Menuju konten utama

Dark Space Affandi: Memvisualisasikan Pergulatan Melawan Depresi

Affandi Setiawan mengajak khalayak memahami gangguan mental melalui karya seni visual. Mengeksplorasi “ruang gelap” dalam pikiran penyintas depresi.

Dark Space Affandi: Memvisualisasikan Pergulatan Melawan Depresi
Dark Space karya Affandi Setiawan. FOTO/Dok. Affandi Setiawan

tirto.id - Karya seni seringkali diciptakan dengan jalan memperindah sesuatu. Bagi banyak orang, karya seni ada untuk dinikmati dan dijaga keindahannya. Tapi perspektif dan cara berkesenian semacam itu tak hadir dalam Tortured Soul karya Affandi Setiawan.

Ia justru menciptakan karya seni visual dengan merusak. Alih-alih melukisnya dengan gambar indah, Affandi mengiris, menusuk, dan mengerik tiga kanvas hitam dengan sebilah pisau roti bergerigi. Tiga kanvas berbeda ukuran yang telah koyak itu lantas disejajarkan dan segaris cipratan tinta putih ditorehkan melintasi ketiganya.

Di karya lain ia mencipratkan tinta putih secara tak beraturan di sebidang kanvas hitam. Lalu dengan pisau ia membuat irisan-irisan melintang di sekujur kanvas. Kedua karya itu seakan-akan hadir sebagai ungkapan kegelisahan, kemarahan, dan segala emosi negatif yang meledak.

Affandi mengakui bahwa itulah wujud depresi yang mengendap di pikiran seseorang. Ketika perasaan tak berguna dan tak berarti muncul, itu memicu orang untuk melukai diri sendiri. Entitas diri yang mestinya disayangi dan dijaga tercabik-cabik oleh pikiran-pikiran negatif yang entah datang dari mana.

“Saya pernah melalui itu semua. Saya ingin ini jadi topik pembicaraan. Isu kesehatan mental ini jangan diremehkan,” kata seniman visual lulusan Rhode Island School of Design ini kepada Tirto, Jumat (7/12/2018).

Pada 7-30 Desember ini, Affandi menggelar pameran tunggal perdananya di Soham Art Space, Kemang, Jakarta Selatan. Pameran bertajuk Dark Space itu adalah usahanya mengangkat isu kesehatan mental melalui karya visual dan instalasi.

Sebagaimana tajuknya, karya-karya Affandi hadir dalam nuansa gelap yang pekat. Itu adalah representasi pikiran negatif, trauma, kemarahan, dan luka batin yang bersemayam dalam pikiran setiap orang. Affandi mencoba mengajak kita menyelami dunia batin orang-orang yang menderita depresi.

Ledakan Emosi hingga Meditasi

Affandi membagi karya-karyanya dalam enam seri dengan penekanan tersendiri. Seri pertama, di mana lukisan Tortured Soul menjadi bagiannya, adalah gambaran ledakan emosi negatif yang sebelumnya terpendam.

Seri kedua di namainya Let Me Out. Ini adalah simbol dari usaha seseorang keluar dari jebakan ruang gelap depresi. Lima lukisan dalam seri ini diawali dari kanvas hitam kosong, lalu digores cat putih secara spontan dengan tangan. Hasilnya: bentuk-bentuk telapak tangan dan pola-pola tak beraturan yang jadi gambaran rusuhnya pikiran melawan kegelapan depresi.

“Kalau saya berdiam dalam ruang gelap depresi, saya enggak bisa hidup,” kata Affandi.

Let Me Out karya Affandi Setiawan
Let Me Out karya Affandi Setiawan. FOTO/Dok. Affandi Setiawan

Seri ketiga terdiri dari dua karya yang dinamai I See the Light. Ada masa-masa ketika jiwa seseorang begitu lelah. Saat ia mulai menyerah dan membiarkan kegelapan menelan batinnya, ia selalu yakin pasti ada cahaya yang akan menuntunnya keluar.

Seri keempat adalah simbol kenangan masa kecil hingga remaja Affandi. Dalam seri berjudul Trapped ini, Affandi melukis dengan gaya anak-anak tapi dalam visualisasi yang muram. Ada sosok kecil yang terkulai lesu terkurung dalam kotak tak kasat mata. Ia seakan-akan merana di pojok ruang gelap yang luas. Itu juga betuk kritiknya terhadap orang-orang dewasa yang egois.

“Ini kisah gelap ketika seorang anak terperangkap pikirannya dalam tekanan yang diciptakan orang dewasa. Orang dewasa itu tak sadar bahwa mereka memberi tekanan yang besar ke anak-anak,” kata Affandi.

Orang dewasa terlalu sering bertanya soal peringkat di kelas, segala kursus yang diikuti, atau sejauh mana pengetahuan si anak. Orang tua sering kali memberi banyak barang, tanpa pernah bertanya apa yang sebenarnya mereka inginkan atau apa yang membuat anak nyaman.

Lalu ada seri Eat Me Alive yang menggambarkan bagaimana rasanya seseorang “dimakan” kehampaan—suasana batin yang umum dihadapi penyintas depresi. Ketika beraktivitas mereka bisa tampak senang dan semangat, tapi begitu semua berakhir hanya perasaan sepi dan kosong yang bersisa.

Seri keenam adalah retrospeksi Affandi setelah menjalani meditasi untuk mencari jalan keluar dari depresinya. Ini adalah ilustrasi perjalanan pikiran seseorang kala mencari jalan keluar. Lewat pola-pola garis, titik, arsiran, dan bentuk yang centang perenang Affandi menggambarkan kondisi pikiran seseorang yang dilanda stres, gelisah, kebingungan, rusuh, marah.

Lalu pada satu titik ia mulai belajar menstabilkan semuanya. Deretan pola yang semula ruwet itu kemudian perlahan jadi lebih teratur dan makin kalem. Seri ini diakhiri dengan sebarisan pola titik yang kian pudar dalam sebidang kertas hitam.

“Depresi itu enggak akan hilang. Suatu saat itu bisa muncul lagi. Karena itu seseorang mesti belajar dan dibantu mengendalikannya,” kata seniman yang juga menekuni bisnis fesyen ini.

Infografik Seni melawan depresi

Infografik Seni melawan depresi

Depresi Jadi Inspirasi

Affandi mendapat inspirasi berkarya ketika ia menjalani meditasi selama dua minggu di India. Saat itu, entah karena apa, pikiran negatif dan trauma masa lalunya muncul lagi secara tiba-tiba. Itu membuatnya gelisah.

Kepada saya, Affandi berkisah bagaimana ia terkungkung dalam depresi hampir selama 15 tahun. Ia punya tendensi depresi sedari kecil karena latar belakang keluarganya yang keras. Dulu ia merasa terperangkap karena takut mengungkapnya.

“Waktu meditasi itu banyak pikiran dari masa lalu yang keluar lagi. Trauma-trauma itu, ketakutan-ketakutan itu. Dulu saya merasa sangat tidak percaya diri dan seakan tanpa harapan,” kenangnya.

Ia mulai berani mengambil langkah karena nyatanya ia tak sendirian. Banyak orang juga menderita depresi seperti dirinya. Sejak itulah ia mulai ikut terapi dan meditasi.

Hingga ia kemudian berkenalan dengan Bernadette Godeliva Fabiola Natasha. Seniman yang akrab disapa Fabiola ini telah lama berkecimpung di dunia seni, khususnya fotografi dan lukisan tinta Cina kontemporer. Mereka segera cocok karena berbagi pengalaman masa lalu yang sama. September lalu Fabiola menggelar pameran fotografi tentang bagaimana seseorang berdamai dan mengekspresikan kepahitan di masa lalu.

“Saya banyak bicara dengan dia, daripada lari ke hal-hal negatif, mending lepaskan kesakitan itu jadi karya. Seni itu sangat membantu menurut saya. Biar orang tahu siapa sebenarnya kamu,” kata Fabiola.

Fabiola lalu mendorong Affandi berkarya dan berani pameran. Apalagi pesan yang diusung karya Affandi cukup krusial. Harus diakui isu kesehatan mental memang masih terpinggirkan, bahkan dianggap tabu, di Indonesia.

“Karya yang punya pesan seperti ini tidak banyak. Karena itu saya dorong dia, lakukan!” kata Fabiola.

Karya-karya seni dengan pesan-pesan spesifik seperti Affandi memang tak banyak di Indonesia. Namun, Affandi sebenarnya tak sendirian. Setidaknya ada dua seniman kontemporer yang juga mengusung tema kesehatan mental: Dawid Planeta dan Janelia Mould.

Dawid Planeta adalah seniman dan desainer grafis asal Polandia. Pada 2017 ia mulai menuangkan pengalaman depresinya dalam serial ilustrasi digital bertajuk Mini People In The Jungle. Ia menggambarkan seorang pria kecil dengan obornya memasuki hutan belantara yang gelap dan bertemu binatang-binatang raksasa dengan mata bercahaya.

"Ini adalah kisah seorang pria yang masuk ke kegelapan dan kekacauan untuk memahami dirinya sendiri," kata Planeta sebagaimana dikutip laman My Modern Met.

Karya desainer grafis Dawid Planeta
Karya desainer grafis Dawid Planeta. FOTO/mymodernmet.com

Bagi Planeta itu adalah gambaran dari apa yang berkecamuk dalam pikirannya ketika menghadapi depresi. Pria kecil itu agaknya adalah personifikasi pribadi Planeta, yang memberanikan diri masuk labirin gelap dan bertemu dengan ketakutannya sendiri. Itu laiknya usaha Planeta berdamai dengan depresi yang pernah menderanya.

"Depresi tidak mudah untuk ditangani. Cobalah berhenti memikirkannya sebagai kelemahan dan ubahlah jadi sesuatu yang brilian. Itulah yang ingin saya capai dengan karya ini,” katanya.

Lalu ada Janelia Mould, seniman fotografi konseptual asal Afrika Selatan yang mengangkat isu depresi melalui karya Melancholy: A Girl Named Depression. Melalui serangkaian potret surealis, Mould mencoba mengungkapkan emosi dan kompleksitas depresi yang menghantui sekira 350 juta orang di seluruh dunia.

“Ini adalah karya yang sangat subjektif. Saya terinspirasi oleh perjuangan saya sendiri dan menggunakan fotografi sebagai terapi,” ungkapnya kepada My Modern Met.

Dalam serial karya ini, Mould sengaja menanggalkan kepala dan beberapa anggota badan subjek fotonya. Itu adalah gambaran tentang apa yang dialami penderita depresi: kehidupan yang tak pernah bisa lengkap.

Karya fotografer Janelia Mould
Karya fotografer Janelia Mould. FOTO/mymodernmet.com

Ia tergerak membikin serial karya tentang depresi untuk memberi pengertian kepada publik tentang gangguan mental ini. Sebenarnya dewasa ini telah banyak informasi dan berbagai gerakan untuk membantu mereka yang terperangkap depresi. Namun, menurut Mould, Para penyintas depresi masih terkungkung dalam stigma buruk.

Itu membuat mereka malu dan malah enggan meminta bantuan. Seringnya mereka dianggap lemah. Bahkan, mereka sering disalahpahami sebagai orang gila. Jadi, bukannya tertolong mereka malah kian terisolasi. Melalui karya ini Mould ingin mereka tak lagi merasa sendirian dan percaya masih ada harapan.

“Jika foto-foto ini dapat memberi pemahaman yang lebih baik tentang penyakit mental, saya akan sangat senang,” katanya.

Senada dengan Planeta dan Mould, melukis bagi Affandi adalah meditasi. Seiring waktu ia mulai memahami bahwa energi negatif yang mengendap dalam pikirannya tidak dapat dihancurkan, tapi bisa ditransformasi. Seseorang tak bisa terus-menerus ditolak atau dilawan, karenanya yang bisa dilakukan adalah menerima dan belajar menstabilkannya.

“Di saat saya mulai menyayangi dan menerima energi negatif yang ada dalam pikiran saya, saya akhirnya bisa mentransformasikan semua luka batin menjadi karya seni. Berhentilah berlari dari ruang gelap pikiran Anda. Ubahlah itu menjadi sesuatu yang luar biasa dan berbagilah dengan dunia. Begitulah cara Anda sembuh,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SENI KONTEMPORER atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan