tirto.id - Dalam buku yang ditulis Deborah Moggach, kegelisahan menyelimuti si tokoh perempuan. Ia terikat pelbagai bentuk kehampaan yang memaksa jiwanya berteriak kencang. Baginya, kebahagiaan sejati muskil didapatkan. Segala kekayaan yang melimpah bersama sang suami di samping kuasa serta rasa hormat dari masyarakat, justru menjauhkan sanubarinya.
Dari novel yang terbit pada 1999 itu, sineas Justin Chadwick (The Other Boleyn Girl, Mandela: Long Walk to Freedom), dibantu penulis naskah Sir Stom Stoppard (Shakespeare in Love, Anna Karenina), menuangkan narasi mengenai komitmen melepas diri dari jerat fana ke dalam cangkang visual dengan judul sama; Tulip Fever.
Tulip Fever merupakan film drama sejarah yang dirilis pada 24 Agustus 2017. Film ini mengambil latar cerita kisaran abad 17 di Belanda, ketika bunga tulip sedang berjaya di pasaran. Tulip Fever berpusat pada tokoh Sophia Sandvoort (diperankan Alicia Vikander) yang mengalami gejolak batin dalam mencari makna kebahagiaan.
Secara pemenuhan materi, Sophia tak perlu khawatir jatuh pada lubang kemiskinan. Suaminya, Cornelis Sandvoort (Christoph Waltz) adalah pengusaha besar dengan kekayaan bertumpuk. Bisnisnya merajarela seiring kehormatan yang diperoleh lewat hasil tawar sana sini. Walaupun demikian, hal bertolak belakang dialami istrinya.
Di tengah serangan kekosongan bertubi-tubi, takdir mempertemukannya dengan seniman lukis Jan Van Loos (Dane DeHaan). Van Loos merupakan pelukis yang diminta untuk membuat gambar Sophia. Perlahan, benih-benih cinta tumbuh. Peristiwa demi peristiwa menuntunnya pada momentum yang selama ini Sophia cari. Hingga akhirnya, ia mengambil keputusan besar dalam hidupnya.
Sebetulnya, alur film drama semacam ini dapat ditebak ketika Sophia memilih Van Loos untuk menghabiskan sisa waktu bersamanya. Kenyamanan yang menepikan bermacam rupa materi merupakan faktor utama untuk menentukan arah hidup selanjutnya. Kala dulu ia terbelenggu fatamorgana, sekarang ia merengkuh asa.
Selain naskah, kekuatan Tulip Fever terletak pada bagaimana masa kejayaan bunga tulip dikembangkan tak cuma sebagai pemanis belaka. Tajuk tulip seakan melebur jadi satu pada elemen dialog, konflik, plot yang menjalar seraya menegaskan tulip lebih sekedar bentuk bunga. Bahwasanya tulip sudah menjadi simbol kejayaan dan kehancuran dalam satu waktu yang kelak dikenang sejarah peradaban.
Kejayaan dan Kehancuran Fenomena Tulip
Menurut Peter M. Garber melalui tulisannya berjudul Tulipmania yang dimuat dalam Journal of Political Economy tahun 1989, kehadiran bunga tulip di benua Eropa berasal dari benih dan biji yang diberikan Kekaisaran Ottoman Turki. Benih dan biji itu disampaikan kepada perwakilan Ferdinand I (Kaisar Roman), Ogier de Busbecq pada tahun 1554 sebelum nantinya disebarluaskan ke titik-titik penting di Eropa: Vienna, Augsburg, Anrtwerp, dan Amsterdam.
Kemajuan tulip di Eropa semakin maju di sekitar tahun 1593. Saat itu, ahli botani Flemish Carolus Clusius mendirikan pos penelitian di Leiden guna menanam serta mengembangkan benih maupun biji tulip supaya mampu beadaptasi. Alhasil, tak lama kemudian tulip mulai tumbuh dan popularitasnya menanjak di kalangan khalayak ramai.
Baca juga:
Mike Dash lewat bukunya Tulipmonia: The Story of the World’s Most Coveted Flower and the Extraordinary Passions It Aroused (1999) menjelaskan bunga tulip memiliki perbedaan yang cukup mencolok dibanding bunga lain bagi orang Eropa. Bunga tulip dipandang mempunyai warna kelopak yang unik serta intim. Di sisi lain, kemunculan bunga tulip bersamaan dengan bangkitnya perdagangan Belanda yang menapaki jalan kejayaan setelah meraih kemerdekaan. Maka bunga tulip yang baru tumbuh mekar mendapati momentumnya untuk didaulat sebagai simbol nasional.
Tanpa perlu menunggu lama, minat terhadap bunga tulip meluas seketika. Semua pihak berlomba-lomba memiliki tulip. Hal tersebut juga ditopang kenyataan bahwa Belanda pada abad itu mendominasi perdagangan dunia dan menjadi negara kaya di Eropa.
Efeknya bunga tulip dengan cepat menjadi barang mewah.
Namun, kondisi ini berampak kurang baik bagi petani. Mereka diminta membayar dengan harga yang lebih tinggi. Parahnya, pada tahun 1623 ada warga Belanda berkeinginan menukar sebuah townhouse megah di Amsterdam dengan satu paket bunga tulip yang konon begitu indah dan langka.
Tujuh tahun setelahnya, harga tulip masih melonjak tajam yang mengakibatkan banyaknya spekulan yang masuk ke pasar. Tercatat, harga satu bunga tulip bisa mencapai 5.500 gulden sebelum melejit dua kali lipat hingga 10.000 gulden pada bulan pertama 1637. Tulip dengan harga sebesar itu dapat dipakai untuk memenuhi keperluan sandang, pangan, dan papan warga Belanda selama setengah tahun. Atau bisa digunakan untuk membeli rumah megah di kanal paling modis seantero Amsterdam, yang pada saat itu termasuk properti termahal di dunia. Parahnya, tulip sempat digunakan untuk transaksi pengganti mata uang dalam kehidupan sehari-hari.
Puncak kemerosotan harga bunga tulip terjadi pada musim dingin 1636 sampai 1637. Seperti yang diutarakan Peter M. Garber dalam artikel lainnya, Famous First Bubbles (1990), bunga tulip mampu berpindah tangan sebanyak 10 kali dalam waktu satu hari. Ribuan orang, mulai dari tukang sepatu, tukang kayu, tukang batu, sampai masyarakat biasa terlibat dalam intensnya jual-beli tulip. Sampai suatu ketika di awal Februari 1637, harga tulip di pasaran runtuh dan untuk pertama kalinya orang-orang tidak mampu membeli bunga tulip dengan harga rendah sekalipun. Permintaan seketika menghilang dan nilai tawar jatuh begitu dalam.
- Baca juga: Krisis Meksiko Dahulu, Krisis Asia Kemudian
Kejatuhan tulip membawa dampak beruntun yang mana membantu menumbuhkan iklim pengambilan risiko fatal serta memungkinan ruang bagi spekulasi untuk menaikkan harga di tempat pertama. Tak hanya itu, kejatuhan tulip juga membuat keuangan banyak orang terpuruk. Utang menumpuk di mana-mana.
Dalam Extraordinary Popular Delusions and the Madness Crowds yang diterbitkan tahun 1841, jurnalis asal Skotlandia Charles Mackay menyebutkan bahwa jatuhnya tulip disebabkan oleh sikap irasional banyak orang dalam mengambil keputusan ekonomi. Mackay juga mempopulerkan istilah insiden gelembung spekulatif yang kelak menjadi inspirasi bagi kalangan ekonom dalam mendefinisikan bencana ekonomi berskala besar.
Akan tetapi, para ekonom modern mengemukakan jatuhnya tulip disebabkan karena kondisi perang yang berkecamuk. Earl Thompson dalam The Tulipmania: Fact or Artifact (2007) menyebutkan pada tahun 1634-1635 tentara Jerman dan Swedia kehilangan wilayah di Jerman Selatan. Sedangkan pasukan infanteri Ferdinand dari Austria bergerak ke utara. Kemudian pasca-Perjanjian Praha (1635) pihak Prancis maupun Swedia memutuskan memberi dukungan untuk para pemrotes dari Jerman-Swedia dengan pasokan uang dan senjata yang dipakai melawan pihak musuh sekaligus mengokupasi Belanda-Spanyol di 1636.
Oleh sebab itu, harga pasar yang memungkinkan terjadi ialah merespon secara rasional kenaikan permintaan. Faktanya, harga jatuh lebih cepat dan dramatis dibanding kenaikan. Penjualan mengalami kemerosotan selepas jatuhnya harga di bulan Februari 1637 yang mengawali hilangnya nilai selama beberapa dekade berikutnya.
Fenomena yang menyertakan bunga tulip dari masa awal, keemasan, hingga kejatuhannya disebut sebagai tulipmania.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf