Menuju konten utama
Miroso

Dari Bahn Mi hingga Ca Phe Da: Kekisruhan yang Indah di Vietnam

Vietnam: jalanannya menjadi wakil wajah neraka di dunia, makanannya adalah presentasi surga. Segar, lezat, harum, dan terjangkau.

Dari Bahn Mi hingga Ca Phe Da: Kekisruhan yang Indah di Vietnam
Header Miroso Petualangan Lidah di Vietnam. tirto.id/Tino

tirto.id - Episode dalam acara televisi Anthony Bourdain: Parts Unknown yang paling “mengganggu” saya adalah bagian yang berlatar di Huế dan Hanoi, Vietnam. Makanan-makanan berbahan dasar segar yang mengucurkan air liur, hiruk pikuk pasar yang sekilas dinamikanya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, dan sejarah panjang perang Vietnam yang penuh cerita pilu, entah mengapa menggerakan hati saya tanpa perlu banyak usaha.

Dalam liputannya di Vietnam, Tony, sapaan akrab Anthony Bourdain, terlihat begitu rileks, tanpa beban, dan terasa sekali kalau hatinya tumbuh di sana. Ia begitu luwes dalam bercerita, bahkan untuk kisah-kisah yang paling sensitif sekalipun. Ia seperti warga lokal namun dengan bungkusan New Yorkers. Bourdain adalah pencerita yang andal dan kita bisa terhipnotis dibuatnya.

Adegan demi adegan yang mengambil hati saya tersebut membulatkan tekad untuk menabung dan memutuskan liburan ke negerinya Paman Hồ. Namun, tepat sehari setelah saya mendarat di kota Hồ Chí Minh, Anthony Bourdain mangkat. Ia ditemukan bunuh diri di hotelnya di Kaysersberg-Vignoble, Prancis. Hati saya seperti tersengat listrik. Kebetulan macam apa ini yang terjadi. Sebuah ketidaksengajaan yang menyakitkan.

Maka diputuskanlah tujuan perjalanan ke Vietnam kali ini diubah; dari plesir menjadi ziarah. Ziarah ke kota-kota favorit Bourdain di Vietnam, sembari berdoa supaya Ia mendapatkan ketenangan yang diimpikan di alam sana.

Waktu kosong yang saya manfaatkan untuk berangkat ke Vietnam, bertepatan dengan bulan suci Ramadan 1439 Hijriyah. Mayoritas agama yang dianut di Vietnam adalah Buddha (80 persen). Sedangkan Islam, Hindu dan Cao Dai hanya dipeluk oleh 2 persen masyarakatnya. Berpuasa di negara yang warga muslimnya menjadi minoritas, tentu menjadi tantangan tersendiri. Sebuah ujian bagi saya yang imannya setipis tisu.

Hari pertama di Saigon, saya memilih hotel di wilayah District 1 untuk menginap, karena harganya yang terjangkau dan lokasinya strategis. Ongkosnya hanya Rp300 ribu semalam. District 1 dikenal sebagai distrik tersibuk di Vietnam. Distrik yang tak pernah tidur, karena tempat hiburan malam pun banyak ditemukan di sana. Penjaja makanan kaki lima berjajar berdampingan menjual masakan andalannya hingga tengah malam, dengan interior yang khas: bangku dan meja plastik pendek.

Lorong-lorong gang menuju penginapan dijejali oleh hostel murah dan warung makan. Aroma kecap ikan tumpang tindih dengan asap knalpot motor yang berseliweran. Selain itu, wangi rempah, asap pembakaran daging, dan kaldu dari berbagai macam sup, kawin di udara. Bebauan yang magis. Bebauan yang membuat Bourdain jatuh cinta pada Vietnam. Saya pun tidak kuasa untuk tidak meninggalkan hati di sana.

Makanan pertama saya coba di Saigon adalah Bánh Mì, produk sukses akulturasi antara budaya Vietnam dan Perancis. Kolonialisme Perancis yang bercokol di Vietnam selama 1 abad lebih, mau tidak mau mempengaruhi budaya kuliner di sana. Baguette, roti yang memiliki spesifikasi khusus, berat minimal 80 gram dan panjang maksimal 40 centimeter, ini dibawa oleh kolonial Perancis di antara akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.

Awalnya masyarakat Vietnam menolak kehadirannya, karena dianggap sebagai simbol penjajahan. Namun, lambat laun toko roti Perancis mulai menjamur dan baguette menjadi populer di kalangan kelas pekerja karena harganya yang terjangkau dan mudah didapat.

Untuk perbekalan sahur, saya memesan Bánh Mì di dekat penginapan. Sang ibu penjual dengan luwes membagi dua lonjoran baguette dengan eksterior krispi dan interior lembut, lalu mengolesinya dengan pâté. Potongan ayam panggang bermarinasi saus Maggi–sumber MSG andalan warga Vietnam, cabai dan sereh, berjejalan dengan acar wortel dan lobak yang segar. Ia tidak lupa untuk memasukkan irisan timun dan sejumput daun ketumbar.

Bayangkan saja, kita akan mendapatkan rasa gurih, manis, kecut, pedas, dan segar dalam sekali gigit. Teksturnya pun saling melengkapi satu sama lain: baguette menyumbang sensasi renyah, dan ayam panggang yang juicy nan empuk, saling berinteraksi dengan sayuran segar di mulut. Buat saya, Bánh Mì adalah rajanya roti lapis.

Infografik Miroso Petualangan Lidah di Vietnam

Infografik Miroso Petualangan Lidah di Vietnam. tirto.id/Tino

Sejak berangkat dari Indonesia, tentu saja saya sudah mengincar Phở Bò, sajian mie beras berkuah kaldu sapi yang bening tapi kaya rasa. Pertama kali mencobanya saat berbuka puasa, membuat perut saya nyaman dan bahagia sekali. Perut yang sudah kosong sejak subuh, seperti diberkati oleh makanan dari nirwana.

Rempah utama yang terdiri dari kayu manis, pekak, kapulaga, cengkeh, dan ketumbar, berpadu sempurna dengan rebusan tulang sapi dan brisket yang dijerang belasan jam. Kuahnya dibumbui oleh unsur krusial dalam jagat masakan Vietnam: kecap ikan.

Di piring lain (dengan ukuran yang lebih besar daripada mangkuk Phở), setumpuk sayuran segar disajikan. Daun ketumbar, lá tía tô atau perilla Vietnam, basil, culantro, dan tauge, siap untuk ditabur di mangkuk, berdampingan dengan potongan daging yang besar. Sebagai orang Sunda, saya merasa di rumah. Lalapan yang berlimpah membuat saya tidak merasa homesick sama sekali.

Setelah menyatukan herba ke dalam mangkuk, saya menambahkan beberapa potongan acar cabai untuk tendangan pedas di mulut, juga kucuran jeruk nipis sebagai pamungkas, dan boom! Ada ledakan rasa di langit-langit lidah. Rasa yang belum pernah saya alami sebelumnya. Mie beras yang kenyal, disodok oleh kuah daging rempah bercabai, lalu disapu bersih oleh kunyahan dedaunan aromatik bercampur kesegaran jeruk nipis di ujungnya. Phở Bò adalah salah satu makanan terbaik sepanjang hidup.

Setelah beberapa hari di Saigon, saya bergeser ke kota Huế, yang terletak di tengah-tengah Vietnam. Di sana, saya mencoba berbagai jenis masakan lain yang sudah ada dalam daftar. Satupun tidak ada yang mengecewakan, terutama masakan-masakan di warteg khas Vietnam.

Semuanya memberi kesan yang baik di lidah, perasaan dan ingatan. Setelah dari Huế, perjalanan diakhiri di Hanoi dan ditutup oleh segelas es kopi Vietnam (cà phê đá) yang cukup nampol dan membangunkan sel-sel tubuh. Berpuasa di negara minoritas muslim, tidak buruk-buruk amat.

Vietnam adalah perwujudan yin dan yang yang sempurna. Jalanannya menjadi wakil wajah neraka di dunia. Pemotor menjalankan motornya dengan ugal-ugalan, slebor, dan kebanyakan hanya memakai helm proyek yang tipis dan tanpa kaca.

Di sisi lain, makanannya adalah presentasi surga. Segar, lezat, harum, dan harganya tidak mencekik dompet. Anthony Bourdain pun bersabda: "Vietnam. It grabs you and doesn't let you go. Once you love it, you love it forever.”

Saya mengamininya. Jika ada pertanyaan negara mana yang ingin dikunjungi kembali, lagi dan lagi, Vietnam ada di urutan teratas. Vietnam, mengalami denyut hidupnya langsung di sana, adalah sebuah kekisruhan yang indah.

Baca juga artikel terkait VIETNAM atau tulisan lainnya dari Ismi Rinjani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Ismi Rinjani
Editor: Nuran Wibisono