tirto.id - “Kebetulan saya manggil Bapak yeobo. Kayaknya kalau manggil 'sayang' [atau] 'cinta' udah biasa,” sambil tersipu, Puput Nastiti Devi menepuk pelan bahu calon suaminya.
Selayaknya orang yang sedang kasmaran, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) menyambut laku hangat Puput dengan senyum merekah. Di hadapan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) ia menceritakan kegemaran Puput menonton Drama Korea (K-Drama).
“Yeobo dalam bahasa Korea artinya ‘honey’. Saya manggilnya buin, buin itu istri,” seloroh BTP kepada OSO, diikuti gelak tawa dari ketiganya.
Panggilan sayang Puput kepada BTP dan sebaliknya adalah contoh kecil betapa budaya Korea kini tengah mendunia. Lewat bisnis seni seperti musik dan drama, negeri ginseng ini berhasil menularkan demam Korea (Hallyu Wave), bahkan hingga ke daratan Amerika dan Timur Tengah.
Penelitian Marion Schulze menyebut K-Drama memprakarsai Hallyu Wave sejak tahun 1990-an. Hampir berbarengan dengan kemunculan cikal bakal idola K-Pop, Seo Taiji and Boys yang muncul pada 1992. Laman berita di Filipina Philstarsempat mengulas kemunculan K-Drama sebagai produk dari krisis keuangan Asia pada 1996.
Saat itu, pemerintah Korea mengucurkan dana khusus untuk membangkitkan industri hiburan di sana. Ketika telenovela dari Meksiko tengah berjaya kala itu, K-Drama baru merintis pasar lokal. Setelahnya, perkembangan pasar K-Drama meluas secara cepat. Sejak awal tahun 2000-an K-Drama berhasil melampaui kesuksesan telenovela di negara-negara Asia.
"Target mereka bukan cuma pasar Asia, tapi seluruh dunia,” kata Amanda Ospina, editor majalah industri TVMas, masih dikutip laman yang sama.
Ma Jung-hoon, produser K-Drama Something in the Rain menyatakan industri drama mereka naik hingga tiga kali lipat sejak awal 2000-an. Penyumbang kesuksesan itu sebagian besar berasal dari pasar ekspor. Pada 2018, ekspor K-Drama mencapai nilai $239 juta. Setengah dari pemasukan K-Drama, berasal dari penjualan ke negara-negara lain.
“Dari setengah ekspor K-Drama, sebanyak 70 persen berasal dari Asia dan 30 persen dari Amerika,” papar Jung-hoon seperti diwartakan BBC.
Primadona Sinetron di Dunia
Endless Love, Full House, Boys Before Flowers, Jewel in The Palace, dan Descendants of The Sun adalah sedikit dari judul-judul K-Drama legendaris yang pernah melejit di pasaran internasional. Dari kelima judul tersebut, kita bisa menelaah faktor-faktor yang membikin K-Drama sukses.
Dari segi cerita, jamaknya K-Drama menyuguhkan alur bertema intrik keluarga dan cinta yang berakhir bahagia. Bagi industri K-Drama, kepuasan penonton adalah prioritas. Bahkan, penulis naskah bisa mengubah alur cerita sesuai tuntutan penonton. Kondisi ini pernah terjadi pada serial Descendants of The Sun.
Dalam naskah aslinya, aktor utama dalam drama itu, Yoo Shi Jin seharusnya meninggal dalam misi rahasia. Namun, alur cerita tersebut diprotes penonton. Rating Descendants of The Sun juga sempat turun karenanya. Walhasil penulis naskah memutuskan mengubah alur cerita: Shi Jin tiba-tiba selamat dari misi secara tidak masuk akal, ditolong oleh tentara Korea Utara, dan cerita kembali berakhir bahagia.
“K-Drama lebih sedikit sensor, jadi bisa masuk di banyak negara, termasuk Timur Tengah,” tulis Philstar.
Dibandingkan telenovela atau opera sabun di Amerika yang lazim menampilkan adegan kekerasan dan seksualitas, K-Drama dianggap lebih “ramah” untuk penonton di kawasan Asia dan Timur Tengah. Pendiri aplikasi streaming video DramaFever, Park Seok, menganalisis pergerakan fisik antar-karakter pria dan perempuan di K-Drama cenderung lambat bila dibandingkan telenovela atau opera sabun.
“Dari total 16-24 episode, adegan fisik romantis rata-rata baru ada di episode 8 ke atas,” ungkap Park kepada Vox. Drama Korea punya seri yang jauh lebih singkat dibanding format drama serupa di negara lain.
Selain unggul dari segi cerita, K-Drama dibumbui sinematografi memanjakan mata. Kualitas Computer Graphic (CG) punya Korea juga tak kalah saing dengan CG di film-film Hollywood. Produsen K-Drama tak segan mengeluarkan dana besar untuk membuat serialnya menarik dengan latar tempat yang indah, unik, atau bersejarah.
Moncer karena Aplikasi Nonton Online
Setelah era kejayaan televisi tergantikan oleh beragam aplikasi streaming, peta ekspor K-Drama ikut berubah. Aplikasi streaming semacam DramaFever, Viu, Netflix adalah jalan utama mengeruk laba dari penonton mancanegara. DramaFever misalnya, memasok 70 persen katalog dari Asia, lebih dari setengahnya berasal dari Korea, dan sisanya diimpor dari Jepang, Taiwan, dan negara Asia lain.
“Kemewahan nonton online dan offline (televisi) ini terlewatkan industri serial negara lain,” simpul Jimmyn dan Chang Moon dalam penelitian berjudul "Korean Dramas and Films: Key Factors for Their International Competitiveness".
Melejitnya K-Drama juga diuntungkan oleh penggemar Hallyu Wave militan. Aplikasi streaming Viki, misalnya, tak perlu capek-capek mempekerjakan penyulih bahasa. BBCmelaporkan bahwa mereka punya “komunitas sukarelawan” yang rela menerjemahkan K-Drama ke berbagai bahasa asing secara kilat, hanya 3-4 jam setelah episode baru keluar.
“Gratis, mereka hanya kami beri akses layanan berlangganan bebas iklan,” kata Kristine Ortiz, manajer senior di aplikasi streaming Viki.
Satu buah serial K-Drama bisa disokong hingga 37 jenis bahasa. Bahasa Inggris menjadi bahasa utama yang disulih, baru kemudian disusul bahasa lain. Lagi-lagi K-Drama unggul di sisi ini. Serial lain mana ada sih yang punya penggemar militan yang rela begadang tak dibayar untuk menerjemahkan bahasa ibu mereka?
Editor: Maulida Sri Handayani