Menuju konten utama

Dampak Kolonialisme di Indonesia dalam Bidang Budaya dan Pendidikan

Apa saja dampak kolonialisme dalam bidang budaya dan pendidikan?

Dampak Kolonialisme di Indonesia dalam Bidang Budaya dan Pendidikan
Ilustrasi Kolonialisme Portugis. wikimedia commons/public domain

tirto.id - Pada abad ke-15, negara-negara Eropa mulai mencari wilayah baru untuk melakukan ekspansi perdagangan setelah wilayah perdagangan internasional di kawasan Konstantinopel dikuasai oleh imperium Turki Utsmani.

Turki Utsmani menerapkan peraturan yang ketat pada wilayah kekuasaan mereka, sehingga pedagang dari daratan Eropa pada akhirnya melakukan penjelajahan samudera ke wilayah Timur dunia.

Awalnya Portugis dengan semboyan 3G (Gold, Glory dan Gospel) memprakarsai pencarian wilayah baru tersebut. Lalu disusul oleh negara Eropa seperti Spanyol, Belanda dan Inggris yang turut merambah daerah Timur.

Nusantara (Indonesia) menjadi salah satu wilayah yang merasakan kehadiran para pendatang baru tersebut. Tahun 1510, tanah Maluku menjadi lokasi pendaratan Portugis dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque.

Kemudian Spanyol masuk ke wilayah Maluku juga pada tahun 1521 dan mulai mencari kekayaan alam yang ada di sana.

Tanah Jawa mulai kedatangan bangsa Belanda di daerah Banten tahun 1596, kemudian disusul oleh Inggris yang masuk pada tahun 1811.

Kehadiran berbagai bangsa asing tersebut sudah tentu memberi banyak pengaruh atau dampak bagi kehidupan rakyat nusantara, termasuk untuk bidang budaya dan pendidikan. Ada sisi baik, namun banyak pula sisi buruk yang dirasakan oleh warga pribumi.

Berikut ini dampak kolonialisme dalam bidang budaya dan pendidikan yang dirasakan oleh masyarakat nusantara kala itu, merujuk modul ajar kemdikbud.go.idSejarah Indonesia kelas XI:

Bidang Budaya

Kolonialisme memberi banyak pengaruh budaya pada rakyat di nusantara. Bangsa Barat yang datang ke wilayah jajahan ini, menganggap kaum pribumi sebagai masyarakat kelas III yang derajatnya lebih rendah dibanding kaum Timur Asing yang disebut masyarakat kelas II, sedangkan Bangsa Barat sebagai masyarakat kelas I.

Akibatnya, pribumi merasa lebih rendah dan cenderung mengagungkan Barat dan budayanya serta orang asing yang datang ke tanah mereka.

Selain itu, pemerintah kolonial juga memberantas budaya feodal dengan tidak memberi keistimewaan kepada para bangsawan dan raja-raja di nusantara.

Penguasa pribumi perlahan ditempatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, menghilangkan status kebangsawanan mereka, serta hak-hak istimewa yang dimiliki oleh mereka diabaikan. Padahal sebelumnya masyarakat sangat meenghormati kaum bangsawannya.

Sebaliknya, masyarakat dituntut untuk mengakui dominasi penjajah, menghormati, taat dan bahkan memberikan semua kekayaan tanahnya untuk penjajah.

Budaya Barat seperti dansa-dansi, pergaulan bebas pria wanita, pesta dan mabuk-mabukan juga kerap dilakukan sehingga menggeser nilai budaya nusantara dan budaya keraton atau kerajaan yang ada saat itu.

Perubahan budaya lain yang terjadi di nusantara adalah masuknya agama Kristen di tanah air yang sebelumnya banyak pemeluk agama Islam, Hindu, Budha, dll.

Era masa pemerintahan Raffles menandai munculnya perkembangan ilmu pengetahuan di nusantara, khususnya Jawa. Ia menulis buku History of Java yang berisi berbagai aspek sosial dan budaya yang terjadi saat itu.

Ada pula menteri pemerintahan Batavia bernama Crawfurd yang menulis buku History of the East Indian Archipelago dalam 3 jilid. Buku tersebut banyak membahas masalah kemanusiaan yang terjadi di tanah jajahan ini.

Lalu pada akhir abad XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda melihat buruknya kondisi di Hindia Belanda (nusantara) sehingga melontarkan kritikannya pada pemerintah kolonial. Menurut Van Kol, selama 1 abad lebih Belanda telah merebut hasil bumi dan keuntungan lain dari tanah jajahannya ini, namun tidak mengembalikan satu persen pun untuk mensejahterakan masyarakat.

Van Deventer pada tahun 1899 menulis buku berjudul “Hutang Kehormatan” yang berisi anjuran untuk menerapkan politik balas budi (politik etis) kepada Hindia Belanda. Menurutnya, sudah waktunya Belanda membalas budi pada rakyat di bidang pendidikan, irigasi, serta imigrasi/transmigrasi.

Bidang Pendidikan

Seiring berlakunya politik etis pada awal abad 20, masa pemerintahan kolonial di nusantara memasuki babak baru. Irigasi, pendidikan dan transmigrasi mulai berlangsung di bawah pimpinan Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916).

Pada masa tersebut, perlahan terjadi perubahan di nusantara. Pembangunan jalan mulai dilakukan, demikian pula jalur kereta api Jawa dan Madura. Namun rakyat kecil masih harus menerima banyak ketidakadilan dengan menjadi pekerja namun tanpa bayaran atau hanya sedikit sekali upahnya.

Batavia (Jakarta) paling banyak menikmati kemajuan tersebut, diantaranya dengan kehadiran trem listrik. Irigasi yang mulai dibangun juga membuat kondisi pertanian meningkat.

Pendidikan pun mulai diperkenalkan melalui berdirinya sekolah-sekolah, dengan persyaratan tertentu bagi pribumi yang ingin belajar. Hanya bangsawan dan pejabat pribumi saja yang menikmati pendidikan.

Ini juga yang memulai RA Kartini membuat sekolah khusus wanita, karena rasa prihatin pada diskriminasi pendidikan. Surat suratnya pada Ny. R.M. Abendanon di Belanda menjelaskan hal tersebut.

Tahun 1900 tercatat ada 169 Eurepese Lagree School (ELS) di seluruh Hindia Belanda. Selanjutnya dapat meneruskan jenjang lebih tinggi ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School (HBS).

Terdapat pula sekolah OSVIA (sekolah calon pegawai) yang berjumlah enam buah. Ditambah sekolah guru atau Kweekkschool yang sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo.

Jenjang pendidikan pun mulai dibentuk dengan didirikannya pendidikan dasar seperti Hollands Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Dilanjut dengan sekolah menengah disebut Algemene Middelbare School (AMS), lalu sekolah Hogere Burger School (HBS).

Khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah Kelas Satu” yang murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan “Sekolah Kelas Dua” yang di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro”.

Baca juga artikel terkait KOLONIAL atau tulisan lainnya dari Cicik Novita

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Cicik Novita
Penulis: Cicik Novita
Editor: Dipna Videlia Putsanra