tirto.id - Belantara media sosial menyuguhkan segala informasi termasuk berita-berita lengkap dengan judul dari yang biasa-biasa saja sampai bombastis. Seringkali judul-judul berita yang tampil bisa membuat dahi mengernyit, tapi tak jarang "sukses" membawa pembaca hanyut untuk meng-klik. Fenomena ini sering disebut clickbait.
Ankesh Anand, dari Indian Institute of Technology, dalam tulisannya yang berjudul “We used Neural Networks to Detect Clickbaits: You won’t believe what happened Next!” mengatakan bahwa clickbait merupakan istilah untuk judul berita yang dibuat untuk menggoda pembaca. Biasanya menggunakan bahasa yang provokatif nan menarik perhatian.
Fenomena clickbait mencuat dalam dunia digital khususnya media online, tujuannya hanya satu untuk menarik pembaca atau warganet masuk ke sebuah situsweb dan mendulang apa yang disebut sebagai page view atau jumlah klik yang masuk.
Mark Bulik, editor senior The New York Times mengatakan secara tersirat bahwa ada perubahan strategi pembuatan judul dalam memasuki era digital. Namun, bagi The New York Times, Bulik mewanti-wanti agar judul yang muncul tidak membuat pembaca merasa tertipu saat membaca dan menuntaskan sebuah artikel. Menurut Bulik, ukuran clikcbait adalah saat pembaca merasa tertipu.
Clikcbait merupakan manipulasi. Abhijnan Chakraborty, dari Indian Institute of Technology Kharagpur, dalam papernya berjudul “Stop Clickbait: Detecting and Preventing Clickbaits in Online News Media” mengungkapkan bahwa clickbait mengeksploitasi sisi kognitif manusia yang disebut curiosity gap.
Dalam laporan Wired, George Loewenstein menjelaskan gamblang ihwal teori curiosity gap pada dekade 1990-an. Curiosity gap terjadi karena ada celah antara apa yang ketahui dan apa yang ingin diketahui, alias ada kesenjangan pengetahuan. Kesenjangan pengetahuan tersebut memiliki konsekuensi emosional.
Judul clickbait memantik konsekuensi emosional itu. Pembaca yang mengklik artikel merupakan pembaca yang ingin memuaskan sisi emosional. Yang menarik, meskipun clickbait dianggap manipulasi atau jebakan, korbannya justru sadar bahwa mereka telah tertipu. Namun, beberapa aplikasi mencoba membantu warganet untuk mendeteksi adanya informasi atau berita yang punya kecenderungan clickbait.
Mendeteksi Clickbait
“Stop Clickbait” merupakan ekstensi perambah Chrome. Ekstensi ini berguna untuk memberi notifikasi suatu judul artikel berbau clickbait atau tidak dengan keakuratan yang mencapai 93 persen. Dalam pembuatan ekstensi tersebut, ada 8.069 artikel gabungan antara judul clickbait dan tidak yang dijadikan basis data untuk menentukan apakah sebuah artikel bernuansa clickbait atau tidak.
Stanford CoreNLP, teknologi yang menganalisis bahasa manusia, dijadikan mesin ekstensi itu. Untuk menghindari basis data yang masuk kategori “false negative,” tim pembuat mempekerjakan sukarelawan yang akan menyortir apakah judul dianggap clickbait atau tidak.
Dalam penciptaan Stop Clickbait, Chakraborty dan timnya menemukan bahwa terdapat beberapa ciri suatu judul dapat dianggap clickbait atau tidak. Dari hasil riset mereka, rata-rata panjang judul artikel clickbait ialah 10 kata. Sementara non-clickbait hanya tujuh kata. Namun, meskipun panjang, jumlah karakter per kata yang digunakan artikel berjudul clickbait lebih sedikit dibandingkan yang tidak. Rata-rata jumlah karakter per kata judul artikel clickbait ialah 4,5 karakter, sementara itu non-clikbait ialah 6 karakter.
Tim tersebut juga menemukan, dalam konteks bahasa Inggris, artikel berjudul clickbait memiliki kata khusus atau kata yang umumnya berasosiasi dengan clickbait atau sebaliknya. Kata khusus yang berasosiasi dengan clickbait antara lain I, you, everyone, he, here, it, reason, something, that, dan they. Artinya judul-judul yang menekankan pada kata ganti. Sementara kata yang berasosiasi dengan bukan clickbait misalnya court, crash, fire, gov, leader, dan senate atau judul yang menekankan pada penggunaan kata kerja.
Chakraborty dan timnya mengatakan bahwa 62 persen artikel berjudul clickbait, mengandung satu dari 40 kata yang berasosisasi dengan clickbait seperti yang telah disebut di atas.
Johan Berger dari University of Pennsylvania, yang mempelajari social influencer dan penularannya pada Wired mengatakan secara tersirat bahwa judul artikel clickbait lebih memainkan kata yang berasosiasi dengan emosi pembaca.
“Kemarahan, kegelisahan, humor, kegembiraan, inspirasi, kejutan, semua ini adalah emosi yang diandalkan oleh headline berbau clickbait,” katanya.
Mengapa clickbait ada di berita-berita yang dimuat media?
Perbedaan antara media konvensional, khususnya cetak dengan digital. Salah satunya soal statistik keterbacaan artikel. Di zaman web, tiap artikel punya statistik kunjungan pembaca masing-masing. Ada cukup banyak program pelacak yang bisa digunakan, misalnya Google Analytics.
Upaya memaksimalkan jumlah keterbacaan tiap artikel jadi kondisi yang harus dihadapi media digital masa kini. Semakin banyak yang membaca sebuah artikel, semakin menggelembung page view sebuah media. Kondisi ini sering diasosiasikan dengan peluang mendapatkan pengiklan, apalagi sistem iklan yang berkembang saat ini sudah merambah pada layanan AdSense.
Laman dukungan AdSense mengatakan bahwa situsweb memperoleh pendapatan dengan menampilkan iklan yang ditawarkan AdSense. Penerbit memperoleh uang ketika pembaca meng-klik iklan atau hanya melihat/membacanya. Ini artinya, dengan sistem AdSense, page view sangat menentukan.
BBC melaporkan dalam tulisan berjudul Clickbait: The changing face of online journalism, mengutip Columbia Journalism Review ada media yang sangat memperhatikan aspek keterbacaan sebuah artikel. Misalnya media online bernama Slant. Slant menggaji penulisnya hanya $100 per bulan. Mereka memberikan insentif sebesar $5 setiap 500 klik di artikel yang mereka buat. Untuk memperoleh insentif itu, clickbait adalah caranya.
Namun, semakin berkembangnya informasi pula, pembaca atau warganet sangat mudah mengendus sebuah artikel yang hanya mengejar clickbait semata.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra