Menuju konten utama

Dewan Pakar ICMI Kritik Revisi RUU Anti-Terorisme

Anton mengusulkan agar pemerintah melakukan upaya preventif dalam pencegahan terorisme melalui cara lain yakni dengan mengambil keputusan politik, bukan melalui revisi RUU Anti-Terorisme.

Dewan Pakar ICMI Kritik Revisi RUU Anti-Terorisme
Personel Brimobda Sulteng berusaha memasuki area penyelamatan sandera pada latihan penanggulangan terorisme di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (9/5). ANTARAFOTO/Basri Marzuki

tirto.id - Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Anton Tabah Digdoyo, mengkritik sejumlah poin dalam Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Terorisme yang saat ini masih dibahas oleh Pansus di DPR.

Ia mengatakan beberapa hal yang dibahas dalam daftar inventarisasi masalah seperti kriminalisasi perbuatan awal, pelibatan TNI dan 'pasal guantanamo' bertentangan dengan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

"RUU ini selain karena pasal-pasal ini sangat tidak humanis karena ada pasal guantanamo, mau melibatkan tentara, itu sangat tidak direkomendasikan dunia. Makannya Indonesia harus patuh dengan justifikasi dari berbagai yurisprudensi dan yurisdiksi internasional," ungkap Anton di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6/2017).

Untuk itu, dia mengusulkan agar pemerintah melakukan upaya preventif dalam pencegahan terorisme melalui cara lain yakni dengan mengambil keputusan politik, bukan melalui revisi RUU Anti-Terorisme.

Dalam hal ini, kata dia, Indonesia dapat mencontoh Amerika saat membentuk Patriot Act ketika serangan teroris pada gedung WTC pada 2001.

"Pengalaman ditabraknya gedung WTC, hanya dalam waktu 12 hari Amerika mampu membuat keputusan politik yaitu Patriot Act. Keputusan politik itu bisa lebih dahsyat lebih keras tapi ada masanya, hanya 2 tahun," kata dia

Menanggapi hal tersebut, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan penanganan kasus terorisme di Indonesia sebenarnya telah mentaati aspek hukum baik yang ada di Indonesia maupun yang diratifikasi dari konvensi PBB.

Adanya penambahan poin dalam RUU Anti-Terorisme, kata dia, merupakan salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk memberikan kewenangan lebih kepada kepolisian berdasarkan UU untuk mencegah jatuhnya korban.

"Basisnya ini penegakan hukum. Ini mohon dijadikan atensi. Karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi PBB. Kalau dibilang ada penindakan ditembak, Kita harus tau kalau ada yang ditembak atau striking force ini dalam penanganan terorisme hanya mungkin kan cuma 10 persen. 90 persen itu kan diikuti oleh intelijen," ungkapnya.

Ia juga menegaskan bahwa meskipun nantinya UU tersebut memberikan kewenangan lebih dalam melakukan pencegahan, Kepolisian melalui Densus 88 tidak akan asal tembak seperti yang seringkali distereotipkan banyak orang.

Ia mengatakan, Kepolisan akan bekerja secara criminal justice yang bermuara pada pengadilan. Ia mencontohkan misalnya, ketika melakukan penggerebekan di Solo pada 2012, Densus 88 tidak langsung menembak mati pada terduga teroris melainkan pelumpuhan. Namun, karena mendapat serangan, maka Densus terpaksa melakukan tembak mati di tempat.

"Ketika kita berhadapan dengan teroris kita tidak tahu dia menggunakan senjata atau tidak. Terbukti yang di Solo. Yang di Solo menembak untuk melumpuhkan, jatuh. Ternyata dia masih bawa senjata. Densus datang ditembak dari bawah. Kena perutnya," kata dia.

"Kita mengacu pada criminal justice model. Semua bermuara pada pengadilan. Maka dari itu, ini mohon dipahami. Karena pelaksanaan di lapangan itu tidak segampang apa yang kita bayangkan," ungkapnya.

Baca juga artikel terkait UNDANG-UNDANG TERORISME atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto