Menuju konten utama

Dianggap Receh, Greenflation Baru Terjadi Puluhan Tahun ke Depan

Menurut Bhima Yudhistira, dengan komitmen transisi energi yang tidak kuat, maka efek greenflation akan terjadi, namun tidak langsung.

Dianggap Receh, Greenflation Baru Terjadi Puluhan Tahun ke Depan
Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka (kanan) menyampaikan pandangannya saat Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.

tirto.id - Greenflation atau inflasi hijau sempat disebut sebagai isu recehan oleh calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, dalam debat keempat Pilpres 2024.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira,menyebutkan bahwa dampak inflasi hijau bagi Indonesia baru akan terjadi puluhan tahun ke depan.

Menurutnya, dengan komitmen transisi energi yang tidak kuat, maka efek greenflation akan terjadi, namun tidak langsung.

Greenflation itu baru terjadi puluhan tahun ke depan untuk konteks Indonesia,” kata Bhima kepada Tirto, Jumat (26/1/2024).

Bhima juga menyinggung pernyataan cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, tentang Prancis yang sudah mewanti-wanti efek dari inflasi hijau.

“Sementara Prancis seperti yang dicontohkan Gibran dalam debat memiliki bauran energi baru terbarukan yang tinggi sekali, sudah lebih dari 88 persen. Tidak apple to apple dengan situasi di Indonesia,” ucap Bhima.

Ia juga menjelaskan bahwa dampak inflasi hijau belum ada di Indonesia, bahkan ketika energi baru terbarukan masih minim diimplementasikan. Inflasi yang terjadi saat ini. Tambahnya, justru energi fosil yang memiliki harga fluktuatif.

“Persoalan kenaikan harga bahan bakar minyak karena pengurangan subsidi dari pemerintah juga bukan sebabkan greenflation, ini semata karena uang subsidi BBM yang dikurangi beralih ke proyek infrastruktur yang tidak ada kaitannya dengan transisi energi,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Budiman Sudjatmiko, menuturkan bahwa isu inflasi hijau tidak recehan. Hal ini lantaran seorang pemimpin dinilai harus mampu berbicara isu dilema dalam pembuatan kebijakan.

“Bahwa seorang Profesor Mahfud menganggap itu receh, menurut saya, barangkali tim [nomor urut] 3 tidak siap untuk diajak berbicara soal dilema-dilema dalam pembuatan kebijakan publik,” kata Budiman dalam keterangannya, dikutip Jumat (26/1/2024).

Budiman menilai, dalam dinamika pemimpin dan pemerintahan, setiap kebijakan harus menimbang akan risiko dan konsekuensi. Maka itu, tambahnya, cawapres mestinya mampu menjabarkan semua isu.

"Misalnya, saat kita mengejar kemajuan dengan penerapan teknologi digital seperti artificial intelligence, itu juga tentu akan berpengaruh pada penyiapan skills, keahlian sumber daya manusia Indonesia," katanya.

Baca juga artikel terkait NEWS atau tulisan lainnya dari Faesal Mubarok

tirto.id - News
Reporter: Faesal Mubarok
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Irfan Teguh Pribadi