tirto.id - Ketika seseorang menjual pisang goreng di pinggir jalan, ia hanya perlu modal pisang, tepung, minyak, plastik, dan gerobak. Modal Rp1 juta sudah lebih dari cukup. Kalau pisangnya enak dan laris manis, minimal menjual pisang seratus buah sehari saja, dalam sepuluh hari, ia sudah balik modal.
Karena pisangnya laku keras, ia kemudian ekspansi, membuat kafe tempat orang bisa menikmati pisang goreng. Varian pisang goreng pun ditambahkan, bisa pakai cokelat, keju, kacang, hingga es krim. Untuk bisa ekspansi ia harus menambah modal untuk sewa atau beli tempat, perabotan, dekorasi, gaji pelayan, hingga biaya listrik.
Harga jual memang dinaikkan, dari yang sebelumnya Rp1.000 per buah, menjadi Rp5.000-10.000 perbuah. Meski begitu, tak cukup waktu sepuluh hari untuk ia bisa balik modal. Namun, seiring waktu, pendapatannya akan semakin besar.
Si pedagang pisang goreng ini masih lebih beruntung dibanding perusahaan penyedia jasa telekomunikasi atau kita sebut saja operator. Ini adalah perusahaan-perusahaan yang membuat kita bisa memiliki paket data mengakses internet, menelepon, mengirim pesan.
Dulu, ketika hanya menjual pulsa untuk telepon dan SMS, modal dan biaya yang mereka keluarkan tak sebesar sekarang. Dengan begitu, margin keuntungan lebih besar. Sekarang, kecanggihan teknologi membuat mereka harus terus ekspansi membangun infrastruktur.
Pendapatan memang semakin besar, tetapi biaya membangun infrastruktur jaringan juga tak kalah besar. Akibatnya, margin menipis. Seperti si penjual pisang goreng tadi, dalam waktu lama, operator-operator ini harusnya juga bisa untung besar.
Tetapi tidak, mereka, operator-operator ini tidak bisa demikian. Bisnis mereka mengikuti kecanggihan teknologi. Untuk bisa menjamin konsumennya memiliki internet cepat bebas hambatan, mereka harus terus mengeluarkan biaya membangun infrastruktur. Trafik yang semakin tinggi membutuhkan infrastruktur yang memadai. Berbeda dengan pedagang pisang goreng yang hanya butuh modal besar di awal saja.
Apa yang dibangun operator-operator ini ibarat jalan raya untuk melajunya segala aplikasi yang kita gunakan. Jika aplikasi-aplikasi seperti Youtube, Whatsapp, Facebook, Line, Pokemon Go, dan teman-temannya itu diibaratkan mobil, semakin sering dan semakin banyak mobil yang lewat, jalanan akan kian sempit. Akibatnya mobil-mobil ini tak bisa melaju kencang.
Agar bisa tetap melaju kencang, operator harus memperlebar jalan. Jika tidak, pengguna aplikasi-aplikasi ini akan menggerutu. Mereka bisa emosi kalau video yang ditontonnya di Youtube tersendat-sendat atau buffering.
Jalan yang lebar berarti internet yang lancar tanpa hambatan, berarti menonton Youtube tanpa buffering. Ini tak hanya menguntungkan konsumen dan operator, aplikasi-aplikasi yang kerap memakai jalan itu juga untung besar. Padahal mereka tak berkontribusi membangun jalan.
Perusahaan-perusahaan operator ini juga harus membayar pungutan biaya hak penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi kepada kementerian komunikasi dan informatika (Kemkominfo). Menurut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 22/Per/M/kominfo/10/2005, besaran pungutannya 1 persen dari total pendapatan kotor.
Selain BHP, perusahaan telekomunikasi juga harus membayar dana universal service obligation (USO) yang besarannya mencapai 1,25 persen dari pendapatan. Dana ini disetor kepada pemerintah setiap kuartal.
Tahun lalu PT Indosat Tbk meraup pendapatan kotor senilai Rp26,76 triliun. Ini artinya, ia harus membayar pungutan BHP senilai Rp267,6 miliar. Padahal, di tahun itu, Indosat mencatatkan kerugian sebesar Rp1,16 triliun.
Iuran BHP itu dimasukkan ke dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari Kemkominfo. Setiap tahun, setidaknya sejak 2011, Kemkominfo menyalurkan PNBP lebih dari Rp10 triliun kepada negara. Tahun lalu adalah yang tertinggi, total PNBP yang Kemkominfo mencapai Rp17 triliun.
Pelaku industri terus menerus meminta dan mendesak pemerintah untuk mengurangi pungutan-pungutan yang tak sedikit ini. Sebab infrastruktur juga dibangun oleh pelaku industri itu sendiri.
Akhir Agustus tahun ini, Kemkominfo mengumumkan 31 perusahaan yang belum membayar iuran BHP. Salah satu di antaranya adalah Bakrie Telecom. Mereka diberi tenggat untuk melunasi kewajiban tersebut hingga 13 September 2016.
Menteri Komunikasi dan Informatika periode ini, Rudiantara, yang memiliki latar belakang sebagai pelaku industri, memahami kondisi ini. Ia mengerti bisnis para operator tak semenguntungkan dahulu, ketika orang-orang hanya menggunakan telepon dan SMS.
Tetapi, ia tak mungkin juga menurunkan pungutan jika lembaganya ditarget berkontribusi terhadap PNBP cukup tinggi. Sementara salah satu instrumen PNBP Kominfo adalah pungutan itu.
Ia lalu meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar menurunkan target PNBP untuk tahun 2017. Tahun ini targetnya Rp14 triliun, Kemkominfo mengusulkan target tahun depan di angka Rp13,1 triliun saja.
Usulan ini lalu ditolak oleh Badan Anggaran DPR dan tidak menerima alasan dari Kominfo. Akhirnya disepakati target PNBP tahun 2017 untuk Kemkominfo adalah Rp16,57 triliun.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara memang menilai target PNBP merupakan salah satu kebijakan yang terlalu ketat. Sebagai menteri, bukan target BNBP yang sebenarnya ia kejar, tetapi multiplier effect dari sektor teknologi informasi dan komunikasi.
“Saya sedang berpikir bagaimana caranya agar PNBP tidak terlalu tinggi.” Kalimat itu sudah dikatakannya sejak dua tahun lalu, saat dia belum lama menjabat menteri. Menurutnya, kalau PNBP diturunkan, pungutan juga bisa diturunkan. Industri TIK bisa berlari lebih kencang. Negara juga masih bisa menerima pajak yang tinggi.
Namun, Rudiantara tampaknya belum menemukan bagaimana cara meyakinkan anggota dewan yang terhormat.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti