tirto.id - Direktorat Tindak Pidana Siber Polri sedang memantau penyebaran propaganda ideologi terorisme dan radikalisme di internet dan media sosial, untuk mencegah bangkitnya sel tidur (sleeping cell) teroris.
“Itu kami pantau. Setiap informasi dari patroli siber terkait suatu seruan serangan teroris siber [cyber terrorism] akan kami dalami,” kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Selasa (2/4/2019).
Jika ada yang ditangkap, lanjut dia, polisi juga akan mencari jaringan komunikasi serta isi informasi yang dipropagandakan. “Bagaimana jaringan komunikasi, isi-isi berita mereka, nanti akan dapat terdeteksi oleh tim,” ujar Dedi.
Polri menemukan fakta bahwa 11 terduga teroris yang telah ditangkap Densus 88 sejak Maret lalu, menggunakan media sosial dan WhatsApp untuk saling berkomunikasi.
Semisal, kelompok terduga teroris Bandung diduga kerap berkomunikasi dan membahas rencana aksi teror dengan jaringan Sibolga-Lampung melalui grup WhatsApp.
Bahkan, Dedi menambahkan, para terduga teroris diduga terpapar ideologi radikal melalui informasi yang mudah diakses seperti tayangan video di YouTube.
“Seperti jaringan Sibolga, meski tidak berangkat ke Suriah, [mereka] mendengarkan, menonton dan melihat ceramah melalui video YouTube, [sehingga dapat terpapar],” kata eks Wakapolda Kalimantan Tengah itu.
Setelah menangkap para anggota jaringan Sibolga-Lampung pada Maret lalu, Densus 88 Antiteror menciduk terduga teroris berinisial WP alias Sahid di Desa Bojongmalaka, Baleendah, Bandung Jawa Barat, Kamis (28/3/2019).
WP diduga adalah anggota jaringan Bandung yang terdiri atas 6-8 orang. Mereka diduga berencana merampok mobil pengirim uang mesin ATM untuk mengumpulkan modal melakukan aksi teror di Jawa Timur.
“WP masih dalam jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung, tapi terpisah dengan jaringan Sibolga maupun Lampung, tapi semua memiliki keterkaitan,” ujar Dedi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom