Menuju konten utama

Diaspora Bugis Melahirkan Sarung Samarinda

Selain menjadi ibukota Kalimantan Timur, Samarinda dikenal lewat sarungnya yang dibuat orang-orang Bugis. Sarung itu dikenal sebagai sarung Samarinda

Diaspora Bugis Melahirkan Sarung Samarinda
Seorang pengrajin tenun sarung Samarinda mengoperasikan alat tenunnya. Foto/Wikipedia

tirto.id - “Sejak lama keterampilan bertenun merupakan salah satu sumber penghasilan utama orang Bugis,” tulis Christian Pelras dalam Manusia Bugis (2006: 289).

Sarung adalah tenunan mereka yang terkenal. Apa yang menjadi keterampilan orang-orang Bugis itu kemudian dibawa serta perantau-perantau Bugis ke tanah seberang. Tenunan yang dibuat orang-orang Bugis, seperti dicatat Thomas Forrest (1792) dan dikutip Pelras, bermotif kotak-kotak merah bercampur biru.

Sekitar abad ke-16, banyak perantau Bugis memasuki wilayah Kesultanan Kutai di bagian timur Kalimantan. Menurut buku Sejarah Kota Samarinda(198: 5) yang disusun Moh. Nur Ars dan kawan-kawan, sejak 1668 mereka mulai bermukim di Kutai di sekitar Samarinda Seberang. Daerah itu kemudian dianggap sebagai kampung-kampung awal yang membentuk kota Samarinda.

Kota Samarinda saat ini dan Samarinda Seberang hanya dibatasi Sungai Mahakam yang lebar, dan bisa diseberangi dengan kapal motor kecil.

"Republik" Bugis di Timur Kalimantan

Cerita rakyat Samarinda menyebut, nama "Samarinda" berasal dari kata "sama rendah". Menurut Amiruddin Maula dalam Cerita Rakyat dari Kalimantan Timur (1994), nama tersebut “sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur. Penduduk menerima bagian lahan yang sama-sama rendah” (hlm. 6).

Sementara itu, Baharuddin Lopa dalam Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan: Penggalian dari Bumi Indonesia Sendiri (1982:31), punya pendapat menarik soal Samarinda yang pernah punya sebuah republik yang jadi muasal nama Samarinda.

“Orang-orang Sulawesi Selatan atas persetujuan Sultan Kutai telah sempat pula mendirikan republik demokratis di Samarinda, Kalimantan Timur pada abad XVII. Itulah pula sebabnya republik demokrasi yang didirikan itu bernama Samarinda, karena berasal dari kata: sama rendah,” tulis Lopa (hlm. 31).

Menurut Pelras (2006:372-373), mereka punya pemimpin sendiri yang bergelar Pua' Ado. Sultan Kutai memberi pemuka-pemuka Bugis itu kedudukan seperti bangsawan. Mereka juga memelihara hubungan dengan pemimpin Bugis di daerah lain, salah satunya La Ma'dukelleng.

Menurut Riwanto Tirtosudarmo dalam Mencari Indonesia: Demografi-Politik Pasca-Soeharto (2007), perantau-perantau yang menetap di Samarinda Seberang itu berasal dari Wajo dan Bone, di sisi timur jazirah Sulawesi Selatan. Selanjutnya mereka dikenal sebagai orang Bugis Samarinda dan kampung-kampung mereka kerap disebut koloni Bugis (hlm. 13).

Orang-orang Bugis Samarinda itu terlibat dalam usaha perdagangan. Pelras mencatat, orang-orang Bugis di Samarinda—seperti juga orang-orang Bugis di luar Sulawesi Selatan lainnya—menguasai perdagangan hingga hulu sungai. Mereka "memonopoli impor beras, garam, rempah-rempah, tembakau, opium, kain, besi, senjata api, sendawa (bubuk mesiu) dan budak" (hlm. 371-372).

Membawa Budaya Leluhur

Budaya dari daerah asal juga dibawa ke Samarinda, termasuk tradisi membuat sarung. Menurut Dhorifi Zumar dalam Tenun Tradisional Indonesia (2009), sebagian besar hasil tenun Samarinda mirip dengan sarung Bugis. Tentu saja ada bagian berbeda, selain banyak kesamaan. Sarung Samarinda berwarna dasar tunggal, biasanya ungu. Warna pinggirnya kontras, lazimnya jingga. “Kegemarannya bagi warna cerah juga diturunkan oleh nenek moyang mereka dari Sulawesi,” tulis Dhorifi Zumar (hlm. 81).

Seperti diungkap dalam Kalimantan-Timur, Diperkenalkan Kepada Pentjinta Kemakmuran dan Kebahagiaan Bersama (1955: 28), “sarung tenunan Samarinda sudah terkenal kemana-mana.” Pada 1950-an, harganya di Samarinda antara Rp. 130 untuk sarung-sarung “kwaliteit Yang Sedang”. Meski banyak kualitas sedang yang dipasarkan, sarung Samarinda terus dikenal.

Infografik sarung samarinda

Menurut Mingguan Djaja (masalah 441, 1969), sarung ini terkenal sejak zaman kolonial. Keistimewaannya “antara lain (pada) coraknya yang indah, warnanya yang tidak (mudah) luntur, daya tahannya yang lama.” Setidaknya, sarung Samarinda ini adalah salah satu yang terbaik di antara sarung-sarung tenunan dari berbagai daerah di Indonesia.

Sarung-sarung itu sampai saat ini masih ditenun perempuan-perempuan Bugis di desa Baka, Rapakdalam, dan masjid di Samarinda Seberang. Kota Samarinda, yang kini merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Timur, akhirnya menjadi identik dengan sarung Samarinda.

Dalam Indonesian Investment and Trading Opportunity by Province, Regency, city, Volume 1 (2004), Fery Agung mencatat, "mendengar kata samarinda, bayangannya mungkin akan langsung tertuju kepada satu jenis produk sandang yang sudah sangat terkenal hingga ke pelosok negeri ini: Sarung Samarinda" (hlm. 438).

Di masa lalu, seperti juga sarung Bugis, sarung Samarinda jadi harta berharga. Di Kedatuan Luwu, kerajaan yang disegani secara kultural bagi kerajaan-kerajaan beretnis Bugis, sarung Samarinda adalah koleksi raja yang amat berharga. Harta-harta berharga milik bangsawan dan rakyat Luwu itu, menurut Moh. Sanusi Daeng Mattata dalam Luwu Dalam Revolusi (1967: 429), telah habis dibakar militer Belanda di masa revolusi.

Baca juga artikel terkait DIASPORA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan