidak baik, maka Komisi VII DPR tidak bisa menyetujui kenaikan tarif listrik ini,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Tamsil Linrung saat itu, seperti dikutip dari laman dpr.go.id.
Meski ditolak DPR, pemerintah terus menggulirkan rencana mencabut subsidi listrik. Pada November 2015, Kementerian ESDM memberikan mandat kepada PLN untuk mendata ulang penikmat listrik subsidi dengan daya 450 VA dan 900 VA. PLN diberi waktu selama enam bulan untuk memvalidasi datanya.
Mandat itu merupakan tindak lanjut dari hasil rapat Presiden Joko Widodo dengan sejumlah menteri dan direksi PLN pada 4 November 2015 terkait rencana pencabutan subsidi tarif listrik. Rapat tersebut memutuskan pencabutan subsidi listrik terhadap 23,3 juta pelanggan berdaya 450 VA dan 900 VA ditunda, dari yang sebelumnya 1 Januari 2016 menjadi Juni 2016.
Presiden Jokowi memberikan arahan perlunya dilakukan penyisiran data guna meyakinkan bahwa kebijakan subsidi listrik tepat sasaran. Salah satu instruksi presiden adalah data pelanggan listrik PLN dan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengenai penduduk miskin harus sesuai.
Hasil sinkronisasi data tersebut menunjukkan dari 22 juta pelanggan 900 VA, hanya sekitar 4,1 juta yang dinyatakan berhak menerima subsidi. Selebihnya, 18 juta pelanggan lainnya harus mengikuti tarif pelanggan 1.300 VA. Berbekal data itu, PLN siap memulai penataan subsidi sesuai perintah pemerintah.
Sunat Subsidi atau Penambahan Anggaran
Dalam pembahasan APBN Perubahan 2016, pemerintah mengajukan tambahan anggaran subsidi listrik. Jatah subsidi listrik APBN 2016 sebesar Rp38,4 triliun dinilai tidak cukup untuk subsidi pelanggan 450 VA dan 900 VA. Karena itu, Kementerian ESDM bersikukuh agar rencana pencabutan subsidi listrik segera direalisasikan. Jika pencabutan subsidi mundur, anggaran akan semakin membengkak setiap bulannya.
Pada pembahasan APBN Perubahan 2016, ada pembengkakan anggaran subsidi itu dengan asumsi subsidi listrik sudah dicabut per 1 Juni 2016. Namun, jika pencabutan subsidi listrik semakin molor, maka pembengkakannya akan semakin melar.
Berdasarkan simulasi Kementerian ESDM, jika subsidi molor pada 1 Juli, maka pembengkakan anggaran mencapai Rp20,65 triliun. Namun, kalau molor sampai Agustus, maka pembengkakan mencapai Rp21,91 triliun. Jika pencabutan subsidi masih berlaku pada tahun depan, maka pembengkakannya melonjak hingga Rp25,35 triliun. Solusi ini yang belum diputuskan oleh pemerintah hingga medio Juni.
Era Pemerintah Tanpa Subsidi
Sejak terpilih sebagai Presiden pada 2014 silam, Joko Widodo sudah mengungkapkan niatnya akan mengalihkan subsidi dalam anggaran APBN ke sektor yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur.
Pada tahap awal, Presiden Jokowi melibas subsidi bahan bakar minyak (BBM) sehingga harganya mengikuti mekanisme pasar. Kebijakan ini berlangsung mulus, nyaris tanpa heboh demo. Rahasianya, pencabutan subsidi dilakukan ketika harga minyak rendah sehingga harga BBM pun nyaris tak ada bedanya antara disubsidi maupun tidak.
Tak cukup hanya memangkas subsidi BBM, pada akhir 2014 Jokowi juga mengurangi subsidi energi di sektor listrik untuk kategori golongan pelanggan tertentu termasuk pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA dan 2.200 VA. Tarif untuk pelanggan 1.300 VA dan 2.200 VA serta semua kategori yang tidak disubsidi pemerintah diberlakukan mekanisme tarif adjustment.
Pemberlakuan mekanisme tarif tersebut terbilang sukses jika dilihat dari turunnya besaran subsidi setrum dalam setahun terakhir ini. Maka tak heran apabila pada tahun anggaran APBN Perubahan 2015, anggaran untuk subsidi listrik turun drastis dari yang sebelumnya Rp103,8 triliun menjadi Rp66,15 triliun.
Pada tahun anggaran 2016, pemerintah dalam APBN hanya menganggarkan subsidi listrik Rp38,4 triliun. Karena anggaran yang semakin sedikit, pemerintah mau tidak mau harus merealisasikan rencananya mencabut subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA yang sudah dicanangkan sejak awal tahun.
Akankah langkah pemerintah benar-benar mencabut subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA ini berjalan dengan mulus? Yang pasti, pemerintah tak boleh membiarkan dirinya tersandera subsidi listrik yang disebutnya banyak salah sasaran.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti