Menuju konten utama

Cerita di Balik si Mungil Kancing

Ada kalanya kancing menjadi tanda status sosial.

Cerita di Balik si Mungil Kancing
Ilustrasi kancing. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Bagi Sandi Olsen, kancing bukan sekadar pengait pakaian. “Kancing adalah seni, dalam miniatur,” ucapnya. Dilansir The Bulletin, hampir setiap hari selama lebih empat dasawarsa perempuan dari Oregon ini mengumpulkan kancing.

Ada sekitar sejuta kancing memenuhi dua ruangan koleksi Olsen di rumah. Kancing-kancing dari kayu, keramik, tulang, kain, logam, kaca, enamel, yang dibuat tangan maupun bikinan pabrik, dari AS maupun mancanegara, dari abad ke-18 hingga 21, semua disusun rapi di dalam kabinet oleh presiden klub kolektor kancing, Eugene Button Club ini.

Komunitas tempat Olsen bergabung hanyalah satu dari sekian banyak komunitas kolektor kancing di berbagai belahan dunia. Pada tahun 1938, National Button Society dibentuk di AS, disusul kemudian Pioneer Button Club di Kanada pada 1960. Inggris pun tak mau ketinggalan, pada tahun 1976, British Button Society dibentuk. Sementara di Australia, ada The Victorian Button Collectors Club yang dibentuk sejak 1996.

Rekam Jejak si Penaut Pakaian

Tiap kancing punya cerita berbeda. Ada yang melekat pada gaun pernikahan atau seragam sekolah sekian dekade lalu, ada yang dikreasikan untuk memperingati suatu peristiwa bersejarah atau memotret kebudayaan tertentu. Kancing kesukaan Olsen misalnya, berupa kancing logam berukir yang dibuat untuk memperingati peristiwa 9/11.

Di Ohio State University, terdapat koleksi kancing Ann Rudolph, istri seorang profesor di sana. Salah satu koleksi Rudolph adalah kancing dari Jepang bermaterial keramik yang disebut Satsuma button. Di kancing tersebut tergambar lukisan tradisional Jepang yang mengingatkan pada seni cetakan kayu ukiyo-e.

Menurut buku An Encyclopedia of the History of Technology (1990), mulanya, kancing tidak lebih dari sekadar ornamen. Benda ini diperkirakan telah ada sejak 5000 tahun silam di daerah Mohenjo-daro, Lembah Indus, dan terbuat dari kerang.

Baru pada abad ke-13 kancing dipergunakan sebagai pengait pakaian. Encyclopedia.com menulis, lubang kancing dibawa ke Eropa dari Timur Tengah oleh orang-orang yang kembali dari Perang Salib. Setelahnya, kancing menjadi bagian tetap dalam pakaian laki-laki semasa Renaissance, seperti pada bagian depan jaket, lengan pakaian, dan celana. Logam, kayu, dan tulang menjadi bahan-bahan dasar yang dipilih oleh pembuat kancing di Paris pada masa itu.

Tidak semua orang mengenakan pakaian berkancing pada masa itu. Kancing, khususnya yang terbuat dari emas, perak, dan gading, menjadi penanda status sosial atau kekayaan seseorang yang mengenakannya pada sekitar abad 14.

Di Cina, kancing merefleksikan pula kepercayaan masyarakatnya. Dalam Accessories of Dress: An Illustrated Encyclopedia (2004) disebutkan, orang-orang Cina memakai mantel dengan lima kancing pada bagian depannya. Lima kancing ini mewakili lima kebaikan yang diajarkan Konfusius: kerendahan hati, keadilan, keteraturan, kebijaksanaan, dan kejujuran. Pada abad 18, penggunaan kancing di Inggris semakin populer.

Tidak lagi menjadi hiasan semata, kancing dilekatkan pada pakaian dengan alasan fungsional. Maraknya pemakaian kancing di berbagai kalangan dipicu oleh kemunculan teknologi yang memungkinkan produksi massal. Lain di Inggris, lain di Perancis. Pada periode yang sama, kancing masih sering dilihat sebagai seni dekoratif kualitas tinggi.

Kala itu, foto-foto mini yang dilekatkan pada bandul kalung sedang naik daun. Tak mau ketinggalan tren, kancing-kancing di Perancis pun dibuat serupa. Peristiwa dan orang-orang ternama dalam sejarah, panorama, serta monumen digambar secara manual. Layaknya lukisan, identitas si pembuat kancing pun disertakan pada bagian belakang kancing.

Pada abad ke-19 dan 20, kancing menjadi salah satu penanda identitas kalangan militer. Tentara di setiap negara, pada setiap bagian, dan setiap era memiliki kancing dengan gambar berbeda pada seragamnya. Kancing sebagai penanda identitas ini kemudian diadopsi di seragam untuk bidang lain seperti maskapai, kepolisian, dan perusahaan-perusahaan modern.

Kebutuhan kancing yang meningkat mendorong manufaktur kancing berpaling ke material lain yang lebih terjangkau: plastik. Sejak tahun 1870-an, kancing berbahan plastik sudah diperkenalkan, tetapi baru pada tahun 1930-an penggunaannya meluas. Perang Dunia II dikatakan membawa pengaruh terhadap kemunculan kancing berbahan plastik. Kancing akrilik dibuat dari sisa material yang dipakai dalam manufaktur senjata.

Perempuan di Kiri, Laki-Laki di Kanan

Bila Anda perhatikan, ada perbedaan letak kancing pada pakaian laki-laki dan perempuan. Pada pakaian laki-laki, kancing dijahit di sisi kanan pakaian, sebaliknya dengan kancing pada pakaian perempuan.

Selama era Renaissance dan Victorian, pakaian perempuan kelas menengah ke atas di Eropa cenderung lebih rumit dibanding laki-laki. Dalam Live Science dikatakan, mereka harus mengenakan rok dalam, rangka, dan korset di balik gaunnya. Karenanya, perempuan-perempuan berada meminta bantuan asisten atau pembantu untuk memakaikan gaun ke tubuhnya. Untuk mempermudah pekerjaan para asisten, pembuat pakaian pada masa itu berinisiatif untuk menggeser posisi kancing yang tadinya di kanan menjadi di kiri.

“Karena kebanyakan orang lebih sering beraktivitas dengan tangan kanan, peletakan kancing di kiri [untuk baju perempuan] akan mempermudah orang yang berdiri di seberangnya untuk mengancingkan pakaian,” ujar Melanie Moore penggagas merek pakaian Elizabeth & Clarke dalam Today.

infografik kancing

Ada juga asumsi lain mengapa kancing pakaian perempuan ada di sebelah kiri: umumnya perempuan menopang bayi dengan tangan kiri dan tangan kanannya digunakan untuk beraktivitas, termasuk membuka pakaian berkancingnya saat hendak menyusui. Untuk mempermudah aktivitas ini, diletakkanlah kancing di sebelah kiri pakaian perempuan.

Soal kancing pakaian laki-laki yang lazimnya ada di kanan, ahli sejarah fashion Chloe Chapin mengatakan, sebagian besar elemen pakaian laki-laki berakar dari pakaian militer. Kala itu, masih dengan asumsi tangan yang dominan adalah tangan kanan, pakaian militer diciptakan dengan kancing di kanan. Tujuannya, supaya senjata yang diposisikan di kiri badan tidak tersangkut kancing ketika hendak diambil.

Kancing sudah melewati tahap dipandang sebagai karya seni dan sebagai benda fungsional. Namun pada perkembangannya hingga kini, kedua aspek kancing tersebut masih bagaikan dua sisi mata uang. Ia tak hanya menjadi pengait baju, tetapi juga fitur fashion yang dimanfaatkan sebagian orang untuk tampil gaya dan berbeda.

Lihat saja bagaimana penyanyi Erykah Badu memanfaatkan kancing dalam salah satu gaya busananya yang tak biasa. Dalam sebuah post di Instagram, ia tampil dalam balutan baju kerut pink-biru, dengan sebelah lengan yang dipenuhi kancing aneka ukuran dan warna.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Humaniora
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani