tirto.id - Polisi memeriksa data diri dan meminta nomor ponsel sembilan pelajar asal Papua. Setelah itu polisi meminta mereka berikrar "cinta NKRI". Semua itu dilakukan di dalam sekolahan mereka, SMKN 1 Winongan, Pasuruan, Jawa Timur, Senin (26/8/2019) lalu.
Veronica Koman, pengacara HAM untuk isu Papua, menyebut ada unsur pemaksaan oleh polisi terkait deklarasi "cinta NKRI" tersebut. Keterangan Veronica, didapat dari pengakuan pelajar yang ketakutan dan menangis usai disuruh berikrar sembari difoto dan direkam.
26/8/19 East Java
— Veronica Koman (@VeronicaKoman) August 27, 2019
8 pelajar Papua dipaksa polisi membacakan teks cinta NKRI untuk direkam. Cek twit setelah ini.
Police reportedly forced West Papuan students to be recorded reading out an Indonesian nationalist text, leaving at least 1 student in tears. Rec in next tweet pic.twitter.com/B71Ak13Pr8
"Pace mace kita pelajar papua
Kita nyaman, aman, belajar di pasuruan
Kami cinta papua
Kami cinta indonesia
Salam dari SMK Negeri Winongan Pasuruan Jawa Timur."
Kapolres Pasuruan AKBP Rizal Martomo mengakui, foto dan rekaman video itu benar. Hanya saja dia membantah ada unsur pemaksaan.
"Kami mengajak mereka untuk cinta NKRI. Jadi mari sama-sama tetap cinta NKRI," kata Martomo, kepada reporter Tirto, Rabu (28/8/2019).
Martomo menambahkan, rekaman video pelajar itu untuk, "Menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif kepada pelajar Papua di Kabupaten Pasuruan."
Dia memastikan agar para pelajar itu, tak terpengaruh isu penolakan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Asrama Kamasan, Tambaksari, Surabaya, Jumat (16/8/2019) lalu.
Sedangkan Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Frans Barung Mangera mengatakan, kegiatan itu, bagian dari kinerja polisi dalam menjaga keamanan pelajar Papua. Semua itu dilakukan atas kerja sama Polres dengan Pemkab Pasuruan.
Di berbagai daerah lain, polisi juga melakukan hal serupa. Sejumlah polres di Indonesia pada dua pekan terakhir, menggelar kegiatan simbolik yang melibatkan pelajar Papua. Di antaranya: Polres Trenggalek, Polres Ciamis, Polres Tuban, Polres Boyolali, hingga Polres Demak.
Cara Polisi Justru Berpotensi Bikin Gaduh?
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menganggap, tidakan polisi tersebut tak tepat. Malah menunjukan lemahnya sense of crisis polisi, di tengah protes anti-rasisme terhadap mahasiswa asal Papua. Terlebih risikonya, polisi justru akan menambah kegaduhan.
"Tampak berlebihan. Harusnya polisi bertindak lebih soft dan smart," kata Bambang.
Agar protes anti rasisme tak meluas, kata Bambang, harusnya polisi cukup tujukan keseriusan menegakan hukum. Mencari pelaku tindakan rasisme dan persekusi terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya.
Hingga kini hanya ada satu orang, Tri Susanti yang menjadi tersangka kasus itu. Sedangkan anggota TNI-Polri yang diduga turut melakukan tindakan serupa, lolos dari dijerat pidana.
"Kasatwil Surabaya dan Jatim sebagai penanggung jawab harus segera dicopot. Itu kalau polisi benar-benar melakukan tindakan yang Promoter yakni profesional, modern, dan terpercaya," imbuhnya.
Sedangkan Staf Komunikasi dan Media Amnesty Internasional Indonesia Haeril Halim mengatakan, klaim polisi tidak ada unsur paksaan terhadap para pelajar itu harus diuji.
"Perlu ditelaah lebih lanjut apakah siswa-siswi tersebut dalam tekanan ketika menyetujui untuk melakukan rekaman tersebut," kata Haeril.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Dieqy Hasbi Widhana