Menuju konten utama

Dari Dagang Sapi Hingga Korupsi Sapi

Sudah lama sapi menjadi padanan kata untuk istilah jahat macam dagang sapi maupun sapi perah dalam dunia politik Indonesia. Belakangan, sapi betulan jadi ajang suap.

Dari Dagang Sapi Hingga Korupsi Sapi
Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq saat menjalani sidang perdana sebagai tersangka kasus korupsi pengurusan tambahan kuota impor daging sapi. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma.

tirto.id - Dukungan semua partai dianggap mutlak untuk menjalankan sebuah kabinet, terutama di era demokrasi parlementer 1950 hingga 1959. Pada saat itu, Presiden Sukarno selalu memberikan mandat kepada seseorang untuk membentuk sebuah kabinet. Orang yang mendapat mandat itu kemudian akan menjadi Perdana Menteri. Dalam prosesnya, pihak yang mendapat mandat melakukan pendekatan ke partai-partai lain untuk mendukungnya.

“Dalam proses pendekatan ini seringkali muncul tawar-menawar pada pos-pos kementerian tertentu yang dianggap strategis dalam perhitungan politik dan ekonomi. Proses tawar-menawar ini, ketika itu terkenal dengan sebutan koe handel atau politik dagang sapi,” tulis Anhar Gonggong dkk dalam Sejarah Politik Indonesia (1989).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik dagang sapi diartikan sebagai pemufakatan politik di antara partai untuk memenuhi keinginan masing-masing; perihal tawar-menawar dalam pembentukan kabinet parlementer di antara partai politik.

“Dagang sapi menjadi istilah yang sangat populer untuk menunjukkan praktik-praktik politik yang sarat dengan transaksi kekuasaan. Jika lobi politik yang dilakukan seorang calon presiden terhadap elite politik” kata Bambang Purwoko dalam Demokrasi Mencari Bentuk: Analisis Politik Indonesia kontemporer (2006).

Alwi Shahab dalam Kasino Bernama Kepulauan Seribu (2007), mencatat, sejak 1950 hingga 1959, "telah terjadi 17 kali krisis kabinet, atau rata-rata tiap delapan bulan sekali". Jika si penerima mandat gagal tawar menawar dengan partai-partai, maka kabinetnya akan dihadiahi mosi tidak percaya.

Alkisah, Mukarto Notowidagdo dari Partai Nasional Indonesia (PNI), bekas Menteri Luar Negeri dalam kabinet Wilopo. Juli 1953, Presiden Sukarno memberinya mandat. "Namun, partai-partai Islam menolak turut serta di dalam kabinet Mukarto. Karena menurut mereka Mukarto mendapat dukungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti diumumkan di dalam surat kabar partai komunis itu," cerita Ali Sastroamidjojo dalam autobiografinya Tonggak-tonggak Perjalananku (1974). Meski gagal, Presiden Sukarno tetap memberinya tugas lagi sebagai formatur.

Lagi-lagi Mukarto selaku formatur kabinet gagal, karena tidak bisa mencapai kata sepakat dengan Masyumi tentang pembagian kursi-kursi kabinet. Dengan kata lain, Masyumi berpendapat bahwa dagang sapinya dengan formatur tidak membawa keuntungan baginya. Begitulah perpolitikan di Indonesia. Di tahun 1950an maupun di masa setelah reformasi.

Tak ada yang gratis dalam dunia politik. Ada harga yang harus dibayar. Politisi sejatinya pantang rugi, harus ada kompensasi untuk sebuah dukungan. Dalam dunia politik Indonesia masa kini, sapi bisa dijadikan simbol dari kompensasi atas dukungan yang diberikan. Politisi atau partai pendukung sebuah kabinet, sebagai jasa atas dukungannya, mendapatkan "sapi" atau kompensasi.

Sapi bisa diperah susunya, maka kompensasi, yang bisa berupa proyek yang basah uangnya, bisa diperas uangnya. Proyek-proyek itu tak jarang terkait dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tak heran jika belakangan Dahlan Iskan, ketika menjadi Menteri BUMN pada Oktober 2012, menyebut BUMN sebagai sapi perah bagi beberapa anggota DPR, yang berisikan orang-orang partai politik.

Belakangan sapi kembali populer, jika dagang sapi dan sapi perah hanya sebuah istilah, sapi dalam arti hewan pun jadi sarana suap. Tak tanggung-tanggung, suap-menyuap itu melibatkan pejabat negara yang punya latar belakang partai politik. Rupanya tak hanya dagang sapi saja yang terjadi di kabinet dan parlemen Indonesia setelah reformasi, tapi juga suap dan korupsi terkait import sapi.

Baru-baru ini naas menimpa Patrialis Akbar. Hakim Mahkamah Konstitusi, yang eks politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu, kena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu 25 Januari 2017. Tak disangka, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2009-2011) era Susilo Bambang Yudhoyono, itu ditangkap di Grand Indonesia, Jakarta, bersama seorang perempuan belia Anggita Eka Putri.

Patrialis Akbar diduga telah menerima suap dari pengusaha importir Basuki Hariman. Suap itu dimaksudkan agar Patrialis mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Basuki Hariman mengaku memberikan uang kepada Kamal, orang dekat Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar.

Infografik korupsi Sapi

Sebelum Patrialis, Ahmad Fathonah juga kena tangkap KPK terkait kasus suap impor sapi. Ahmad Fathonah ditangkap saat bersama Maharani Suciyono di sebuah ruangan pada 29 Januari 2013 di Hotel La Meridien.

Fathonah adalah orang terdekat dari Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfie Hasan Ishaq. Belakangan sang Presiden partai yang membawa ideologi Islam itu pun kena jerat 16 tahun penjara. Luthfi dan Fathanah, terbukti menerima suap Rp1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. Suap itu terkait urusan penambahan kuota impor daging sapi.

Jauh sebelum Lutfie Hasan, di tahun 2007, Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog), Widjanarko Puspoyo, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sapi impor dari Australia. Di tahun 2008, Widjanarko divonis 10 tahun penjara. Perbuatannya merugikan negara sebesar Rp11 miliarar. Sebelum jadi pimpinan di Bulog, Widjanarko adalah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kasus yang terkait PDIP ini kalah ramai dibanding kasus korupsi yang menimpa Lutfie Hasan.

Baca juga artikel terkait OPERASI TANGKAP TANGAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Hukum
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti