Menuju konten utama
25 April 1989

Dari Yap Thiam Hien, Kita Belajar Arti Keadilan

Dewa junjungan.
Pegangan keadilan
kaum pinggiran.

Dari Yap Thiam Hien, Kita Belajar Arti Keadilan
Ilustrasi Yap Thiam Hien (1913-1989). tirto.id/Gery

tirto.id - Bagi saya, Handojo Leksono lebih dari sekadar dosen hukum. Selain sikapnya yang rendah hati, mengayomi mahasiswa, dan selalu tampil jatmika dengan setelan batik lengan panjang serta kacamata khas 1970-an, ia juga sering memberikan petuah yang terus tertancap di kepala.

Dua tahun silam, di taman kampus yang begitu rindang, saya berbincang dengannya. Tema obrolannya macam-macam; dari isu politik internasional, beberapa kebijakan kampus yang keblinger, hingga rancangan tugas akhir yang hendak saya kerjakan. Namun, di antara bahan obrolan yang cukup beragam itu, ada satu topik yang sampai sekarang masih terngiang di pikiran.

“Kamu berniat jadi advokat tidak?” tanyanya kepada saya.

Saya tak buru-buru menjawab. Bukannya apa-apa, saya kurang begitu yakin bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Setelah berpikir cepat, saya beranikan diri untuk memberi jawaban.

“Tidak, pak. Saya tak ada niat jadi penegak hukum karena sejauh ini saya percaya bahwa sebagian besar dari mereka hanya bekerja untuk melindungi kepentingan elite dan kalangan atas,” jawab saya.

Mendengar jawaban saya, ia terdiam. Raut wajahnya mendadak berubah serius. Sejurus kemudian, ia menghela nafas panjang dan membalas pernyataan saya.

“Tak ada yang salah dengan prinsipmu. Itu benar belaka dan jadi sesuatu hal yang mengganggu pikiranku selama puluhan tahun terakhir. Semakin ke sini, para penegak hukum di negara kita makin tak jelas arahnya. Mereka berada di rimba hukum hanya untuk membela kepentingan kelompok berduit. Yang di atas makin aman, yang di bawah makin nylungsep,” ujarnya dengan nada yang kecewa.

“Kiranya, di kepala mereka ini, officium nobile (pengacara adalah profesi terhormat) cuma jadi formalitas. Prinsip yang sebatas diucapkan lewat mulut tapi tak pernah diterapkan. Sikat duit sana, sikat duit sini. Ngibulin orang-orang lemah dan memihak orang-orang yang cuma mau menang di pengadilan,” tambahnya.

“Sekarang, cari sosok seperti Yap Thiam Hien makin susah.”

Pasang-Surut di Serambi Mekkah

Dunia hukum mengenal nama Yap Thiam Hien sebagai legenda, cerita, sekaligus inspirasi yang mendorong para penegak hukum untuk melaksanakan kerja-kerja bersih, berdedikasi, dan tak pandang bulu dalam menjunjung kebenaran. Yap bisa dibilang hanya segelintir orang yang bisa jadi pelita di tengah kacau balaunya semesta hukum Indonesia.

Yap lahir di Kuta Raja, Aceh, pada 25 Mei 1913. Ia adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Masa kecil Yap dihabiskan di rumah besar milik kakeknya, Joen Khoy, bersama bibi, paman, dan sepupunya. Ia dekat dengan ibunya, Tjing Nio, dan omah Jepang-nya (atau nenek), Nakashima. Kedua sosok tersebut dianggap sangat berpengaruh dalam hidup Yap.

Daniel Lev, Indonesianis dari Washington University, dalam No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer (2011) mengatakan, keluarga Yap termasuk golongan elite Tionghoa di Kuta Raja. Status tersebut dapat dilihat dari fakta bahwa buyutnya, Yap A Sin, merupakan pejabat lokal dengan pangkat letnan di zaman kolonial. Buyutnya yang lahir di Bangka itu lantas menikah dengan putri kapitan Cina di Kuta Raja. Tak lama kemudian, buyut Yap perlahan mulai membangun usahanya di sana.

Masih menurut catatan Lev, bisnis keluarga Yap ada banyak; dari kolam ikan hingga perkebunan kelapa. Ditambah lagi, keluarga Yap mendapatkan hak untuk memonopoli perdagangan opium dari pemerintah Belanda. Kondisi itu mengakibatkan kekayaan keluarganya makin menumpuk serta Yap bersama adik-adiknya mampu mendapatkan akses pendidikan secara baik dengan masuk di salah satu sekolah Belanda di Kuta Raja.

Akan tetapi, masa jaya keluarganya tak berlangsung lama. Charles Coppel dalam “The Making of An Indonesian Human Rights Lawyer” yang terbit di Inside Indonesia menyebut, pada akhir 1910-an, bisnis keluarga Yap bangkrut tatkala pemerintah Belanda mencabut hak istimewa pejabat lokal keturunan Tionghoa. Guna menutup utang-utangnya, kakek Yap menjual rumah besarnya. Yap dan adik-adiknya lalu pindah ke rumah keluarga ibunya.

Situasi semakin memburuk kala ibu Yap meninggal dunia pada 1922. Yap yang masih berusia sembilan tahun jelas terpukul berat. Selama ini, ibunya adalah sosok yang mengajarkannya arti kedisiplinan serta kasih sayang. Sepeninggal sang ibu, Yap dan adik-adiknya dirawat Nakashima. Terlebih, ayah mereka, Sin Eng, kian jarang berkumpul dengan keluarganya karena sering ke luar kota (hingga Batavia) untuk kembali merintis usaha.

Nakashima menjelma sosok yang dekat dengan Yap dan adik-adiknya. Ia mengasuh mereka dengan ketulusan. Saban malam, Nakashima rutin membacakan cerita samurai Jepang untuk menanamkan nilai-nilai tentang keberanian dan pengorbanan. Cerita yang dibacakan Nakashima begitu membekas di pikiran Yap.

Pada 1926, Yap lulus ELS dan melanjutkan pendidikan MULO-nya di Batavia. Yap memilih Batavia sebab ingin mengikuti teman-temannya serta menyusul ayahnya yang kerja sebagai staf penjualan perusahaan. Di MULO, Yap belajar bermacam bahasa (Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, Latin), matematika, dan sains. Yap mampu menerima pelajaran tersebut secara baik dan lulus dengan nilai maksimal.

Setamat dari MULO, Yap masuk AMS—setingkat SMA—di Yogyakarta. Di sana, ia tinggal bersama Herman Jopp dan mulai menyambangi gereja hingga akhirnya memeluk Protestan. Selepas lulus AMS pada 1933, Yap ikut ujian guru di Dutch Chinese Normal School (HCK) di Batavia. Ia diterima serta menghabiskan waktu empat tahun selanjutnya sebagai pengajar di Cirebon hingga Rembang.

Menjadi guru, catat Lev, memberinya minat yang langgeng dalam pendidikan di samping membuatnya lebih punya keterikatan dengan orang-orang—terutama etnis Tionghoa—yang hidup dengan nasib kurang beruntung. Namun, nyatanya, mengajar bukan panggilan hidup Yap. Pada 1938, ia balik ke Batavia untuk bekerja di perusahaan telepon dan menempuh sekolah hukum.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, sekolah tempat Yap menimba ilmu hukum ditutup. Yap tak patah arang. Setelah kemerdekaan, pada 1946, ia pergi ke Belanda untuk melanjutkan sekolah. Untuk bisa mencapai Belanda, Yap harus jadi pekerja kapal yang memulangkan para tahanan Belanda ke negerinya. Yap, tanpa pikir panjang, langsung mengiyakan.

Yap belajar hukum di Universitas Leiden. Ia menyelesaikan studinya pada 1947. Selain mendalami hukum, menurut Coppel, Yap juga menyelami teologi serta aktif dalam kegiatan geraja. Dari sini, Yap lalu berkomitmen penuh pada dua hal: gereja dan hukum.

Dan komitmen itu Yap buktikan saat ia balik ke Indonesia setahun kemudian.