tirto.id - Siapa bilang hanya komen negatif yang akan berpengaruh buruk pada anak? Ternyata, terus menerus memuji, terutama memuji fisik anak, akan memiliki dampak yang tidak kalah buruk.
Citra tubuh—atau singkatnya cara seseorang memandang dan menghargai tubuhnya sendiri, memang tidak bisa dianggap perkara sepele.
Citra tubuh merupakan salah satu faktor kunci yang berpengaruh signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental seseorang.
Bila citra tubuh positif bisa memuluskan proses penerimaan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka sebaliknya, citra tubuh negatif bisa menjerumuskan seseorang pada beragam masalah psikologis.
Mulai dari gangguan makan, gangguan dismorfik tubuh (body dysmorphic disorder), lemahnya rasa percaya diri, sampai kecenderungan untuk menderita depresi.
Tidak sebatas pada orang dewasa, masalah psikologis terkait citra tubuh negatif juga ditemukan pada anak-anak.
Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh standar kecantikan tidak realistis yang berlaku di masyarakat dan disebarluaskan di media sosial, yang menganggap bahwa seseorang harus memenuhi syarat fisik tertentu agar layak dibilang cantik atau ganteng.
Tahu kan, betapa inginnya masyarakat kini ingin selalu eksis dengan mengunggah foto diri di media sosial? Boleh cek, isi ponsel di banyak orang yang berisi foto-foto yang mangkrak di galeri. Pasti ribuan!
Sebenarnya anak mungkin tidak terlalu peduli dengan penampilan sampai batas usia tertentu. Masalahnya, orang tuanya justru menjadi pencetus ide ini. Sejak kecil, anak dibuat seolah manekin yang perlu didandani untuk mencapai standar kecantikan yang mereka inginkan.
Hal ini terjadi seiring dengan kebiasaan pujian cantik dan ganteng yang diberikan orang tua atas penampilan fisik anak.
Batasan wajar yang dimaksud adalah pujian disampaikan pada momen yang tepat, misalnya ketika anggota keluarga sedang mengikuti acara khusus sehingga anak berpakaian atau berdandan istimewa.
“Adanya momen tersebut yang akan memberi batasan pada anak bahwa dia bukanlah orang yang paling cantik atau ganteng di segala situasi. Anak akan paham bahwa panggilan tersebut merupakan bentuk apresiasi orang tua pada dirinya, dan bukan suatu hal yang serta merta diterima oleh anak kapan saja,” jelas Dian.
Pasalnya, kata pujian cantik atau ganteng yang sering didengar anak terinternalisasi dalam diri anak dan menjelma menjadi sesuatu yang ia yakini kebenarannya. Kata pujian tadi akan berkembang menjadi bentuk penilaian subyektif anak atas dirinya sendiri.
Bukan itu saja, pengulangan sebutan cantik ataupun ganteng, menurut Renee Engeln, Ph.D. — psikolog dari Northwestern University, Illinois dan penulis buku Beauty Sick: How the Cultural Obsession with Appearance Hurts Girls and Women, juga menyiratkan bahwa penampilan fisik merupakan suatu hal yang penting nilainya bagi orang tua.
Renee menjabarkan, bahwa mekanisme pujian ini sama seperti ketika mengulang-ulang nasihat tentang pentingnya memiliki empati, rasa berbagi, dan kebaikan hati pada anaknya. Makin sering diulang, makin besar pula kemungkinan nasihat tersebut diresapi oleh anak.
Hasilnya, anak akan menganggap bahwa empati, berbagi, dan kebaikan hati merupakan nilai-nilai yang penting bagi orang tuanya, sehingga dia termotivasi untuk menyertakan hal tersebut dalam keseharian.
Hal inilah yang membuat Renee menarik kesimpulan bahwa terlalu sering memberikan pujian yang berfokus pada penampilan fisik semata akan mendatangkan lebih banyak kerugian — alih-alih keuntungan pada anak, terutama anak perempuan.
Hati-hati, Pujian Bisa Berujung Ancaman
Masalah lebih lanjut bisa muncul apabila anak mulai terpapar standar kecantikan ideal yang berlaku di masyarakat, baik melalui pergaulan sehari-hari, media massa, maupun media sosial.
Besar kemungkinan, anak akan mulai membandingkan karakteristik fisik yang dimilikinya dengan standar kecantikan yang dijadikan referensi.
Bila ternyata dia menemukan banyak perbedaan, maka konsekuensi yang mungkin terjadi adalah anak akan mempertanyakan atau bahkan meragukan kebenaran dari pujian yang disampaikan orang tua.
Tak menutup kemungkinan pula, anak akan merasa gagal lantaran tidak bisa memenuhi standar kecantikan yang menjadi acuan dan ujung-ujungnya malah jadi mengembangkan citra tubuh negatif.
Karena berbagai hal itulah, pujian yang awalnya dimaksudkan untuk menggenjot rasa percaya diri anak bisa-bisa malah berbalik menjadi "senjata makan tuan’" apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak pada tempatnya.
Bukan hanya kata-kata pujian yang meleset dari sasaran, orang tua juga perlu tahu bahwa sikap, gestur, serta perilaku orang tua yang terkadang dilakukan tanpa disadari, juga bisa menghadirkan dampak yang tidak diharapkan pada diri anak.
Misalnya ketika orang tua memuji-muji kecantikan bintang film saat menonton televisi, melontarkan komentar pedas tentang penampilan seorang teman, atau mengeluh panjang lebar saat mendapati berat badan naik drastis. Jika anak kebetulan mendengar dan menyaksikannya.
Bantu Anak Membangun Citra Tubuh Positif
Tapi orang tua tidak perlu khawatir. Karena orang tua bisa dan berperan besar untuk membangun citra tubuh positif anak.
Caranya? Menurut Dian, orang tua bisa mengajak si Kecil mengenali anggota tubuhnya, mulai dari panca indera hingga bagian tubuh lainnya dari ujung kepala hingga kaki, dengan bahasa sesuai usia anak.
Saat mengenalkan anggota tubuh, jelaskan pula fungsi-fungsinya pada anak, sehingga dia tahu bahwa setiap anggota tubuh miliknya itu istimewa. Dengan mengenal dan mengetahui segenap fungsi anggota tubuh, anak akan belajar untuk mensyukuri apa yang dia miliki.
Rasa syukur ini yang akan menjadi landasan utama bagi anak untuk memaknai penampilan fisiknya serta membangun persepsi atas apa yang dimilikinya.
Hargai usaha anak saat dia melakukan sesuatu. Dengan begitu, anak akan dapat melihat kualitas lain dari dirinya yang dapat dibanggakan dan menimbulkan kepuasan.
Terakhir, ketika hendak memberikan apresiasi pada anak, orang tua perlu berlatih untuk mengarahkan pujian pada hal-hal yang berada dalam wilayah kendali anak.
Karena seperti yang kita tahu, fisik bukanlah hal yang bisa kita kendalikan. Lagi pula, kembali lagi, kecantikan standar siapa sebenarnya yang kita kejar?
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi