Menuju konten utama

Cina, Penguasa Baru Fashion Online

Perlahan tapi pasti, pendapatan dari industri fashion online milik situs-situs asal Cina akan mengalahkan Eropa dan Amerika, bahkan gabungan keduanya.

Cina, Penguasa Baru Fashion Online
Para model menampilkan kreasi oleh desainer Jerman Karl Lagerfeld sebagai bagian dari koleksi pakaian wanita siap pakai Musim Semi/Musim Panas 2017 untuk rumah busana Chanel dalam Fashion Week di Paris, Prancis. ANTARA FOTO/REUTERS/Charles Platiau

tirto.id - Tahun 2008, sebuah toko online asal Jerman bernama Ifansho mulai dilucurkan. Peluncuran itu diinisiasi oleh Internet Rocket—perusahaan internet asal Jerman, Robert Gentz, dan David Schneider. Mereka terinspirasi oleh peritel fashion online asal Amerika, Zappos.com.

Saat itu, belanja online tak sepopuler saat ini, apalagi di Indonesia. Orang masih tak percaya kebenaran dan ketepatan pakaian yang dibeli tanpa dilihat, dipegang, dan dicoba langsung.

Saat Ifansho pertama didirikan, ia hanya menjual alas kaki. Tetapi seiring waktu ia pun menjual produk fashion dan olahraga lainnnya. Ia pun lalu berubah nama menjadi Zalando. Setahun kemudian, Zalando mulai merentangkan sayapnya, beroperasi di luar Jerman dengan menawarkan pengiriman ke Austria.

Tahun 2010, peritel fashion online asal Jerman itu sudah masuk ke Belanda dan Perancis. Setahun berselang, ia masuk ke ke Inggris, Italia, dan Swiss. Setahun berselang lagi, ia meluncurkan situs di Swedia, Denmark, Finlandia, Norwegia, Bergia, Spanyol, dan Polandia. Sebuah ekspansi yang sangat cepat.

Dua tahun lalu, Zalando melantai di Bursa Efek Frankfurt. Menurut Statita Fashion Outlook, sampai tahun lalu, Zalando memiliki 17,9 juta pelanggan aktif. Di tahun itu, pendapatannya mencapai 2,95 miliar euro atau sekitar Rp42.99 triliun. Statista menyebut Zalando sebagai pemain utama dalam industri fashion online. Dan Eropa memang erap dijadikan kiblat bagi dunia fashion itu sendiri.

Di tahun yang sama, saat Zalando berdiri di Jerman, Jack Ma—CEO Alibaba, mendirika Taobao Mall atau Tmall di Cina. Ia berada dalam satu grup dengan Alibaba yang juga raksasa peritel online di negeri itu. Namun, Tmall berbahasa Cina. Kini, Tmall tak hanya menjual produk-produk industri fashion, tetapi juga gawai dan perangkat elektronik.

Riset terbaru Statista menyebutkan peritel fashion online asal Cina seperti Tmall, JD, dan VIP.com akan mengalahkan pendapatan yang dihasilkan situs asal Eropa dan Amerika. Jadi, lima tahun mendatang, pendapatan peritel fashion online asal Cina akan melampaui apa yang berhasil diperoleh oleh Eropa dan Amerika Serikat setelah digabungkan.

Tahun ini, omzet peritel fashion online Eropa diprediksi menyentuh angka $86,8 miliar. Sementara Amerika diperkirakan akan mengantongi $63,3 miliar. Tetapi Cina akan meraup $125,8. Jika diurutkan, Cina memang sudah memimpin. Tetapi ia belum bisa mengalahkan pendapatan di Eropa dan AS jika digabungkan.

Tahun depan, prediksinya pun masih begitu. Secara angka, Cina akan lebih besar dibandingkan Eropa dan AS, tetapi ia belum mampu mengalahkan gabungan keduanya.

Tetapi coba lihat prediksi di tahun 2018. Di tahun itu, pendapatan di Cina sudah berhasil mengungguli pendapatan Eropa dan AS meskipun keduanya digabungkan. Eropa diprediksi memperoleh pendapatan $107,7 miliar, AS di angka $76,8 miliar, yang jika digabungkan keduanya beraup $184,5 miliar. Sementara Cina, akan mampu menghasilkan $193,9 miliar. Selisihnya tak begitu jauh.

Tahun-tahun berikutnya, Statista memprediksi selisih yang semakin jauh. Tahun 2021 misalnya, peritel fashion online Eropa mampu meraup $140,5. Amerika serikat tumbuh sangat tipis, yakni hanya $96,4 miliar. Sementara Cina diprediksi semakin melonjak di angka $285,3 miliar.

Pertumbuhan penjualan produk fashion online di Cina ini dikarenakan penetrasi internet di Cina yang masih 51,3 persen dan diperkirakan akan terus tumbuh. Sementara penetrasi internet di Amerikan dan Eropa sudah sangat tinggi.

“Pertumbuhan penjualan produk fashion online di Cina diperkirakan akan tumbuh tiga kali lipat pada 2021. Ini dikarenakan pertumbuhan penetrasi dan pertumbuhan daya beli masyarakat di perkotaan,” tulis Analis Statista Tobias Bohnhoff, September lalu.

Hal ini membuat pertumbuhan penjualan rata-rata pertahun di tiap kawasan berbeda. Di Amerika Serikat pertumbuhan rata-ratanya hanya 8,8 persen. Ia menjadi yang paling rendah di antara tiga kawasan ini. Eropa memiliki pertumbuhan rata-rata pertahun 10,1 persen. Sementara Cina mencapai 17,8 persen.

Kekalahan Amerika dan Eropa ini adalah persoalan jumlah penduduk dan penetrasi internet. Dari segi mode, kiblat fashion tentu belum bergeser dari Eropa ke Cina.

Baca juga artikel terkait FASHION CINA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti