tirto.id - Sulit untuk menyangkal bahwa Didi Kempot adalah seniman Jawa kontemporer terbesar. Sekalipun sudah lebih dari 30 tahun menyanyi, tapi karier kepenyanyiannya baru benar-benar melesat bak meteor pada akhir-akhir ini. Didi Kempot menjadi nama sangat akrab di publik, menjangkau ke beberapa daerah luar Jawa.
Saya mengenal Didi Kempot lewat YouTube dan Spotify, dan kebetulan saya mengamati lagu-lagu Jawa. Setelah lama tertarik mengamati musik dangdut, walau tidak sempat menuliskannya secara runtut, saya kemudian tertarik pada musik-musik Jawa kontemporer. Di sanalah nama Didi Kempot muncul.
Sebenarnya saya ingin sekali berjumpa dan mewawancarainya. Namun, kesempatan ini sudah lewat. Dia telah meninggalkan kita semua.
Terlahir dengan nama Dionisius Prasetyo dari keluarga seniman, kakaknya adalah alm. Mamiek Podang, salah satu veteran pelawak Srimulat. Ayahnya Ranto Edi Gudel, juga pelawak di Solo. Didi sendiri besar di jalanan dengan mengamen. Nama Kempot menurut pengakuannya berasal dari Kelompok Pengamen Trotoar.
Jauh sebelum Didi Kempot muncul di media mainstream, dia sudah sangat terkenal di kalangan rakyat bawah. Lagu-lagunya dinyanyikan di pesta-pesta nikah, sunatan, atau syukuran-syukuran keluarga.
Saya beruntung bisa menyaksikannya karena perkembangan teknologi. Salah satu industri yang berkembang di desa-desa adalah industri hiburan (entertainment). Sebenarnya industri ini hanya mengikuti tradisi yang sudah ada. Keluarga-keluarga di pedesaan Jawa sudah biasa menanggap hiburan untuk mensyukuri hal-hal penting dalam hidup mereka. Mereka yang mampu akan menanggap wayang. Atau Ketoprak.
Yang lebih sederhana akan menanggap kelompok campursari yang menyanyikan gending-gending Jawa klasik dan lagu-lagu pop Jawa dengan iringan campuran antara gamelan dan peralatan musik modern. Setahu saya, dari sanalah istilah campursari itu lahir.
Lagu-lagu Didi Kempot hadir di berbagai hiburan di pedesaan Jawa. Dalam wayang, para sinden menyanyikannya saat goro-goro. Namun lebih sering saya melihat lagu-lagu ini dinyanyikan pada pesta-pesta yang mengundang kelompok campursari.
Saya pernah mendengar bahwa beberapa lagu Didi Kempot menjadi wajib untuk dinyayikan pada satu acara. Lagu “Sewu Siji” misalnya wajib dinyanyikan saat pernikahan. Bahkan tidak jarang pengantin menangis nyesek ketika lagu ini dinyanyikan. Selain itu, ada lagu wajib seperti “Jambu Alas” yang riang serta nakal dan pas untuk melepas status lajang seseorang.
Di desa-desa Jawa, lagu-lagu Didi Kempot bersanding dengan lagu-lagu dari seniman-seniman besar Jawa lainnya seperti Manthous, Andjar Any, Waljinah, Ki Narto Sabdo (dalang dan komposer), dan bahkan juga Gesang. Namun, berbeda dengan nama-nama besar penyanyi dan pencipta lagu Jawa itu, hampir tidak ada yang seberhasil Didi Kempot dalam menembus khalayak lagu-lagu pop.
Yang Berbeda dari Didi Kempot
Di masa kebangkitannya yang kedua, yang oleh banyak orang dikatakan sebagai “reborn”, Didi Kempot menarik penggemar dari kalangan yang sama sekali tidak terduga-duga, yakni golongan muda berumur dua puluhan tahun. Mereka ini jelas berasal dari generasi yang berbeda.
Sebagian besar penggemar baru Didi Kempot adalah generasi yang lahir antara 1980 hingga 2000. Mereka saat ini berusia dua puluhan hingga empat puluhan. Segmen inilah yang seringkali mendapat julukan generasi milenial—generasi ‘echo boomers,’ generasi yang tumbuh dari ledakan penduduk sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi pada 1980-an dan krisis ekonomi yang menyudahinya pada akhir 1990-an.
Karier Didi Kempot sesungguhnya tumbuh bersama generasi ini. Ketika dia mulai mencipta lagu pada pertengahan 1980-an, generasi ini sedang lahir. Didi Kempot seakan dipersiapkan untuk mereka. Kebetulan pula, setelah tahun 2000-an, di Indonesia terjadi kekosongan genre musik dengan tema cinta yang patah dan pedih yang menjadi kekhasan Didi Kempot.
Generasi sebelumnya mengenal lagu-lagu yang bergenre seperti ini lewat karya-karya Rinto Harahap, Obbie Messakh, Pance Pondaag, dan lain sebagainya. Lagu-lagu ini sangat dominan dalam kebudayaan pop Indonesia pada 1980-an. Puncaknya ketika lagu-lagu yang demikian mendapat label ‘lagu cengeng.’ Pada 1988, komposer Obbie Messakh meluncurkan lagu “Hati Yang Luka.” Lagu itu dibawakan oleh Betharia Sonata.
Lagu itulah yang menarik perhatian Menteri Penerangan Harmoko ketika itu. Pada perayaan ulang tahun TVRI ke-26, 24 Agustus 1988, Harmoko mengatakan lagu-lagu semacam itu "melemahkan semangat." Lagu ini sebenarnya bercerita tentang cinta yang hilang setelah menikah. Video klip lagu ini bahkan menyiratkan ada kekerasan dalam rumah tangga (istilah ini ketika itu belum lahir). Dalam lirik lagu ini si penyanyi (perempuan) meminta “pulangkan saja aku pada ibuku, atau ayahku …”
Karya-karya Didi Kempot tidak menyatakan kesakitan cinta seperti “Hati Yang Luka.” Sebaliknya untuk Didi, cinta yang patah itu dinyatakan lebih melankolis. Seringkali dengan mengaitkan ke tempat-tempat tertentu. Didi seringkali mengkaitkan lagu ciptaannya dengan satu tempat seperti Gunung Merapi purba di Langgran, Wonosari, Pantai Klayar, Tanjung Mas, Pantai Parangtritis, Tanjung Perak, Hotel Maliboro—yang saya curigai sebagai versi Jawa dari "Hotel California"-nya Eagles itu—dan lain sebagainya.
Umumnya tempat yang diacu adalah di Jawa. Ini masuk akal karena Didi menciptakan lagu-lagunya untuk konsumen Jawa. Walau ada juga lagu Didi tentang luar Jawa seperti "Prawan Kalimantan" atau “Kangen Nickerie” yang menunjuk sebuah distrik di Suriname.
‘Kempotisme’: Sikap nJawani Kelas Bawah
Keberhasilan Didi Kempot terutama terletak pada kemampuannya mengintegrasikan lagu Jawa dan dunia musik kontemporer Indonesia. Dia bisa dengan fleksibel masuk ke lagu-lagu campursari. Namun lagu-lagunya juga tidak menemui masalah ketika masuk ke dangdut koplo. Bahkan, beberapa kelompok musisi bisa berimprovisasi dengan membuat versi hip-hop dari lagu-lagu Didi Kempot.
Didi memulai kariernya benar-benar dari bawah. Dia pernah menjadi pengamen. Namun, ironisnya lagu-lagu Didi yang terkenal sangat jarang menceritakan kepahitan yang dialaminya. Walaupun kadang bayangan kemiskinan tetap muncul tersirat seperti dalam lagu “Kreteg Bacem”, misalnya. Lagu itu tidak jauh dari genre patah hati tapi menyiratkan kehidupan buruh pabrik perempuan menghadapi laki-laki pengecut.
Apa yang sesungguhnya membuat Didi Kempot menarik untuk anak-anak muda yang berjarak satu generasi dari dirinya? Banyak orang mengatakan bahwa lewat lagu-lagunya Didi Kempot membolehkan orang bersedih atau bahkan menangis menghadapi patah hati dalam percintaan.
Namun, benarkah sesederhana itu? Saya tidak terlalu yakin. Saya menonton beberapa wawancara Didi dengan beberapa stasiun televisi. Yang saya saksikan adalah seorang seniman berbakat, pekerja keras, dan ulet.
Yang juga saya saksikan adalah seorang seniman kontemporer yang berkesenian menggunakan bahasa yang bukan bahasa nasional. Didi Kempot adalah orang Jawa. Dia mengekspresikan keseniannya dalam bahasa yang paling dia akrabi. Itu membuatnya mampu berkarya secara maksimal. Sebagian besar penontonnya adalah orang yang setidaknya memahami Jawa walaupun secara marjinal.
Selain itu, Jawa adalah pasar yang sangat besar. Orang Jawa berjumlah di atas seratusan juta. Orang Jawa juga tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan di luar Indonesia seperti di Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Korea, Timur Tengah, dan bahkan di Amerika. Bisa dibayangkan pengaruh kebudayaan yang dibawakan oleh Didi Kempot.
Didi Kempot sendiri selalu menghadapi persoalan ‘sebagai orang Jawa.’ Setidaknya ungkapan itu saya saksikan dari berbagai wawancara. Adakah sesungguhnya Didi Kempot mewakili ungkapan generasi Jawa milenial masa kini? Adakah dia menjadi jembatan untuk generasi muda Jawa kontemporer?
Anak-anak muda Jawa masa kini tidak mendengarkan langgam-langgam Jawa masa Waljinah. Mereka juga tidak paham kedalaman komposisi lagu-lagu Jawa dari Gesang yang memang sangat puitik itu. Mereka berada dalam ‘Kempotisme’ (istilah saya) yang tidak terlalu dalam tapi mampu mengekspresikan patah hati mereka secara melankolis.
Kejawaan Didi Kempot bukan Jawa yang priyayi aristokrat. Kejawaannya adalah kejawaan jelata—Jawa seperti kehidupan di sebuah kampung di Solo seperti yang pernah saya tonton pada Teater Gapit pada awal 1990-an.
Kempotisme adalah sesuatu yang ringan, yang bisa sangat Instagramable, yang dengan mudah bisa beradaptasi dengan media sosial. Tapi, sekaligus anak-anak muda Jawa menemukan apa yang hilang dari diri mereka—yakni kejawaan yang sehari-hari.
Kehebatan Didi Kempot terletak pada kelenturannya untuk masuk ke mana saja. Bukankah kelenturan ini sebenarnya adalah ciri kejawaan yang utama? Dia bisa diterima di khalayak kebudayaan pop Indonesia; bisa masuk ke kesenian kontemporer seperti hip-hop; tidak dianggap asing dalam seni tradisi; bisa diterima di kalangan Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera); hidup subur di Suriname dan Jakarta, dan lain sebagainya. Sama seperti Jawa dengan segala macam sinkretisme-nya itu.
Selamat jalan, Mas Didi Kempot. Terima kasih sudah menghibur Jawa dan Indonesia!
=======
Made Supriatma adalah peneliti politik dan militer Indonesia. Untuk obituari ini, ia adalah pengikut kempotisme dan sobat ambyar.
Editor: Fahri Salam