tirto.id - Minggu, 10 Maret 2019, Stadion Emirates menjadi tempat yang tidak menyenangkan bagi Ole Gunnar Solskjaer. Di markas Arsenal itu, sebagai pelatih Manchester United, Solskjaer mengalami kekalahan pertamanya di Premier League.
Sebelumnya, Ole berhasil membawa Setan Merah tak terkalahkan dalam 10 pertandingan dengan raihan 8 kemenangan dan 2 hasil imbang. Lalu datanglah gol Granit Xhaka serta Pierre Emerick-Aubameyang yang mengubah peruntungan mantan penyerang Manchester United tersebut: Arsenal dua, Manchester United kosong.
Namun, Ole ternyata mampu menyikapi kekalahan itu secara positif.
"Aku kecewa dengan hasil akhir, tetapi kinerja tim amat bagus," kata Solskjaer. "Kami menciptakan empat atau lima peluang emas, digagalkan mistar gawang dua kali, dan Leno [kiper Arsenal] tampil bagus. Amat jarang Anda bisa pergi ke Arsenal untuk menciptakan peluang lebih banyak daripada mereka."
Soal David de Gea yang tak bereaksi ketika Granit Xhaka mencetak gol pertama Arsenal, Ole juga tak mau menyalahkan kiper pertama United tersebut. Saat banyak orang mempertanyakan de Gea, Solskjaer justru mengatakan, "Dia [Xhaka] pasti orang Brasil. Karena caranya dalam menendang bola membuat bola bisa berputar dan bergerak di udara. Bola itu mengarah ke sebelah kiri David lantas berubah arah sepenuhnya."
Respons positif Ole ini jelas penting bagi Setan Merah yang saat ini masih berjuang untuk menembus empat besar Premier League, meraih gelar Piala FA, serta membikin kejutan di Liga Champions Eropa.
Sikap Positif karena Berjuang Melawan Cedera Lutut
Menurut Jonathan Northcroft, jurnalis The Times, Ole memang terbiasa bersikap positif. Sikap positif itu merupakan alasan mengapa Ole mampu mencetak gol kemenangan United atas Bayern Munchen pada final Liga Champions 1999 silam, dan sekitar 20 tahun setelahnya, mampu membawa United menciptakan keajaiban di markas PSG pada leg kedua babak 16 besar Liga Champions Eropa.
Namun, ada satu kejadian yang kelak bisa membuat orang sadar bahwa Ole memang mempunyai hati sekuat baja: pada Oktober 2006 silam, setelah selama tiga musim bergelut dengan cedera di lutut kaki kanannya, Ole mampu tampil penuh untuk pertama kalinya. Tak main-main, ia juga berhasil mencetak dua gol dalam pertandingan itu.
Northcroft menulis, "Dan dia [Ole] tidak hanya berhenti sampai di situ: meski sudah berusia 33 tahun, ia terus melaju, memainkan peran penting bagi United untuk kembali merebut gelar Premier League musim 2006-2007."
Selama tiga tahun sebelum hari yang menggembirakan itu, rasa sakit di lutut sebelah kanan adalah karib Ole sehari-hari. Rasa sakit itu muncul ketika United bermain melawan Wolverhampton pada 23 Agustus 2003 dan seakan tak mau berhenti menghantuinya. Ia naik turun ke meja operasi, berulang kali kembali bertanding, tapi tetap tak mampu bermain seperti semula.
Untuk sebuah lubang yang berada di tulang rawan lutut kanan Solksjaer, statistik Premier League pun mencatat: Ole hanya bermain dalam 13 pertandingan pada musim 2003-2004, sama sekali tidak bermain pada musim 2004-2005, dan hanya bermain tiga kali pada musim 2005-2006. Dan dalam 16 pertandingan selama tiga musim tersebut, ia sama sekali tidak mampu mencetak gol.
Soal cedera lututnya itu, hari-hari paling buruk bagi Ole terjadi pada akhir musim 2003-2004. Tetapi, Solskjaer tak sedikit pun mau menyerah.
"Tiga bulan terakhir pada musim lalu [2003-2004] jelas merupakan waktu yang paling buruk. Aku kembali bermain tetapi tidak merasa baik. Aku kesakitan di sepanjang waktu. Bahkan hanya untuk berjalan saja, sakit rasanya. Aku sering menghibur diri dengan mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja, dan jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu itu," kenang Solskjaer, dalam wawancaranya dengan The Times pada 2005 lalu.
Semula, pikiran positif Solkjaer itu tentu terlihat menggelikan. Pasalnya, sempat kembali melakukan come-back musim panas 2005, ia kembali tumbang. Media-media Inggris pun beramai-ramai meramal masa depan Ole. Kata mereka: "Waktu bagi Ole sudah habis", "Dokter mengatakan bahwa karier Ole sudah berakhir," hingga "Sokskjaer menghadapi masa-masa pensiun."
Namun, Ole akhirnya mampu mempermalukan media-media Inggris. Lewat kerja keras dan keyakinan, Ole akhirnya sembuh; ia mampu mengubah optimisme itu menjadi realita, sekaligus menyulap dengkul yang coplok menjadi sekuat baja. Pada akhir musim 2006-2007, tampil dalam 29 pertandingan, ia pun bisa pensiun dengan kepala tegak sambil menenteng gelar Premier League terakhirnya.
Selalu Mempunyai Rencana Baru
"Saat aku bisa kembali bermain untuk United, aku tidak hanya ingin tampil dengan 95% kemampuanku, tapi dengan 100% kemampuanku."
Mantra itu adalah salah satu alasan mengapa Solskjaer bisa ke luar dari cedera lutut yang amat panjang. Dan pada saat ini, mantra tersebut barangkali menjadi salah satu alasan mengapa Solskjaer mampu menyulap United dalam waktu yang singkat.
Dalam sebuah wawancaranya dengan salah satu radio dari Norwegia, Solskjaer menjelaskan bagaimana kesehariaannya sebagai pelatih Manchester United. Ia biasanya datang ke Carrington, tempat latihan United, pada pukul setengah delapan pagi. Sesampainya di tempat itu, ia akan menyantap sarapan pagi bersama staf United yang ada di Carrington.
Setelah itu, ia akan berdiskusi dengan staf pelatih United, sambil berkonsultasi dengan tim analisis, untuk menyiapkan menu latihan dalam satu minggu ke depan. Jika ada pertandingan yang berdekatan, dalam diskusinya, Ole akan membagi staf pelatih serta tim analisis menjadi dua. Dari sana, mereka tak akan kesulitan dalam mengatur rencana untuk menghadapi pertandingan berdekatan tersebut.
Selanjutnya mudah: setelah para pemain United melihat video tentang kelebihan atau kekurangan yang dimiliki tim lawan, mereka akan menonton rencana latihan melalui smartboard, lalu menerapkannya di dalam latihan.
Yang menarik, Solskjaer lantas mengakui bahwa salah satu kunci sukses United di bawah asuhannya bukan hanya terjadi karena perubahan sikap para pemainnya, melainkan juga karena perubahan pendekatan taktik United. Menurutnya, formasi 4-4-2 berlian yang mulai diterapkan saat United berhasil mengalahkan Tottenham Hotspur 0-1 pada 13 Januari 2019, merupakan momentum dari kebangkitan Setan Merah akhir-akhir ini.
Dan, Solskjaer ternyata sudah merencanakan perubahan itu jauh-jauh hari, tepatnya saat United berlatih di Dubai pada awal Januari 2019.
"Di Dubai kami menghabiskan waktu sekitar 3-4 hari untuk melatih formasi itu, yang mungkin menjadi hal sangat penting bagi kami. Itu memberi kami momentum, dan itu barangkali merupakan perubahan nyata selain perubahan sikap dan ‘mengumpan bola ke depan.’ Kami bermain dengan false nine dan kami berhasil mencetak gol dengan cara yang sudah kami latih," tutur Solskjaer.
Dan kekalahan dari Arsenal tampaknya tak menjadikan Solskjaer terpuruk, tapi memantik dirinya untuk menerapkan rencana-rencana baru.
Editor: Mufti Sholih