tirto.id - "Astaga Reed, kamu mau ke mana sih?" tanya Marc Randolph, pendiri sekaligus CEO pertama Netflix, pada Reed Hastings, pendiri Netflix lainnya (kini CEO), pada suatu hari di musim panas 1998.
Randolph, yang duduk di kursi penumpang, geram melihat Hastings gagal mencari alamat tujuan. Hastings mengarahkan mobil ke depan Liberty Loans Pawn Shop (toko gadai barang). Berikutnya, ia membawa Randolph ke depan pintu Hair Wig Store (toko wig). Lalu, ke toko yang bertuliskan Adult Entertainment Center (alias bandar bokep legal). Kegeraman Randolph kian memuncak usai tersadar bahwa area yang mereka kunjungi dipenuhi "muka muram". Toko atau kantor di sekeliling mereka nampak tak hidup, tak ada aktivitas, carut-marut, dan jauh dari kesan "bergairah untuk berbisnis".
Untunglah, usai nyasar kesana-kesini, Hastings membawa Randolph ke alamat sebenarnya. "Lihat, tuh, 1516 Second Avenue. Benar, kan?" kata Hastings, sambil menunjuk pada kantor bertuliskan "Columbia". Usai keluar dari mobil dan masuk ke kantor itu, Randolph dan Hastings disambut dengan papan nama perusahaan sesungguhnya: AMAZON.COM.
Dalam memoir berjudul That Will Never Work: The Birth of Netflix and the Amazing Life of an Idea (2019), Randolph menyebut mereka mengunjungi kantor Amazon karena imperium bisnis milik Jeff Bezos itu ingin membeli Netflix. Jeff Bezos, ujar Randolph, memutuskan Amazon tidak hanya hendak menjual buku, tetapi juga segalanya.
Selain didukung keinginan pengguna melalui angket yang disebar, langkah Bezos juga mendapat angin dari manisnya penawaran saham perdana (IPO) Amazon. Pada Mei 1997, Amazon memperoleh uang senilai USD 54 juta dari aksi IPO. Bezos, dengan kekuatan uang tersebut, ingin membangun e-commerce raksasa. Amazon pun ingin jualan DVD dengan membeli Netflix, startup yang baru berusia beberapa bulan tetapi dianggap bermasa depan cerah.
Didampingi Chief Financial Officer (CFO) Joy Covey, Bezos berbincang dengan Hastings dan Randolph soal sejarah kedua perusahaan, soal kondisi terkini, dan soal proyeksi masa depan Amazon dan Netflix. Usai berbincang tak kurang dari satu jam, Bezos keluar dan meninggalkan Covery seorang diri. "Jika kita ingin pertemuan ini berlanjut," ujar Covey kepada duo bos Netflix, "kami akan (membeli Netflix) dengan nilai sekitar 'low eight figures'." Frasa "Eight figures" merujuk pada delapan digit angka dolar Amerika, dari USD 10 juta hingga USD 99 juta. Namun, karena di depan frasa itu dibumbui dengan kata "low", ini artinya Amazon, menurut klaim Randolph sendiri, hanya rela mengucurkan uang USD 14 juta hingga USD 16 juta untuk membeli Netflix.
Sebagai pemilik 30 persen saham Netflix, sebut Randolph, tawaran Amazon "sangat baik". Namun, sebagai pemilik 70 persen saham Netflix dan berstatus "high eight figure guy", Hastings berpikir sebaliknya.
"Begini, Marc," kata Hastings kepada Randolph dalam perjalanan pulang. "Bisnis yang kita jalani punya potensi besar. Aku pikir kita dapat membuat Netflix jauh lebih sukses dibandingkan Pure Atria (startup mereka sebelumnya)."
Bagi Hastings, Netflix akan benar-benar sukses manakala roda bisnisnya mengarah ke rental DVD. Sialnya, pada bulan-bulan awal kehidupan Netflix, bisnis penjualan DVD jauh lebih laris dibandingkan bisnis rental DVD. Kala itu, penjualan DVD menyumbang duit senilai USD 93.000 untuk pendapatan, sementara rental hanya USD 1.000. Para pengguna Netflix lebih suka membayar USD 25 untuk memiliki keping DVD film selamanya, alih-alih membayar USD 4 biaya sewa.
Inilah masalah Netflix di awal pendiriannya. Bagi Randolph, pilihannya sederhana: "Anda hanya dapat menjual DVD sekali atau Anda menyewakannya ribuan kali."
Beruntunglah pada musim semi 1999, Netflix menemukan solusi jitu terkait bisnis sewa DVD: langganan (subscription).
Subscription: Model Bisnis Margin Tipis
"Model bisnis paling mendasar dari semua perusahaan adalah berusaha menciptakan produk yang unggul, dilirik pasar, lalu jual produk tersebut sebanyak-banyaknya," tulis Tien Tzuo dalam bukunya berjudul Subscribed: Why the Subscription Model Will Be Your Company's Future and What to Do About It (2018). "Untuk menggenjot pendapatan, selain berusaha mencari pembeli baru, perusahaan dapat melakukannya dengan cara memangkas biaya produksi."
Sayangnya, menurut Tzuo, lebih dari 50 persen perusahaan yang masuk dalam S&P 500 pada dekade 1950-an dan menjalankan model bisnis itu kini sudah lenyap. Alasannya sederhana: jumlah konsumen terbatas. Bumi hanya diisi tujuh miliar jiwa, dan jika suatu produk benar-benar dibutuhkan semua manusia--yang tentu saja tidak mungkin--angka tersebut jadi ambang batas yang tidak bisa dilanggar.
Plus, ketika perusahaan menjual produk (atau konsumen membeli produk untuk memperoleh hak milik), tidak ada cukup alasan bagi pembeli lama untuk membeli lagi produk tersebut--kecuali jika produknya rusak dan benar-benar dibutuhkan. Maka, untuk dapat bertahan, perusahaan mau tak mau harus terus meregenerasi produk. Tak ketinggalan, perusahaan pun harus berani menciptakan produk di bidang lain. Untuk urusan ini, Apple adalah jawaranya. Usai sukses dengan Apple II, Apple merilis Macintosh sebagai produk revolusioner di bidang komputer. Tak cukup, mereka melebarkan sayap bisnis dengan membuat iPod (pemutar musik), iPhone (ponsel), iPad (ponsel versi komputer, atau sebaliknya), dan Apple Watch (jam tangan). Mengubah model bisnis tak terelakan bagi banyak perusahaan.
Tentu, perubahan model bisnis yang dimaksud adalah bergerak dari menjual barang ke menjual akses berlangganan.
Masih dalam bukunya, Tzuo mengatakan bahwa model bisnis konvensional--menjual produk--membuat perusahaan hanya terfokus pada barang. Sementara itu, model bisnis berlangganan atau subscription economy berbeda: fokus utama perusahaan adalah konsumen. Perusahaan dituntut memberikan nilai tambah terus-menerus pada konsumen, sekaligus memenuhi kebutuhan mereka.
Netflix bisa sukses karena akhirnya memahami kebutuhan pengguna. Awalnya, sebagaimana dikisahkan Randolph dalam That Will Never Work: The Birth of Netflix and the Amazing Life of an Idea (2019), Netflix memberlakukan denda. Tak ketinggalan, alur rental DVD Netflix kala itu mengharuskan pelanggan untuk terus-terusan datang ke website untuk memilih film, mengisi kolom pembayaran, dan menonton dalam rentang waktu tertentu. Plus, ketika menyewa lebih dari satu keping DVD, pelanggan diharuskan mengembalikannya sekaligus. Akhirnya, pelanggan membenci skema ini, lalu memilih membeli keping DVD alih-alih menyewanya.
Netflix berbenah. Randolph dan Hastings merilis skema berlangganan semenjak musim semi 1999. Melalui skema berlangganan, Netflix mematok tarif rata (flat), yakni USD 15,99 per bulan kala itu. Karena skema bisnis ini tidak memberikan hak kepemilikan (keping DVD), Netflix menggantinya dengan nilai (value) berbeda yang lebih unggul: tidak ada batasan keping DVD yang dapat dipinjam, tidak ada batasan waktu menonton, tidak ada denda, dan pelanggan dapat mengembalikan DVD kapanpun mereka mau. Lalu, untuk membuat pelanggannya aktif mengembalikan, Netflix aktif langsung mengirimkan keping DVD lain tatkala pelanggan mengembalikan film sewaannya.
Tak disangka, dengan model bisnis berlangganan (dan usai hijrah dari keping DVD menjadi aplikasi streaming), Netflix memiliki 155 juta pelanggan pada 2019 lalu.
Andai saja tiap pelanggan harus mengeluarkan uang Rp100.000 per bulan untuk dapat menonton segala film/serial, tanpa harus menambah satu pelanggan pun, Netflix memperoleh pendapatan tetap senilai Rp15,5 triliun tiap bulan. (Catatan: tanpa berandai-andai, pendapatan Netflix sepanjang 2019 adalah Rp288,24 triliun atau Rp24,02 triliun per bulan).
Klaim Randolph, Netflix adalah perusahaan yang pertama menerapkan skema berlangganan di dunia maya. Kini, hampir segala hal dapat dinikmati secara berlangganan di internet, mulai dari musik (Spotify dan Youtube Music), buku (Kindle Unlimited), video games (Apple Arcade), aplikasi kreatif (Adobe Creative Cloud), aplikasi perkantoran (Office 365), hingga senam (Peloton dan Apple Fitness Plus). Tak ketinggalan, dalam bentuk sederhana, Gojek dan Grab pun menawarkan paket berlangganan yang membuat pengguna aplikasi ride-sharing tersebut dapat menikmati tarif yang lebih terjangkau.
Tentu, menggiring masyarakat untuk rela menanggalkan konsep kepemilikan dan beralih ke persewaan bukan perkara mudah. Kembali merujuk Tzuo, perusahaan wajib mengubah produk menjadi layanan (service) tatkala hendak menjalankan model bisnis berlangganan. Perusahaan harus mengemas barang dagangan agar terus-terusan memberi nilai tambah. Adobe, misalnya, kini tak hanya menjadikan Photoshop sebagai aplikasi penyuntingan foto semata, tetapi membungkusnya dengan layanan penyimpanan digital (cloud storage) sehingga pengguna dapat menyunting serta mengakses foto di mana saja dan kapan saja. Tak ketinggalan, Adobe pun merilis tutorial cara mengubah foto menjadi karya seni langsung di aplikasi Photoshop. Dan melalui Behance, pengguna Photoshop diberi medium untuk memamerkan karya ke dunia luar.
Bagi Netflix, nilai tambah sama dengan katalog film yang luar biasa besarnya. Ini juga dilakukan Spotify. Dalam Laporan Keuangan Tahunan Netflix (PDF), Netflix mengelontorkan uang senilai USD 14,7 miliar untuk membeli lisensi film/serial dari berbagai studio pada 2019. Dengan alasan yang sama, dalam llaporan keuangan tahunannya (PDF), Spotify menghabiskan uang senilai 898 juta euro untuk membayar royalti musik ke berbagai label pada 2019. Tentu, seiring meningkatnya jumlah pelanggan dan semakin menggiurkannya bisnis berlangganan, Spotify menyebut label-label musik memaksa mereka membayar royalti yang kian mahal tiap tahunnya. Di sisi lain, Netflix menghadapi ancaman studio-studio mitra yang merilis aplikasi streaming. Walhasil, Netflix menganggarkan USD 9,8 miliar pada 2019 untuk membuat film/serial sendiri alias "Netflix Original".
Secara keseluruhan, Netflix menghabiskan uang senilai USD 12,4 miliar sebagai ongkos untuk bertahap hidup. Spotify memerlukan 5,04 juta euro untuk tujuan yang sama. Model bisnis berlangganan sesungguhnya tidak memberikan pendapatan fantastis. Marjinnya tipis. Yang jelas, pendapatannya tetap. Aman.
Editor: Windu Jusuf