tirto.id - “Saya Katolik yang tinggal di lingkungan mayoritas muslim,” kata Ben, memulai ceritanya.
“Ada 50 Kepala Keluarga yang beragama Islam, sementara saya termasuk satu di antara tiga keluarga non-muslim. Kami punya kegiatan rutin tiap hari raya. Saat natal kami membagi bingkisan ke semua warga. Kadang ada yang menolak dengan alasan macam-macam, tapi kami tetap lanjut sebab berbagi itu tidak pernah merugi.”
“Tiap lebaran kami mempersiapkan halal bi halal selama saudara-saudara muslim sedang salat Ied. Kebersamaannya sangat berharga. Suatu saat kami terkejut. Orang yang pernah tak mau terima bingkisan hadir juga. Kami bersyukur. Perbedaan memang ada, tapi kebersamaan akan muncul juga. Prinsip saya: bedo keno, guyub kudu. Beda boleh, rukun harus.”
Peserta acara peluncuran CERITAFest di Kedai Kopi 89, Kemang, Jakarta Selatan, bertepuk tangan. Ben naik panggung bersama Kyo, perempuan muslim, yang kemudian juga membagi kisahnya saat kecil dulu berada di keluarga beda agama.
“Ayah keluarga seorang kyai. Ibu Kristen, tapi mualaf, dan saya memutuskan jadi seorang muslim. Saat pake hijab, ibu melarang. Katanya akan bikin nenek syok. Saya kesal. Saya tetap memakainya sambil menangis di jalan. Agama saya Islam. Agama ada hal seluruh orang dan seluruh bangsa dan tidak ada satu orang pun yang berhak melarangnya.”
Pengunjung CERITAFest kembali riuh bertepuk tangan. Ben dan Kyo menutupnya dengan pesan tentang perbedaan yang tak boleh jadi alasan untuk tidak menghargai satu sama lain. Perbedaan ada untuk saling melengkapi satu sama lain.
Sepanjang tahun 2017 CERITAFest telah menggelar workshop storytelling dan memfasilitasi dialog bagi anak-anak muda yang aktif di Bandung, Jakarta, Malang, Yogyakarta, dan Solo. Workshop tersebut menghasilkan 144 Duta CERITA, yang kemudian melakukan replikasi workshop di 14 kota dam kabupaten.
CERITAFest merupakan kepanjangan dari “Community Empowerment for Raising Inclusivity and Trust through Technology Application”. Penggagasnya adalah The Habibie Center yang menggunakan seni bercerita (storytelling) untuk melawan diskriminasi, mendukung inklusivitas, dan membangun kepercayaan antar elemen masyarakat.
Kisah yang disampaikan Duta Cerita terpilih malam itu rata-rata menyimpan pengalaman traumatik di masa lampau. Ketika para duta bersentuhan dengan tindak intoleransi, diskriminasi, konflik horizontal, hingga dinamika politik yang dipenuhi aura kebencian.
Ada yang merasakan takbir jadi menakutkan selama Pilkada Jakarta 2017. Ada yang jadi saksi panasnya konflik antara Suku Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, pada tahun 2001. Ada pula yang di-bully semasa kecil karena beretnis Tionghoa, serta turut jadi korban kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Para Duta Cerita akhirnya memilih untuk berdamai dengan diri sendiri agar trauma itu sendiri hilang dengan perlahan. Mereka juga berupaya berdamai dengan orang yang dulu pernah terlibat konflik, juga dengan para pelaku tindak diskriminasi dan intoleransi. Mereka memilih untuk menjalin masa depan yang tenang, dalam bingkai ke-Indonesia-an yang kokoh.
Dalam sambutannya, Direktur The Habibie Center Rahimah Abdulrahim mengatakan bahwa Indonesia memang sedang butuh bercerita. Tentang hidup, cinta, kehilangan, dan sebagainya. Cerita tentang proses seseorang menjadi Indonesia.
“Mudah-mudahan bisa ikut menyebarkan cerita tentang kemanusiaan kita,” harapnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan