Menuju konten utama

Cerita Ramadan Arek Suroboyo di Nigeria

Tak banyak orang Indonesia di Nigeria. Salah satunya adalah Abdul Azis, arek Suroboyo yang sudah 6 tahun tinggal di Lagos. Ia menceritakan soal suhu panas hingga pengalamannya saat memakai sarung.

Cerita Ramadan Arek Suroboyo di Nigeria
Ramadan di Nigeria. FOTO/Azis Abdul

tirto.id - Pada 2011, tempat terjauh yang dibayangkan Azis Abdul untuk bekerja adalah Jakarta. Ia lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Jawa Timur. Setelah lulus dari jurusan Desain Produk, Institut Teknik Sepuluh Nopember, Azis sempat bekerja di sebuah perusahaan perhiasan di kampung halamannya. Ia bosan dan ingin mencari petualangan baru. Namun, tak ada nama Nigeria di benaknya. Hingga seorang dosen sekaligus kawan baiknya mengabari tentang lowongan di negara yang dijuluki Raksasa Afrika itu.

Didorong oleh keinginan melanglang dan menabrak zona nyaman, Azis menyanggupi tawaran itu. "Mungkin sebagai anak bungsu yang suka diam di rumah sejak kecil, dorongan pergi itu semakin kuat saat ada tawaran dari kakak kelas yang sudah bekerja tiga tahun di Lagos," katanya.

Nigeria tentu jauh amat jauh dari Jakarta, tempat yang ia bayangkan. Tapi toh ia menandatangani kontrak kerja. Maka tiga bulan setelah memberikan surat pengunduran diri, ia berangkat menuju Lagos.

Azis bekerja sebagai Art& Design Manager di perusahaan Newton & David Events Ltd. Tugasnya merancang sebuah acara. Mulai mendesain interior, hingga mengawasi jalannya acara. Sebagai manajer bidang desain, tugasnya mencakup desain dan interior produk, fashion, furniture, hingga grafis. Waktu kerjanya lebih ketat ketimbang kerja di Indonesia.

"Kadang iri dengan teman-teman di Indonesia yang punya hari kejepit atau cuti panjang karena tanggal merah yang banyak. Hidup di luar itu tidak seenak yang dibayangkan, we work like a dog," kata Azis sembari terkekeh.

Tak hanya iri soal jam kerja, Azis harus merasakan pedihnya merantau jauh, terutama ketika Ramadan datang. Kebetulan, Azis datang beberapa hari sebelum Ramadan.

Ramadan di Nigeria tak semeriah di Indonesia. Tak ada orang ngabuburit, katanya. Jelas pula nihil penjaja takjil di pinggir jalan. "Bahkan," kata Azis, "selama di Lagos sepertinya saya tidak pernah lihat orang makan kurma sebagai takjil."

Sebagai bujang rantau, Azis harus memasak sendiri supaya lebih hemat. Biaya hidup di Lagos lebih mahal ketimbang di kampung halamannya. Perbandingannya kira-kira 1:3. Jika di di Surabaya Azis mengeluarkan Rp20 ribu untuk makan, di Lagos ia harus merogoh Rp60 ribu.

Adaptasi Azis juga berkutat soal cuaca. Memang Azis terbiasa dengan iklim Surabaya yang panas dan berangin kering. Namun, Afrika tentu lebih panas. Bulan Mei 2017 ini, rata-rata suhu di Lagos mencapai 33-35 celcius. Aral bukan cuma itu, tapi juga perkara debu padang pasir.

Nigeria mengenal 3 musim: panas, hujan, dan harmattan. Ini adalah musim saat angin kering dan panas berhembus dari Sahara, melewati Afrika Barat menuju Teluk Guinea. Karena berhembus dari Sahara, ia membawa debu dan partikel pasir. Biasanya harmattan berlangsung pada November hingga Maret.

"Itu bulan yang paling aku benci, sebab rumah jadi amat berdebu," ujar Azis.

Islam yang Penuh Warna

Nigeria punya komposisi penduduk yang unik. Negara ini punya lebih dari 500 etnis. Nyaris tak jauh berbeda dengan keberagaman suku dan sub-suku di Indonesia. Kelompok etnis terbesar di Nigeria adalah Hausa, Igbo, dan Yoruba. Orang-orang Nigeria ini punya 500 lebih bahasa, walau mereka punya bahasa resmi, bahasa Inggris.

Islam dan Kristen menjadi dua agama mayoritas di sini, meski jumlah pastinya berubah-ubah. Dalam sensus pemerintah Nigeria yang dilakukan pada 1963, 38 persen warga Nigeria adalah muslim, dan 36 persen adalah pemeluk Kristen. Pada 2008, MEASURE Demographic merilis data bahwa ada 53 persen muslim di Nigeria dan 45 persennya adalah umat kristiani. Sedangkan menurut survei dari Afrobarometer pada 2008, 50 persen warga Nigeria adalah Kristiani, dan 49 persen muslim. Terbaru, Pew Research mengadakan survei tentang agama di Nigeria pada 2010. Hasilnya, 52 persen adalah muslim, 46 persen pemeluk Kristen, dan 1 persen beragama lain.

Karena sudah terbiasa menghadapi keberagaman, tak heran jika kita ada wajah Islam yang beragam pula di sini. Mayoritas adalah pengikut Sunni mazhab Maliki. Namun, ada banyak aliran-aliran lain. Menurut temuan Pew Forum dalam The World's Muslims: Unity and Diversity (2012), dari total umat muslim di Nigeria, ada 3 persen muslim Ahmadiyah, dan 12 persen muslim Syiah.

Selain itu ada juga pemeluk Islam sufi, tarekat. Yang juga menarik adalah penganut Islam Quraniyun, alias Quranisme. Aliran ini berpegang teguh pada Alquran dan menolak hadis. Para pemeluknya percaya bahwa pesan di Alquran sudah amat jelas, dan karenanya tak perlu dukungan hadis.

Menurut N. Hanif dalam Islam and Modernity (1997), juga Richard Voss dalam "Identifying Assumptions in the Hadith/Sunnah Debate" (1996), para Quranis ini menyangsikan keabsahan hadis dengan argumen bahwa Quran tidak pernah menyebut hadis sebagai sumber rujukan dalam Islam. Selain itu, menurut mereka, hadis ditulis sekitar 2 abad sejak Nabi Muhammad Muhammad, dan faktor itu membuat hadis bisa mengandung banyak kesalahan dan kontradiksi.

Sebenarnya, aliran ini bukanlah cabang baru, sebab pada era khalifah Abbasiyah, penulis dan ahli agama Ibrahim an-Nazzam membuat mazhab Nazzamiya yang menolak hadis dan memilih untuk berpegangan pada Alquran saja.

Jika itu belum cukup menarik, ada juga agama bernama Chrislam, sebuah perpaduan antara Kristen dan Islam. Praktiknya juga mengambil dari Alkitab dan Alquran. Penulis Sidney Greenfield menyebutnya sebagai "kearifan lokal warga Yoruba untuk sinkretisme."

Gerakan ini berkembang sejak 1970-an. Pengikutnya memang tak banyak, tapi beberapa orang di Nigeria meyakini bahwa kearifan lokal ini bisa menjadi jembatan penengah antara Islam dan Kristen. Apalagi saat ini di Nigeria gerakan ekstremisme sedang membesar. Beberapa menebar teror, seperti yang dilakukan oleh Boko Haram.

Infografik Ramadan di Nigeria

Tarawih yang Panjang

Sama seperti di Indonesia, umat Islam di Nigeria harus berpuasa sekitar 14 jam. Azis paling merindukan suasana Ramadan yang meriah seperti di Indonesia. Di Lagos, tak ada tradisi tadarusan, misalkan. Di Indonesia, tradisi seperti ini masih banyak ditemui. Biasanya dilakukan selepas tarawih.

"Kalau di Lagos, setelah witir ya langsung pulang. Tapi mungkin di Abuja ada beberapa sih, soalnya saya pernah dengar orang mengaji di masjid jelang Subuh," kata Azis.

Di Lagos, salat tarawih paling umum adalah 8 rakaat. Namun, surat bacaannya lebih panjang. Seperti di Ampel, kata Azis menyebut daerah di Surabaya yang merupakan kawasan religius. Setiap malam, surat-surat Alquran sebanyak 1 juz dibacakan saat tarawih.

"Kadang suka enggak konsentrasi karena kepanjangan," ujarnya sambil tertawa.

Makanan kesukaan Azis di Nigeria adalah asun, kambing rempah pedas yang merupakan makanan khas orang Yoruba. Sebelumnya, pernah pula Azis suka sup egusi. Sedangkan nasi jollof mengingatkan Azis pada nasi goreng. Ramadan di Nigeria berjalan seperti hari biasa. Tak ada restoran atau warung yang disidak dan dipaksa untuk tutup. Di Nigeria, sebutan untuk warung adalah bukka.

Jauh dari rumah membuat Azis menjalani Ramadan dengan penuh kerinduan. Ia kangen suara tadarus di dekat rumahnya. Kangen suara sang ayah yang melantunkan ayat Alquran di masjid. Kangen masakan ibu, tongkol kecap, urap, dan sambal terasi. Apalagi tak banyak warga Indonesia di Nigeria. Azis memperkirakan hanya ada 300 orang saja.

Namun, nyaris 6 tahun tinggal di Nigeria, Azis sudah hafal kebiasaan warga muslim Nigeria. Misalkan: pria muslim Nigeria suka memakai gamis beraneka warna. Selain putih yang jadi warna umum, ada pula gamis berwarna kuning, cokelat, ungu, biru, bahkan merah muda. Selain itu Azis tak akan pernah lagi salat di masjid dengan menggunakan sarung. Ia pernah memakai sarung ketika salat Idul Adha di tahun pertama ia tiba. Sepanjang jalan, banyak orang memperhatikan sarungnya.

"Saya baru tahu kalau mereka tak tahu sarung. Kalaupun ada sarung, itu dipakai oleh perempuan."

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Humaniora
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono