tirto.id - Enam bangunan medis Rumah Sakit Abs yang menampung korban-korban konflik Yaman telah diberi logo Medecins Sans Frontieres (MSF), sebuah organisasi kemanusiaan medis international, besar-besar di atapnya. Logo ini dapat dilihat sangat jelas dari udara, sehingga mustahil patroli udara tak dapat melihatnya.
Di setiap sisi bangunan dan kaca ambulance juga telah ditulisi peringatan “Dilarang Membawa Senjata”. Semuanya dilakukan agar para pihak yang berperang tahu, Rumah Sakit Abs dan para tenaga medisnya bukanlah target perang.
Tapi semuanya tak berguna tatkala 15 Agustus 2016 lalu serangan udara sengaja diarahkan langsung ke salah satu bangunan rumah sakit tersebut. Kota Abs yang notabene jauh dari garis depan peperangan dan dirasa cukup aman bagi penduduk bahkan para pengungsi ikut diserang. Suasana mendadak menjadi kacau, kaca dan sisa-sisa puing bangunan bertebaran. Darah menggenang di jalanan kota Abs.
Orang-orang yang selamat berlari mencari tempat berlindung. Beberapa di antara mereka berusaha mencari orang tersayangnya di antara sisa-sisa pengeboman. Para pasien di titik serangan udara terlihat tak lagi punya daya, pasrah atas apa yang telah menimpanya sembari mengerang kesakitan.
Situasi itu diceritakan dokter muda asal Indonesia, Lukman Hakim Bauty. Ia baru saja sampai di kantor MSF yang terletak di pusat Kota Yaman setelah sebelumnya memeriksa keadaan para pasien di Rumah Sakit Abs yang terkena bom. Beberapa orang mengabarkan padanya dan seluruh relawan di Kantor MSF bahwa RS Abs terkena serangan.
Banyak dugaan di kepala Lukman. Ia mengira kabar tersebut salah, dan hanya daerah sekitar Abs lah yang kena serang. Ingatannya mengulang kembali gambaran saat-saat dimana ia memeriksa kondisi pasien di RS tersebut pagi hari, kacau. UGD penuh sesak, 14 tempat tidur di dalamnya tak mampu menampung banyaknya pasien yang ada, begitupun klinik rawat jalan yang ramai disambangi pasien.
Dari kantornya, Lukman melihat dengan jelas bagaimana kekacauan terjadi. Semua orang mencoba menyelamatkan diri, para pasien panik dan keluar berhamburan dari dalam gedung rumah sakit yang tersisa. Para orang tua menggendong anak-anak mereka yang menjadi pasien di RS Abs, dan para petugas medis banyak yang memanjat tembok rumah sakit untuk keluar dari gedung.
“Tak ada ketenangan,” ujarnya saat menceritakan pengalamannya seusai diskusi di Grand Indonesia, Jumat (16/12/2016).
Beberapa dokter dan petugas medis langsung bergegas ke lokasi. Staf MSF lainnya diminta tetap tinggal di kantor karena mengkhawatirkan serangan lanjutan.
Dengan peralatan seadanya, pertolongan diberikan kepada para pasien yang menderita luka serius, segala tindakan dilakukan selagi bisa. Tak hanya Lukman dan timnya, beberapa tenaga medis lokal juga terlihat sibuk membantu. Tandu-tandu lalu lalang mengangkut pasien yang membutuhkan perawatan lanjutan ke rumah sakit terdekat.
Sebelas orang meninggal, sembilan di antaranya meninggal di tempat termasuk satu relawan MSF dan dua lainnya meninggal saat perjalanan ke Rumah Sakit Al Jamhouri. Sementara, 19 orang lainnya luka-luka.
Usai memberikan pertolongan pertama, Lukman langsung melapor pada perwakilan MSF di Yaman, dan hari itu juga para relawan ditarik ke ibukota. Ini dilakukan demi keselamatan para relawan sebab tak terlihat ada tanda-tanda penurunan serangan dari jet-jet tempur agresor, sementara pemerintah setempat tak bisa memberikan jaminan keselamatan para relawan.
Sebelas hari pasca-pengeboman, seluruh kegiatan medis di Rumah Sakit Abs dihentikan. Para staf internasional dipulangkan ke negaranya masing-masing. Seperti itulah prosedur dan batas pengamanan MSF sebagai lembaga kemanusiaan kepada para relawannya. Para relawan tak bisa berbuat banyak dan akhirnya memilih mundur dari Abs. Setelahnya, pelayanan kesehatan diambil alih oleh Kementerian Kesehatan Yaman.
“Sarana dan prasarana rumah sakit rusak parah, staf medis Yaman berusaha melakukan tindakan medis yang maksimal dalam kondisi terbatas, walau hanya rawat jalan dan kebidanan,” kata Lukman.
Setiap minggunya, untuk menghindari serangan atas obyek-obyek medis, MSF selalu membagikan koordinat GPS setiap minggunya. Detailnya sampai kepada jalur perjalanan, nomer plat mobil yang digunakan untuk bertugas hingga jumlah personil yang dibawa.
“Kita tak bisa jalan tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, sangat berisiko karena kondisi di sana sangat menakutkan, perang aktif.”
Fasilitas Kesehatan Sengaja Ditarget
Serangan serupa RS Abs tak hanya satu dua kali terjadi dan dijadikan sebagai target perang. Di Suriah, selama tahun 2016 saja, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencatat 120 serangan terhadap fasilitas kesehatan. Di tahun sebelumnya, tercatat 135 serangan pada fasilitas kesehatan dan 93 serangan serupa di 2014.
Perang yang sengit membuat korban terus berjatuhan, gelombang pasien datang terus menerus. Staf medis kelelahan dan stok obat terbatas, orang-orang banyak yang putus asa atas hidupnya. Aleppo Barat juga tak selamat dari serangan membabi-buta, dan yang tersisa dari itu semua hanya satu dari sembilan rumah sakit di Aleppo bagian timur, sementara empat rumah sakit lainnya lumpuh.
Di Yaman, sejak konflik yang dimulai pada 2015, lebih dari 160 serangan terhadap rumah sakit, klinik, dan petugas medis telah dilaporkan ke Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Separuh lebih fasilitas kesehatan di negara itu lumpuh, tak bisa digunakan. Setiap hari, rata-rata 20 orang meninggal, kebanyakan, akibat luka yang tidak bisa dirawat dan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, karena ketiadaan obat yang tepat dan rumah sakit tidak berfungsi.
Di Irak, selama setahun terakhir rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya rusak, hancur dan dijarah. Di beberapa tempat, lebih dari 45% tenaga kesehatan terpaksa memilih menyelamatkan diri sejak 2014. Hal ini lantaran kendaraan-kendaraan medis mendapat gangguan saat menuju fasilitas medis, dalam beberapa kasus kendaraan tersebut justru dimanfaatkan oleh para penyerang.
Simbol bantuan dan perlindungan medis telah dinodai dan membuat para petugas media sesungguhnya merasakan dampak serangan. Warga sipil pun menjadi kesulitan mendapatkan layanan kesehatan di provinsi-provinsi amat terdampak konflik.
Padahal jelas, hak-hak pihak medis menurut Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah dilindungi saat perang, dan rumah sakit tidak boleh terkena serangan. Aturan ini juga termaktub dalam Konvensi Jenewa I,II, dan IV, yang menyatakan tentara terluka dan sakit (KJ I), tentara korban kapal perang karam (KJ II), tawanan perang (KJ III), penduduk sipil (KJ IV), unit medis dan ICRC, harus dilindungi.
“Sikap acuh tak acuh tumbuh, serangan-serangan semacam itu mulai dipandang sebagai norma. Menyerang rumah sakit dan petugas medis adalah garis merah yang tidak dapat ditawar,” kata Dr. Maria Guevara, Regional Humanitarian Representative MSF di Asia di kesempatan yang sama.
Ia menggambarkan bagaimana pertempuran di Aleppo berada pada titik paling kritis. Hanya sedikit staf medis yang masih bekerja di bawah kondisi ekstrem di Aleppo Timur. Walau sudah mengetahui resiko kematian dalam mengemban tugasnya, namun mereka tetap dihinggapi rasa takut.
Setahun lalu, negara-negara pihak berkumpul di Jenewa dalam Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-32 yang mengadopsi Resolusi 4: ‘Perawatan Kesehatan dalam Bahaya: terus melindungi pelaksanaan perawatan kesehatan bersama-sama.' Negara-negara tersebut menandaskan komitmen teguh melindungi orang-orang yang terluka dan sakit, fasilitas dan petugas kesehatan, dan transportasi medis.
Akan tetapi, serangan terhadap layanan perawatan kesehatan tetap berlanjut tanpa henti. Serangan gencar terjadi di Suriah, Yaman, Irak, Afghanistan, Libya, Sudan Selatan terus berlanjut menyasar pasien dan pekerja kesehatan yang merawat orang yang terluka dan sakit selama konflik bersenjata.
Akibat kekerasan ini, tak terhitung lagi orang yang terbunuh atau cedera. Perempuan yang akan melahirkan tak bisa segera ke rumah sakit karena ambulans menjadi target serangan. Lansia yang menderita penyakit kronis kesulitan mendapat pengobatan, anak-anak tidak bisa mendapat imunisasi yang seharusnya diperoleh.
Bayi-bayi prematur harus keluar dari inkubator setelah serangan udara menyasar rumah sakit, dan para dokter dipaksa menyaksikan pasien mereka tewas karena kehabisan obat. Padahal, tim medis bertanggung jawab merawat semua orang berdasarkan kebutuhan, tidak peduli siapa mereka, atau untuk pihak mana mereka berperang.
Padahal, kata Maria, “dokter yang merawat musuhmu, bukanlah musuhmu.”
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani