tirto.id - Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah Redjalam mengatakan ada anomali dalam sistem keuangan negara yang membuat rupiah sensitif terhadap gejolak ketidakpastian ekonomi global dan semakin tertekan terhadap dolar AS.
Posisi nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Kamis (18/10/2018), sebesar Rp 15.187. Sementara pada 1 Agustus 2018, posisi rupiah terhadap dolar AS masih Rp 14.442.
"Bisa dibilang ini salah sistem. Kita mengalami anomali sistem keuangan, anomali ini cikal bakalnya ada di kebijakan moneter, bukan fiskal. Pemerintah enggak bisa berbuat apa-apa karena sektor sistem keuangan itu ada di domainnya bank sentral, Bank Indonesia," ujar Pieter kepada Tirto pada Kamis (18/10/2018).
Untuk mengamankan rupiah dari sentimen gejolak ekonomi global, menurutnya, sistem investasi langsung asing (foreign direct invesment/FDI) yang perlu dioptimalkan. Bukan sistem investasi dalam bentuk portfolio.
"Kalau masuknya dalam bentuk portfolio, seperti saham, obligasi, ketika terjadi gejolak global, investor asing akan dengan mudah jual surat berharganya untuk mengalihkan ke dolar. Itu yang menyebabkan permintaan terhadap dolar atau valas (valuta asing) meningkat sehingga rupiah terperuk," ujarnya.
Berbeda dengan investasi dalam bentuk FDI yang masuk melalui Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA), seperti investasi untuk pembangunan pabrik, atau infrastruktur, dan sebagainya.
"Kalau FDI atau PMA ini relatif aman, enggak akan hantam rupiah, karena investasinya tidak bisa serta merta dialihkan ketika ekonomi global bergejolak, karena bangun pabrik kan pabriknya enggak bisa dipindahkan," ujarnya.
Namun, menurutnya, investor asing akan lebih tertarik berinvestasi di portfolio. "Hal itu karena adanya sistem insentif, iming-iming investasi yang ditawarkan di Indonesia berupa suku bunga acuan yang tinggi, yang membuat investasi portfolio lebih menarik," ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia mengadopsi sistem suku bunga tinggi, yang justru hanya menarik para pemburu rente. "Para pemegang saham [investor] yang mencari keuntungan dari suku bunga, yield [imbal hasil]. Karena sistem kita menawarkan suku bunga tinggi, akhirnya yang datang [investor] untuk portfolio, bukan FDI," ungkapnya.
Pada 2016, di awal pemerintahan Jokowi-JK, ia mengatakan Jokowi pernah mencanangkan suku bunga turun sampai 1 digit dan diberi batas waktu sampai 1 Januari 2017 untuk pelaksanaannya. "Kenyataannya sampai akhir 2017, walaupun suku bunga acuan BI sudah turun sampai 4,25 persen, tapi suku bunga kredit masih di atas 2 digit, di atas 10 persen. Masih sangat tinggi," ujarnya.
Suku bunga kredit yang masih tinggi tersebut kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan, untuk menarik FDI tidak terlepas dari faktor pertumbuhan ekonomi.
"FDI itu lebih dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan ekonomi kita, artinya kalau pertumbuhan ekonomi bagus, maka pasarnya [tujuan investasi] akan lebih menarik. Tapi, pertumbuhan ekonomi kita kan kalah dibandingkan Vietnam, Filipina, secara pertumbuhan riil, kalah dengan Thailand, Malaysia. Sehingga, untuk FDI kita kalah bersaing dengan negara tetangga," ujarnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri