Menuju konten utama

Cina Juara Dunia Infrastruktur Energi Alternatif

Kini Cina membangun infrastruktur sumber energi alternatif secara besar-besaran. Negara ini akan memimpin dunia dalam hal infrastruktur energi bersih.

Cina Juara Dunia Infrastruktur Energi Alternatif
Panel surya di kota Dunhuang, China. REUTERS

tirto.id - Penggunaan sumber-sumber energi alternatif digalakkan. Listrik yang selama ini dipakai untuk menunjang aktivitas sehari-hari mulai banyak diperoleh lewat pemanfaatan tenaga angin, panas matahari, panas bumi, hingga pengolahan dari limbah hijau.

Tidak terkecuali di Cina. Di tengah pengembangan energi terbarukan mereka terus kerjakan, pada Kamis (5/1) lalu Reuters melaporkan bahwa pemerintah Cina memasok dana fantastis sebesar $361 miliar untuk membangun infrastruktur energi terbarukan dengan target selesai pada 2020 mendatang.

Catatan Cina dalam kiprah produksi listrik dari energi terbarukan memang mentereng. Xinhua melaporkan, pada 2015 Cina menjadi penghasil listrik fotovoltaik terbesar di dunia dengan menorehkan kapasitas listrik 43 gigawatt. Fotovoltaik sendiri adalah pengaplikasian panel surya untuk mengubah sinar matahari menjadi energi listrik.

Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi di Cina memberi rincian terkait estimasi alokasi pendanaan infrastruktur energi terbarukan miliaran dollar tersebut. Sektor tenaga surya akan menerima gelontoran dana sebesar 1 miliar yuan, 700 miliar yuan untuk keperluan tenaga angin, 500 miliar yuan untuk pembangkit listrik tenaga air. Sisanya untuk pembangkit listrik dari pasang surut air laut dan panas bumi.

Pihak Administrasi Energi Nasional memaparkan dalam dokumen cetak biru, investasi ini akan menciptakan lebih dari 13 juta pekerjaan dalam rentang tahun 2016 hingga terpenuhinya target pada tahun 2020.

Cina memang sedang serius menggarap energi terbarukan untuk memasok kebutuhan listrik rakyatnya. Energi terbarukan yang juga disebut energi hijau diklaim lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah Cina yang menginginkan pembatasan energi berbahan fosil, juga tren pasar energi dunia yang terus bergeser mengurangi bahan bakar fosil.

Terkait energi fosil, negara tersebut tengah diterpa masalah polusi udara yang akut. Salah satunya adalah keberadaan pembangkit listrik tenaga batubara yang masuk dalam kategori energi fosil dan tidak ramah lingkungan karena menyisakan limbah pembakaran.

Bahkan menurut peneliti asal Cina Qiao Ma kepada The Guardian, polusi akibat pabrik-pabrik dan pembangkit listrik tenaga batubara telah merenggut setidaknya 366.000 populasi Cina pada 2013 silam.

Jenis energi terbarukan dengan pemanfaatan terik matahari memang menghasilkan produksi listrik terbanyak dibanding jenis energi terbarukan lainnya. Wajar bila pencapaian produksi listrik 43 megawatt tahun 2015 setara dengan 22,5 persen dari total energi listrik fotovoltaik seluruh dunia.

Fortune menyebut, panel-panel surya di Cina mayoritas dipasang di hamparan tanah daerah terpencil yang disusun menjadi seperti sebuah peternakan penangkap sinar matahari. Administrasi Energi Nasional Cina pernah mengatakan, dari total 28,05 gigawatt listrik yang dihasilkan pada akhir 2014 lalu, sebanyak 23,38 gigawatt berasal dari instalasi panel surya di hamparan tanah.

Pantauan satelit NASA juga menunjukkan gambar deretan panel surya yang luas di daerah Dunhuang, barat laut Provinsi Gansu. Luas deretan panel surya juga dilaporkan terus meningkat sejak tahun 2012 lalu dan tentu berdampak pada peningkatan produksi listrik fotovoltaik.

Tidak hanya sukses pada produksi listrik fotovoltaik, Cina juga mampu menghasilkan pasokan listrik dari tenaga angin terbesar di dunia. Data Global Wind Statistic pada 2015 menyebutkan, Cina memimpin sebagai penghasil listrik tenaga angin terbesar di dunia dengan kapasitas 145.104 megawatt, disusul Amerika dengan 74.471 megawatt, Jerman dengan 44.947 megawatt, India dengan 25.088 megawatt, dan Spanyol dengan 23.025 megawatt. Praktis kapasitas produksi besar yang dimiliki Cina ini menyumbang 33,6 persen dari total produksi listrik tenaga angin di seluruh dunia.

Faktor daratan luas yang dimiliki negara ini juga memungkinkan maksimalisasi tenaga angin, baik instalasi turbin angin di daerah pantai maupun daratan. Produsen turbin angin terbesarnya dipegang oleh perusahaan Goldwind dari Provinsi Xinjiang dan diikuti oleh Guodian United Power Technology Company.

Saat ini proyek dari perluasan ladang turbin angin di wilayah provinsi Gansu barat terus dilakukan. Ini juga masuk ke dalam proyeksi energi terbarukan 2020 yang ditargetkan menyentuh angka produksi 20.000 megawatt. Ketika terealisasi, ia praktis akan menjadi ladang pertanian tenaga angin terbesar di dunia.

Selain alternatif di atas, Cina juga mengembangkan bioenergi yang memanfaatkan beberapa jenis hasil limbah dan juga panas bumi.

Laporan energi terbarukan di Cina untuk tahun 2016 belum dirilis, namun tampaknya tidak akan jauh berbeda dengan laporan tahun-tahun sebelumnya yang terus menunjukkan perluasan infrastruktur energi terbarukan.

Di Indonesia sendiri, energi terbarukan sudah mulai dikembangkan. Pada 2015 lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 5 MW di Desa Oelpuah, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur. Dengan ukuran produksi tersebut, ia diklaim sebagai yang terbesar di Indonesia. Selebihnya, panel surya juga beredar di pasaran untuk kebutuhan instalasi listrik rumahan meskipun belum menjadi tren massal.

Infografik Energi Terbarukan

Adapun kesepakatan lainnya adalah pemanfaatan tenaga angin. Dilaporkan Antara, Indonesia sepakat menjalin kerja sama sektor energi terbarukan berupa pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB) dengan total kapasitas sebesar 60 megawatt (MW) di wilayah Sulawesi Selatan.

Konstruksi dan penyediaan turbin di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, akan dilakukan oleh perusahaan asal Denmark Vestas Wind System. "Nantinya akan ada 21 turbin dengan masing-masing kapasitas sebesar 3,5MW, yang secara total menghasilkan listrik kurang lebih sebesar 60MW. Untuk konstruksi diharapkan selesai pada akhir 2017," kata Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, di Kopenhagen, Denmark, tahun lalu seperti dikutip Antara.

PLN sendiri nantinya berstatus sebagai pembeli dari listrik yang telah dihasilkan. Lewat kerja sama dengan Direktur Equis untuk Indonesia keduanya menyepakati berupa Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik atau Power Purchase Agreement (PPA). Maka, negara tidak mengeluarkan biaya untuk pembangunan dan instalasi tenaga angin yang digadang-gadang terbesar di Indonesia ini.

Wilayah geografis Indonesia sangat potensial untuk digarap. Melihat sinar matahari yang lebih terik melintasi Indonesia di garis khatulistiwa, potensi energi terbarukan lewat panel surya sangat menjanjikan untuk dikembangkan. Juga dengan pemanfaatan tenaga angin, panas bumi dan lainnya. Lebih-lebih jika nantinya listrik yang dihasilkan melimpah dan mampu menekan tarif dasar listrik ke harga yang terjangkau dan merata.

Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Teknologi
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani