tirto.id - "iPhone 12 dan iPhone 12 Mini sungguh luar biasa hebatnya," kata Tim Cook, Chief Executive Officer Apple, dalam acara "Hi, Speed" untuk memperkenalkan generasi terbaru iPhone Oktober 2020 silam. Seraya menerangkan bahwa kehebatan iPhone 12 tersebut hanya "setengah kisah", Cook lantas memperkenalkan seri yang lebih hebat "kisah selanjutnya", yakni iPhone 12 Pro dan iPhone 12 Pro Max. Selain soal ukuran, Pro dan Pro Max menghadirkan sistem kamera baru yang menggunakan LiDAR.
LiDAR--gabungan kata "light" dan "radar"--pada Pro dan Pro Max berguna untuk mendeteksi serta memetakan lingkungan sekitar dalam bentuk 3D. LiDAR bekerja dengan cara menangkap cahaya yang memantul dari suatu objek selepas objek tersebut ditembak cahaya. Dalam tubuh Pro dan Pro Max, Apple membenamkan modul penembak laser bernama vertical cavity surface-emitting lasers (VCSELs) buatan Lumentum dan modul penangkap pantulan bernama single-photon avalanche diodes (SPADs) dari Sony.
Secara umum, LiDAR ala Apple ini berbeda dengan LiDAR tradisional, yang diperkenalkan oleh perusahaan bernama Velodyne lebih dari satu dekade silam. Pada LiDAR tradisional, terdapat sensor/penembak laser yang berputar-putar 360 derajat untuk memetakan lingkungan. Ini dilakukan karena LiDAR ala Velodyne bekerja dengan menggunakan edge-emitting laser, laser yang ditembakkan melalui bagian sisi wafer--irisan tipis semikonduktor. Sementara LiDAR ala Apple, VCSELs, memanfaatkan permukaan wafer. Jika bingung, coba bongkar mouse milik Anda. Ya, mouse atau tetikus merupakan versi paling primitif dari VCSELs. Awalnya, edge-emitting laser memang jauh lebih unggul secara kualitas dibandingkan VCSELs. Satu-satunya keunggulan VCSELs sebatas biaya produksi yang jauh lebih murah. Namun, waktu kemudian membuktikan sebaliknya, VCSELs lebih unggul dan tetap mempertahankan biaya produksi yang murah.
Pada Pro dan Pro Max, LiDAR bekerja untuk mendeteksi objek yang hendak difoto, khususnya ketika sumber cahaya minim, misalnya di malam hari. Dikombinasikan dengan teknik fotografi komputasi, Pro dan Pro Max menjanjikan kualitas foto yang tinggi.
Yang menarik, meskipun menjanjikan hasil foto berkualitas tinggi, LiDAR sesungguhnya tak lazim ada dalam modul kamera. Fitrah sesungguhnya LiDAR adalah berada di mobil dan menjadi bagian inti dalam penciptaan autonomous car atau mobil swakemudi.
Apple Car
"Skeptis," tulis Seth Fletcer dalam bukunya Bottled Lightning: Superbatteries, Electric Cars, and the New Lithium Economy (2011), membaca pandangan masyarakat terkait diluncurkannya Chevrolet Volt. Mobil listrik ini merupakan "mobil konsep" yang dipamerkan di North American International Auto Show 2007 silam. Pandangan negatif masyarakat terhadap Chevrolet Volt, tutur Fletcher, muncul karena Volt hanya dianggap sebagai "public relations perusahaan", semacam "cara Chevrolet (General Motors) membangun kredibilitas lingkungan usai merusaknya melalui emisi mobil-mobil berbahan bakar bensin". Pandangan negatif pun timbul karena pertunjukan otomotif terbesar di Amerika Utara tersebut lebih mirip peragaan busana ala Paris, bukan pertunjukan otomotif sesungguhnya. Bagi masyarakat kala itu, Volt hanya sebatas "ide aneh lain" di dunia otomotif yang mati setahun kemudian.
Secara teknis, ketidakpercayaan masyarakat bahwa Volt akan benar-benar menjadi mobil sungguhan terbentuk karena teknologi utama menghadirkan mobil ala Volt belum sempurna. Baterai, penopang utama mobil listrik, masih biasa-biasa saja. Padahal, merujuk catatan sejarah, teknologi baterai terus mengalami perkembangan--paling tidak tiap 100 tahun sekali.
Henry Schlesinger, dalam bukunya The Battery: How Portable Power Sparked a Technology Revolution (2010), menulis bahwa baterai telah lazim digunakan sejak abad ke-18 dan sesungguhnya telah hidup berdampingan dengan manusia sejak kalender Masehi belum digunakan, yang dibuktikan melalui penemuan Baghdad Battery. Namun, kisah perkembangan baterai paling serius dimulai oleh Georges Leclanché di akhir abad ke-19. Kala itu, Leclanché memahami bahwa baterai seharusnya bukan menjadi "alat laboratorium" yang sukar digunakan, melainkan dapat dipakai sebagai "piranti lapangan".
Sebagai alat laboratorium, tulis Schlesinger, "baterai relatif mahal untuk diproduksi. Tak ketinggalan, baterai membutuhkan perhatian yang hampir konstan tatkala digunakan. Di kantor telegraf, misalnya, baterai yang digunakan sangat besar dan membutuhkan perawatan rutin oleh seorang karyawan khusus". Untuk merawat baterai, seng harus dikikis dan dibersihkan dengan baik, porous cups (cangkir tempat seng diletakkan) wajib dicuci bersih, dan larutan kimiawi lama yang terkandung di dalamnya dibuang, kecuali sekitar sepertiga dari bagian bening larutan kimiawi wajib dikembalikan. Jika tidak, baterai akan membutuhkan waktu beberapa jam untuk memulihkan kekuatan penuhnya. Pada 1866, Leclanché melakukan terobosan, misalnya dengan mengganti porous cups dengan sebotol kaca yang diisi dengan amonium klorida, elektroda positif dari manganese dioxide, dan seng negatif (negative of zinc) dari batang karbon. Singkat kata, Leclanché menciptakan baterai berjenis "sel basah", yang sanggup menghasilkan energi listrik sebesar 1,5 volt. Tutur Schlesinger, "sel basah adalah baterai pertama yang tidak menggunakan larutan asam encer. Ketika baterai habis, pengguna cukup membuang elektrolit lama dan menggantinya dengan amoniak baru."
Meskipun relatif mudah, baterai ciptaan Leclanché masih belum sempurna, paling tidak terkait mengisi ulang daya. Beruntung, Gaston Planté kemudian menyempurnakannya.
Kembali merujuk Schlesinger, masyarakat biasanya mengira baterai bisa diisi ulang dengan cara memasukkan listrik kembali ke baterai, mirip dengan mengisi air ke dalam gelas dari teko yang lebih besar. Namun, secara teknis, ketika baterai habis, baterai melepaskan elektron dari logam. Selama penggunaan normal, kutub negatif baterai menjadi teroksidasi, melepaskan elektron, sedangkan kutub positifnya melepaskan oksigen. Ketika baterai diisi ulang, kutub positif teroksidasi dan kutub negatif berkurang.
Pada pertengahan abad ke-19, para ilmuwan yakin bahwa baterai tidak akan pernah kehabisan listrik, melainkan telah terjadi sesuatu pada logam di dalamnya. Untuk memperpanjang masa pakai baterai, ilmuwan bereksperimen memperlembat perubahan yang terjadi pada logam tersebut. Planté, termasuk ilmuwan yang bereksperimen. Melalui sistem kerja "coba dan coba lagi," Planté menemukan bahwa baterai dapat berumur panjang dan dapat diisi ulang dayanya dengan mudah dengan cara mempolarisai sel yang ada di dalamnya. Teknik yang kemudian disempurnakan oleh William Robert Grove dengan menciptakan baterai Grove dan makin baik di tangan John Frederic Daniell, yang menciptakan sel Daniell. Sel inilah yang kini menjadi pondasi baterai AA atau AAA.
Masuknya baterai ke dunia otomotif sebagai bahan bakar pengganti bensin, bukan sebagai daya untuk men-starter mobil, dimulai pada 1903. Kala itu, kembali merujuk Bottled Lightning: Superbatteries, Electric Cars, and the New Lithium Economy (2011), dilakukan oleh Thomas Alva Edison melalui baterai berbahan nikel dan besi yang diciptakannya. Edison yang bekerja di laboratoriumnya di Kabupaten Orange, New Jersey, mengklaim baterai buatannya memiliki kapasitas sebesar 14 watt-hour per pound (total energi baterai dibagi berat baterai), yang sanggup menjalankan mobil "empat hingga lima kali lipat dibandingkan mobil berbahan bakar bensin". Melalui baterai ini, pada 1912, Edison memperkenalkan prototipe mobil listrik pertamanya, dan karena Edison merupakan Steve Jobs versi abad ke-20, masyarakat menganggap mobil listrik ala Edison sebagai "produk revolusioner".
Sialnya, Rolls-Royce juga merilis mobil bensin enam silinder da Ford meluncurkan mobil bensin bernama Model N, yang murah meriah nan lebih bagus dibandingkan mobil listrik ala Edison. Popularitas mobil listrik akhirnya menurun tajam semenjak dekade 1920-an dan hilang ditelan Bumi oleh mobil-mobil bensin sejak 1960-an.
Empat dekade berlalu, mobil listrik kembali jadi perbincangan usai Marc Tarpenning dan Martin Eberhard mendirikan Tesla pada 2003. Berbekal uang yang diperoleh dari penjualan PayPal ke eBay, Elon Musk mengucurkan pendanaan awal (seed funding) senilai USD 7,5 juta pada startup ini. Uang yang dikucurkannya tersebut sukses mendudukkan Musk di kursi Komisaris Utama Tesladan kemudian CEO Tesla.
O.F. Vynakov, dalam "Modern Electric Cars of Tesla Motors Company" (jurnal Automation of Technological and Business-Processes Vol.8 Edisi 2/2016), menyebut, ala Tesla tak bisa dipungkiri terjadi karena Bumi yang kian hancur oleh polusi mobil berbahan bakar bensin. Di California, yang menjadi rumah bagi Silicon Valley dan Hollywood, mobil rata-rata menyumbang lebih dari 22 juta ton emisi gas beracun ke atmosfer setiap tahunnya, seperti karbon dioksida, nitrogen oksida, hidrokarbon, senyawa timbal, sulfur, polutan partikulat, aldehida, dan karsinogen. Kepopuleran mobil Tesla bukan sebatas karena keren atau cepat, tetapi karena manusia memang butuh mobil seperti ini.
Tesla bisa menciptakan mobil listrik karena teknologi baterai kian canggih--salah satunya baterai lithium-ion. Tesla sendiri sukses menciptakan baterai berkekuatan 105 watt-hours per pound, alias lebih dari tujuh kali lipat kekuatan baterai mobil listrik Edison. Dengan kekuatan ini Tesla akhirnya merilis mobil listrik pertamanya, Roadster, pada 2008.
Sayangnya, Roadster bernasib seperti Chevrolet Volt yang diluncurkan tiga tahun kemudian. Tesla baru benar-benar menunjukkan kesuksesan melalui Model S--diluncurkan setahun usai Chevrolet Volt, lalu Model X, Model 3, Model Y, dan Cybertruck.
Tentu, kesuksesan Tesla buka semata soal baterai, tetapi juga kemampuan swakemudi mobil ini. Secara umum, mobil swakemudi memanfaatkan LiDAR untuk bekerja, yang dipopulerkan oleh Waymo (spin-off dari Google). Namun, Musk menolaknya. Ia menyatakan LiDAR terlalu mahal jika digunakan pada mobil. Satu modul LiDAR, dibanderol seharga USD 75.000, dan Musk akhirnya memilih menciptakan teknologi swakemudi memanfaatkan teknik kamera yang rumit. Karena keengganan menggunakan LiDAR, teknologi swakemudi Tesla dianggap masih berada di level 2, alias masih membutuhkan pengemudi untuk bersiaga--meskipun Musk selalu menanggap teknologinya telah berada di level 5 alias "fully autonomous self-driving vehicles".
Apple, sebagaimana disampaikan di awal tulisan ini, sukses menautkan LiDAR pada ponsel seharga Rp18 jutaan.
Kesuksesan Apple membenamkan LiDAR pada iPhone menggungkit kembali rumor yang menyatakan bahwa perusahaan yang dipimpin Tim Cook ini tengah mengembangkan fully autonomous self-driving electric car. Rumor Apple Car mulai terhembus ke publik pada 2015. Kala itu, Apple diduga tengah bekerja pada proyek baru, Project Titan, yang bertujuan menciptakan mobil. Tak tanggung-tanggung, Project Titan diyakini dinahkodai oleh Steve Zadesky, mantan teknisi paling dihormati di Ford, dan Marc Newson, perancang mobil paling dihormati di Ford.
Rumor akhirnya berubah menjadi fakta manakala Apple menggugat mantan pegawainya, Xiaolang Zhang, ke pengadilan atas tuduhan mencuri dokumen terkait proyek mobil swakemudi pada akhir 2015.
Sayangnya, lebih dari lima tahun berlalu, Apple tak kunjung merilis mobil buatannya. Belakangan kabar yang sama kembali berhembus. Sebagaimana dilaporkan Jonathan Gitlin untuk Ars Technica, Apple diyakini telah berhasil memperoleh terobosan dalam pengembangan baterai, yang dibuat menggunakan lithium iron phosphate (LFP). Menurut laporan lain Gitlin, dalam proyek mobil ini, Apple dikabarkan tengah menjajaki kerjasama dengan Hyundai, usai dicampakan oleh Nissan. Apple disebut-sebut berencana merilis mobil pertama mereka antara saat ini hingga 2025 mendatang.
Apple adalah Apple. Usai merevolusi dunia komputer melalui Macintosh, dan dunia musik melalui iPod, serta dunia ponsel melalui iPhone, bukan tak mungkin mereka bakal merevolusi dunia otomotif melalui "Apple Car." Selain karena kesuksesan membenamkan LiDAR berharga sangat mahal ke ponsel (yang sebetulnya juga kelewatan mahalnya) dan pemberitaan yang menyebut bahwa Apple telah mencapai terobosan di bidang baterai, Apple memiliki dua kunci utama sukses di dunia otomotif.
Kunci pertama adalah Tim Cook.
Leander Kahney, dalam bukunya berjudul Tim Cook: The Genius Who Took Apple to the Next Level (2019), menyebut bahwa Tim Cook memang tak berjasa secara teknis dalam penciptaan Macintosh, Macbook, iPod, iPhone, atau iPad. Namun, Cook merupakan pebisnis ulung, "jenius yang membalikkan laporan keuangan Apple dari yang awalnya merugi USD 1 miliar pada 1997 menjadi untung pada 1998." Di tangan Cook, Apple sukses membangun jaringan alih-daya untuk mencetak produk-produknya. Cook sukses menekuk lutut Foxconn untuk bekerja pada Apple. Ia tahu bagaimana membangun suatu produk dari nol hanya lewat jaringan perusahaan pihak ketiga yang mau bekerja untuk Apple.
Dengan kekuatan ini, bukan sesuatu yang mustahil bagi Cook membangun jaring perusahaan pihak ketiga untuk membantu Apple menciptakan Apple Car. Tak ketinggalan, kekuatan Cook ini didukung oleh kunci kedua Apple: uang.
Dalam laporan keuangan terbaru, Apple disebut-sebut menyimpan uang sebesar uSD 77 miliar. Seandainya Apple mati kutu tak bisa mengembangkan mobilnya sendiri, atau Cook gagal membangun jaringan, duit tersebut jauh lebih dari cukup untuk membeli Nissan yang kira-kira berharga USD 25 miliar atau Ford (USD 44 miliar).
Jika benar-benar Apple masuk ke dunia otomotif, halangan terbesar mereka nampaknya hanya Tesla, bukan perusahaan otomotif konvensional. Alasannya, Nikkei Business Publication, yang membongkar (teardown) Tesla Model 3, menyebut bahwa salah seorang teknisi Toyota yang dimintai tanggapannya tentang Hardware 3 dan Tesla secara keseluruhan, menegaskan bahwa "kami tidak dapat menciptakannya". Tesla berada enam tahun di depan Toyota soal mobil listrik.
Bukan, ketidakmampuan teknisi Jepang menciptakan teknologi ala Tesla bukan soal teknis, melainkan bisnis. Ada rasa khawatir jika mereka meniru Tesla, pabrikan-pabrikan Jepang (dan pabrikan otomotif mana pun) akan merusak jaringan industri yang telah mereka bangun selama puluhan tahun. Peralihan ke mobil listrik akan menciptakan pergeseran besar-besaran di dunia otomotif. Persis seperti keengganan Kodak membunuh bisnis fotografi film tatkala dihadapkan dengan fotografi digital.
Apple seharusnya tak memiliki masalah ini. Mengejar kecanggihan Tesla, bukan sesuatu yang mustahil dilakukan, paling tidak jika Apple menyamakan colokan listrik mobilnya dengan buatan Tesla.
Editor: Windu Jusuf