Menuju konten utama

Dalih KPU Larang Eks Koruptor di Pilkada: Belajar dari Kasus Kudus

Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik mengatakan larangan mantan napi korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020 karena belajar dari kasus Kudus dan Tulungangung.

Dalih KPU Larang Eks Koruptor di Pilkada: Belajar dari Kasus Kudus
Ketua KPU Arief Budiman (kanan) dan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (tengah) dan Ilham Saputra (kiri) mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

tirto.id - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Ginting Manik buka suara terkait pelarangan mantan napi korupsi mencalonkan diri di pemilihan kepala daerah serentak 2020. Ia mengatakan hal ini belajar dari kasus Kudus, Jawa Tengah dan Tulungangung, Jawa Timur.

Menurut Evi, kasus yang terjadi di Kudus adalah mantan napi korupsi mencalonkan diri dan kemudian terpilih. Namun, setelah dilantik ia justru melakukan tindakan serupa: menerima suap.

Kasus yang dimaksud Evi adalah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Muhammad Tamzil (Bupati Kudus) pada 26 Juli 2019. Tamzil sebelumnya pernah menjejakkan kaki di lubang yang sama, saat Tamzil sebagai Bupati Kudus 2003-2008.

Saat itu, Tamzil melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004-2005. Namun, perkara itu baru ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Kudus pada 2014.

Hakim Pengadilan Negeri Kudus menjatuhkan vonis pidana satu tahun dan sepuluh bulan penjara atau 22 bulan pada Februari 2015. Tamzil juga dikenai denda Rp 100 juta atau setara dengan tiga bulan kurungan.

“Kasus Kudus orang yang sudah mantan napi koruptor kemudian terpilih dan tertangkap lagi, apalagi yang di Tulungagung itu masih dalam penjara dan terpilih menang, dan kemudian bukan dia yang menjalankan tugas," kata Evi, di Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (25/11/2019).

Menurut Evi, tanpa larangan yang mengatur, nantinya para pelaku korupsi dan kasus amoral lainnya bisa saja terpilih seperti yang di Tulungagung dan Kudus.

Oleh karena itu, kata dia, KPU mencoba memberikan pilihan-pilihan kepada pemilih, yaitu calon yang bebas dari rekam jejak buruk, dengan cara membatasi persyaratan calon.

“Kami mencoba memberikan pilihan yang baik, bukan mereka yang melakukan pelecehan seksual anak, kemudian juga bandar narkoba dan mantan koruptor," kata dia.

Harapannya, kata dia, sosok atas larangan tersebut yang terpilih nanti merupakan pemimpin baik, bermoral dan tidak berperilaku korup, karena di tangan mereka lah kunci pelayanan publik.

Namun, ide tersebut ditolak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Ia justru tidak mempermasalahkan keterlibatan mantan terpidana korupsi untuk mengikuti pemilihan kepala daerah langsung 2020.

Tito mengklaim jika negara melarang orang-orang bermasalah itu untuk turut serta dalam Pilkada, maka negara berjalan ke arah teori pemidanaan kuno.

Ia bersikeras saat ini Indonesia sudah mulai beralih ke konsep restorative justice, yakni beralih dari pemidanaan dengan teori pembalasan menjadi teori rehabilitasi.

“Kalau dia terkoreksi apakah dia tidak diberikan kesempatan kembali memperbaiki dirinya untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat, silakan masyarakat menilai," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Peneliti dari Pusat Kajian Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengkritik pernyataan Tito tersebut. Zaenur mendukung usulan KPU agar mantan napi korupsi tak diperbolehkan mencalonkan diri di Pilkada 2020.

“Bagaimana bisa jabatan tertinggi dalam suatu daerah diduduki oleh seseorang yang telah menciderai kepercayaan dan merugikan negara," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/11/2019).

Menurut dia, "Korupsi itu merupakan kejahatan politik, sebab itu salah satu bentuk pemidanaannya mencabut hak politik. Itu membuktikan memang hak untuk dipilih bisa dibatasi. Namun, saat ini tetap dengan keputusan pengadilan. Sangat tidak tepat disertakan dalam kontestasi merebutkan jabatan politik lagi," kata dia.

Meskipun, kata dia, dalam konteks hukum positif tidak bisa juga dibenarkan melarang mantan narapidana korupsi ikut serta dalam pencalonan kepala daerah. Sebab hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.

“Saya paham. Tapi dalam konteks filosofis, tujuan untuk tidak memberi kesempatan eks napi tipikor untuk maju kembali sangat kuat, karena itu merupakan kejahatan politik dan pengkhianatan kepercayaan publik," ujar dia.

Ia menambahkan, "Sehingga tidak selayaknya orang yang baru saja menyelesaikan pidana karena mengkhianati kepercayaan tersebut diberikan kesempatan untuk memegang kepercayaan lagi."

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zakki Amali