tirto.id - Penegakan hak asasi manusia (HAM) menjadi isu utama di berbagai negara karena menyangkut hak dan serta kebebasan mendasar bagi semua orang.
Setiap orang berhak dihormati haknya dalam kehidupan sehari-hari tanpa memandang bangsa, jenis kelamin, etnis, agama, ras, dan status lainnya.
Sayangnya, kasus pelanggaran HAM masih kerap terjadi sampai saat ini. Perampasan kebebasan asasi direnggut atas berbagai kilah, seperti klaim tanah air untuk ras tertentu hingga tindakan represif aparat sewaktu terjadi unjuk rasa. Dengan kejadian ini, perlu kehadiran negara untuk melakukan penegakan HAM.
Seperti di Indonesia, negara turut hadir untuk menjunjung tinggi HAM. Indonesia memiliki aturan hukum mengenai HAM yang tertuang melalui Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999.
Di samping itu, terdapat pula aturan mengenai pengadilan HAM yang termaktub pada UU Nomor 26 Tahun 2000 sebagai landasan mengadili pelanggaran HAM.
Negara juga membentuk Komisi Nasional HAM pada 7 Juli 1993 untuk mengurusi masalah HAM di Indonesia
Pada Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 39 Tahun 1999, pelanggaran HAM didefinisikan sebagai:
"Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku."
Dalam laman Gerbang Kurikulum Kemdikbud disebutkan, bentuk pelanggaran HAM yaitu diskriminasi dan penyiksaan.
Faktor penyebab dari sisi internal yaitu sikap tidak toleran, egois, dan rendahnya kesadaran HAM. Sementara kalau ditinjau dari sisi eksternal pemicunya yaitu penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan teknologi, kesenjangan sosial ekonomi, dan ketidaktegasan aparat hukum.
Pelanggaran HAM Semanggi I dan II
Tragedi Semanggi I dan Semanggi II adalah beberapa contoh pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia.
Peristiwa tersebut terjadi pada masa awal reformasi, yang mana terjadi aksi unjuk rasa mahasiswa besar-besaran.
Laman Amnesty Indonesia menuliskan, tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998. Dalam aksi protes mahasiswa terdapat tindakan represif aparat keamanan yang membuat 17 warga sipil tewas termasuk mahasiswa. Selain itu, ditemukan pula 109 orang lainnya luka-luka.
Tragedi Semanggi I muncul di saat para wakil rakyat melaksanakan Sidang Istimewa MPR pada 11-13 November 1998.
Saat itu ada puluhan ribu mahasiswa dan masyarakat melakukan aksi protes di jalanan atas pelaksanaan sidang tersebut.
Para demonstran menyerukan penolakan atas kepemimpinan pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Di samping itu, massa juga sudah tidak percaya lagi dengan wakil rakyat di DPR/MPR Orde Baru dan menuntut pembubaran dwifungsi ABRI.
Sementara itu, pada tragedi Semanggi II, warga sipil yang tewas ditemukan berjumlah 11 orang. Jumlah korban luka mencapai 217 orang. Peristiwa Semanggi II terjadi 24 September 1999.
Kala itu para mahasiswa turun ke jalan melakukan demonstrasi. Tuntutan mereka adalah menolak pemberlakukan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB).
Pada tragedi ini, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Yap Yun Hap tewas setelah mendapatkan tembakan di pinggir trotoar, depan Rumah Sakit Jakarta di wilayah Semanggi.
Dalam pelanggaran HAM dari tragedi Semanggi I dan II, telah dilakukan pengadilan yang memberikan vonis kepada sejumlah polisi dan tentara.
Mereka diadili atas insiden penembakan. Namun, pengadilan terhadap pelaku di lapangan dinilai masih belum bisa mengungkap dalang di balik penembakan.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Yandri Daniel Damaledo