tirto.id - Pada 2011, Tan Jee Say, satu dari empat calon Presiden Singapura, menyapa para pendukungnya sebelum memberikan pidato saat pawai kampanye di Singapura. Ia mengatakan saat itu, bahwa tidak akan terlalu lama lagi Singapura akan memiliki perempuan presiden pertama.
"Kita semua, baik anak kita, harus tahu, dan saya pribadi yakin bahwa tidak lama lagi kita (di Singapura) akan memiliki presiden perempuan," kata Tan.
Tan Jee Say juga mengatakan bahwa ia berharap lebih banyak perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, "Karena setelah tahap tertentu kehidupan, mereka ingin benar-benar merawat keluarga," katanya. Kedua komentar ini dianggap merendahkan kapasitas perempuan dalam dunia politik.
Sementara itu, kandidat presiden lain pada Pemilu itu, Tan Cheng Bock, mengatakan perempuan yang masuk dunia politik harus seizin suami mereka.
Baca juga:Singapura, Negeri yang Merdeka karena Disia-siakan
Trina Liang-Lin, ketua Komite Wanita Nasional Singapura PBB, menyatakan prihatin terhadap pandangan dua kandidat presiden di kampanye saat itu. "Tentunya pada hari ini dan pada era tanggung jawab bersama dalam pernikahan modern, saya berharap istri tidak perlu masih meminta izin seperti meminta izin pada seorang atasan. Saya berharap itu adalah proses konsultatif antara dua sesama, sangat mirip dengan apa yang saya lihat pada Dr. Tony Tan dan istrinya," katanya.
Impian ini baru terwujud enam tahun kemudian. Halimah Yacob akan menjadi presiden kedelapan dan kepala negara wanita pertama Singapura pada pekan ini, dalam pemilihan presiden perdana bagi kandidat dari komunitas Melayu. Mantan ketua parlemen berusia 63 tahun itu adalah satu-satunya calon presiden yang dinyatakan berhak mengikuti pemilihan oleh Komite Pemilihan Presiden (PEC) pada Senin (11/9).
Baca juga: Betapa Brengseknya Singapura
Dia satu-satunya orang dari tiga kandidat melayu yang mendapatkan sertifikat kelayakan dari Komite Pemilihan Presiden (PEC). PEC menginformasikan kepada dua kandidat lainnya, Farid Khan (61) dan chief executive perusahaan properti Salleh Marican (67) bahwa mereka tidak memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan presiden. Kedua orang ini semuanya Melayu? Bukankah saat ini demografi etnis Singapura didominasi oleh etnis Tionghoa?
Orang Tionghoa mendominasi jumlah penduduk mayoritas negara itu dengan persentase 74,3% dari 5,6 juta penduduk yang ada, Melayu 13,4%, India 9,1% (termasuk Sri Lanka), lainnya 3,2% (riset dari Index Mundi 2016).
Pemilihan tokoh Melayu sebagai presiden di Singapura merupakan produk konstitusi Perdana Menteri Singapura saat ini, Lee Hsien Loong, yang mensyaratkan setiap etnis minoritas di Singapura memungkinkan menjadi presiden terpilih dengan syarat yang telah ditentukan.
Dalam konstitusi Singapura disebutkan bila dalam lima kali pemilihan presiden berturut-turut ada ras yang tidak terwakili menjadi presiden terpilih, maka pada pilpres berikutnya, jabatan presiden khusus dikompetisikan untuk ras tersebut.
Baca juga: Politik Dinasti di Balik Cekcok Klan Lee Kuan Yew
Catatan pemilihan presiden yang terjadi sejak 1991 menunjukkan Singapura tak pernah dipimpin oleh orang Melayu. Presiden pertama mereka adalah Wee Kim Wee,. Selanjutnya adalah Ong Teng Cheong sebagai presiden. Pada 1999, Sellapan Ramanatah atau SR Nathan, yang merupakan etnis India, menjadi presiden Singapura selama dua periode. Saat ini, jabatan presiden Singapura diduduki oleh Tony Tan Keng Yam.
Karena lima presiden sebelumnya adalah etnis Tionghoa dan India, maka sekarang etnis Melayu memperoleh kesempatan untuk berkompetisi sebagai presiden. Ini bukan tiket gratis. Syaratnya bukan hanya etnisnya harus Melayu. Seseorang yang hendak menjadi presiden mesti memenuhi persyaratan yang ketat.
Bagi pejabat karier pemerintahan yang hendak maju, ia mesti pernah atau sedang menjadi pejabat publik, anggota parlemen, atau menteri. Dan, memiliki rekam jejak yang baik. Sementara itu, kandidat yang latar belakangnya bukan orang pemerintahan harus pernah menjadi CEO dari perusahaan senilai $500 juta.
Setelah memegang jabatan publik utama, yaitu ketua parlemen sejak 2013, Halimah adalah satu-satunya dari tiga calon bersuku Melayu yang secara otomatis memenuhi syarat mencalonkan diri. Proses pemilihan presiden kali ini menimbulkan reaksi beragam dari para pengamat yang menyambut Halimah sebagai pencetak sejarah dengan menjadi presiden wanita pertama negara itu dan kepala negara Melayu pertama dalam 47 tahun terakhir.
Baca juga: Marinir Indonesia Digantung di Singapura
"Madam Halimah adalah minoritas ganda—tidak hanya individu Melayu-Muslim, tapi juga perempuan," kata Wakil Direktur Institut Studi Kebijakan Gillian Koh, seperti dikutip Antara. Tetapi Koh merasa "penerimaan keragaman kita pasti akan lebih hebat lagi jika ada kontes terbuka".
Pertanyaannya, apakah penetapan Halimah ini membuat demokrasi Singapura menjadi baik? Mungkin tidak. Indeks demokrasi dari The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2016 menyebut bahwa Singapura berada di peringkat 74 dari 167 negara.
Singapura dianggap memiliki demokrasi yang cacat karena proses elektoral dan pluralisme yang buruk. EIU memberikan skor 4,3 untuk proses elektoral dan pluralisme politik di negara itu. Keberfungsian pemerintah Singapura memang memperoleh nilai tinggi, 7,5, tapi partisipasi politik di Singapura dianggap rendah dengan poin 5,6 dan kebebasan sipil 7,1.
Dalam hal demokrasi, Singapura jelas tertinggal dibanding negara tetangga seperti Malaysia yang berada di posisi 68 dan Indonesia di posisi 49, meski mengalami perbaikan.
Baca juga:Superkaya Indonesia Banyak Membeli Rumah di Singapura
EIU menilai ada banyak faktor yang membuat iklim demokrasi politik, khususnya pemilu, di Singapura kurang dibandingkan dengan negara lain. Pada pemilu akbar 2015, partai berkuasa People Action Party (PAP) memenangi 69,7 persen suara melalui proses yang tidak demokratik karena menggunakan sistem Group Representation Constituency.
Sistem ini mengharuskan partai direpresentasikan etnis yang ada di Singapura, seperti Tionghoa, Melayu, dan India. PAP dianggap diuntungkan karena partai tua ini merepresentasi warga keturunan Cina sebagai penduduk mayoritas.
Sementara itu,Departemen Pemilihan Umum Singapura pun tidak bisa dibilang independen. Lembaga ini melapor secara langsung kepada perdana menteri yang merupakan putra dari mantan penguasa Singapura Lee Kuan Yew. Meski Lee Hsien Loong dianggap cukup reformis dibandingkan dengan ayahnya, ia tak bisa dibilang bersedia menghadirkan demokrasi terbuka di Singapura.
Baca juga:Pipis Ramai-ramai Demi Menenggelamkan Singapura
Pada 2016, Human Rights Watch memberikan catatan penting tentang kebebasan sipil di Singapura. Mereka menganggap bahwa sepanjang 2015 banyak pelanggaran hak sipil terkait kebebasan berekspresi, berkumpul, berserikat, dan aksi damai. Pemerintahan Singapura dianggap memiliki kontrol yang lebih terhadap media cetak dan online. Sementara penulis blogger atau media online yang melakukan kritik terbuka terhadap pemerintah menjadi target persekusi dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum, moral, keamanan, dan perdamaian ras.
HRW juga menuduh pemerintah singapura menggunakan hukum untuk membungkam kritik. Pada Desember 2015, pengadilan memerintahkan Roy Ngerng Yi Ling untuk meminta maaf dan membayar kerugian kepada Perdana Menteri Lee Hsien Loong sebesar 150 ribu dolar Singapura dan 29.000 dolar Singapura karena postingan blog yang mengkritik manajemen pengelolaan keuangan pemerintah.
Tidak berhenti sampai di situ, pada Mei 2016 polisi menginterogasi dan menggeledah rumah aktivis Roy Ngerng Yi Ling dan Teo Soh Lung, karena dianggap melanggar aturan kampanye politik di masa tenang sebelum pemilu di negara itu.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani