tirto.id - Pada 8 November 2016 lubang (sinkhole) berdiameter 30 meter dengan kedalaman 15 meter muncul di salah satu ruas jalan Kota Fukuoka, Jepang. The Guardian, sebagaimana mengutip laporan media lokal, menyebut lubang di tengah jalan itu tercipta karena pembangunan konstruksi bawah tanah. Saat lubang tercipta, warga lokal yang mendengar “ledakan.” Listrik dan instalasi telepon yang berada di sekitar lubang, mati. Namun, dalam hitungan 48 jam, lubang raksasa itu sudah tertutup.
Para pekerja dinas pekerjaan umum Fukuoka menutup lubang raksasa dengan 6.200 meter kubik pasir dan tanah. The Guardian menyebutnya sebagai buah dari “kegigihan dan efisiensi kerja ala Jepang.”
Suksesnya perbaikan salah satu jalan di Fukuoka dalam tempo singkat merupakan buah dari kerja keras. Namun, selain kerja keras, ada teknologi yang membantu perbaikan atau pembangunan infrastruktur dalam waktu relatif cepat. Teknologi Accelerated Bridge Construction alias ABC salah satunya.
“Departemen pekerjaan umum biasanya tidak melihat pengemudi sebagai pelanggan,” kata Frank DePaola, administrator divisi jalan raya Massachussets, pada The New York Times. “Dalam waktu yang lama, departemen pekerjaan umum terlalu fokus pada proyek pembangunan jalan, dan itu bisa saja dibaca bahwa konsumen mereka ialah para kontraktor,” tambahnya.
Saat infrastruktur hendak dibangun atau diperbaiki, khususnya jalan raya atau jembatan, pengguna jalan jadi korbannya. Pengalihan arus, kemacetan yang tiada terurai, jadi santapan tatkala proyek pembangunan dimulai. Namun, hal itu tidak terjadi saat The River Street Bridge, jembatan yang ada di Kota Massachusetts diperbaiki.
Pengguna jalan tetap bisa melintas rute yang saban hari mereka lewati, melalui jembatan The River Street Bridge. Perbaikan dilakukan dengan teknik yang dinamakan ABC. ABC merupakan paradigma teknologi untuk meminimalkan dampak mobilitas atas pembangunan infrastruktur, khususnya dalam konteks pembangunan atau perbaikan jembatan.
Dalam laman resmi Federal Highway Administration (AS) ABC punya tiga bagian fundamental. Prefabricated Bridge Elements and Systems (PBES), Slide-In Bridge Construction, dan Geosynthetic Reinforced Soil Integrated Bridge System (GRS-IBS).
PBES, secara sederhana, merupakan paradigma membangun jembatan baru di samping jembatan lama. Sembari jembatan baru dibangun, jembatan lama dipertahankan fungsinya. Setelah jadi, Slide-In Bridge Construction dilakukan. Ini artinya menggeser jembatan baru untuk menempati lokasi jembatan lama, setelah jembatan lama dibongkar. Penggeseran jembatan baru ke lokasi jembatan lama dilakukan dalam waktu 48-72 jam.
Selepas jembatan baru menempati posisi yang semestinya, tahapan GRS-IBS dimulai. Ia diartikan sebagai proses membangun infrastruktur pendukung jembatan baru yang telah berada di tempat semestinya.
Untuk mengukur efektivitas, ABC punya dua indikator: onsite construction time dan mobility impact time. Onsite contruction time merupakan ukuran waktu seberapa lama konstruksi sejak dimulai hingga berakhir. Khususnya ketika jembatan lama dibongkar hingga jembatan baru diletakkan. Sementara mobility impact time merupakan ukuran waktu seberapa kemacetan yang terjadi di tiap-tiap fase pembangunan dilakukan. Periode Onsite construction time dan mobility impact time makin pendek makin bagus.
Dalam proses pembangunan, setidaknya ada 5 varian kemacetan yang timbul, antara lain: Tier 1, kemacetan yang akan berlangsung antara 1-24 jam. Tier 2, kemacetan mungkin timbul hingga 3 hari. Tier 3, periode kemacetan hingga 2 minggu. Tier 4, selama 3 bulan, dan Tier 5, dalam hitungan tahun. ABC merupakan teknik yang membuat periode kemacetan hanya terjadi pada Tier 1 atau 2.
Dalam kasus The River Street Bridge, jembatan baru seberat 400 ton dibangun berdampingan dengan jembatan lama. Selepas jembatan baru itu jadi, ia lantas digeser. Kerja yang semestinya membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, selesai dalam hitungan hari.
“Jika Anda belum melihat teknik ini, ini seperti Anda mengambil jembatan (baru) dan menempatkannya di jembatan lama,” kata Victor M. Mendez, kepala Federal Highway Administration.
“Ini nampaknya akan menjadi sesuatu yang normal (di kemudian hari),” katanya.
Teknologi ABC penting karena Kota Massachusetts memiliki banyak jembatan yang mesti diperbaiki. Dengan menggunakan teknik ABC, kota tersebut sukses memperbaiki 14 jembatan dalam tempo 10 pekan.
Data dari Federal Highway Administration menyebutkan ada 600 ribu jembatan di Amerika Serikat yang perlu diperbaiki, ABC adalah solusinya.
Selain ABC banyak teknologi yang membuat kegiatan konstruksi efektif dan efisien. Di Indonesia ada teknologi sosrobahu. Di konstruksi bangunan bertingkat misalnya, di Cina, The Guardianjuga melaporkan pembangunan gedung pencakar langit di Kota Changsa Cina pada 2015, gedung setinggi 57 lantai diklaim selesai dalam 19 hari. Kontraktor menggunakan metode modular, yaitu membuat ribuan modul sebelum konstruksi dimulai.
Teknologi pembangunan dan perbaikan jalan dengan cara kilat juga sudah berkembang. Jonathan Holmes dan rekan-rekannya di Georgia Tech Reserach Institute mengembangkan alat bernama Automated Pavement Crack Detection and Refilling System. Alat itu, dengan menggunakan kamera stereo dan light-emitting diode, akan melacak keretakan pada jalan, menandai, dan lantas menyuntikkan aspal. Alat ini sanggup bekerja melintasi jalan beraspal sepanjang lima km per jam.
Holmes, pada Gizmodo, mengatakan alat tersebut berfungsi mirip “dot matrik printer.” Dalam hitung-hitungan tim Georgia Tech Research Institute, alat ini sanggup mendeteksi 85 persen keretakan yang ada di jalan. Tingkat pendeteksian yang lumayan tinggi itu tercipta karena alat ini menggunakan LED warna merah dan hijau untuk mendeteksi keretakan, terutama yang berukuran kurang dari tiga milimeter.
Selain Automated Pavement Crack Detection and Refilling System, pembangunan cepat pun kini dimungkinkan oleh teknologi bernama printer 3D. Pada 1983, merujuk paper berjudul “Innovation in 3D Printing: A 3D Overview from Optics to Organs” yang ditulis oleh Carl Schubet, peneliti pada University of Utah, printer telah 3D lahir. Printer yang mampu mencetak objek 3D tersebut diciptakan oleh ilmuwan bernama Charles Hull. Dalam percobaan pertamanya, Hull menggunakan mesin buatannya untuk membuat bingkai kacamata.
Andrew Walker, mantan reporter BBC dan pakar teknologi pada Sky News, dalam tulisannya di The Independent, mengatakan printer 3D merupakan mesin generasi baru yang dapat digunakan untuk membuat berbagai macam benda. Printer 3D dianggap sebagai mesin yang “luar biasa” karena dapat menghasilkan berbagai jenis barang dari mesin yang sama.
“Kami hanya berpikir, di masa depan seluruh produk (nampaknya) akan dicetak melalui printer 3D [...] Alih-alih hanya mencetak bagian-bagian tertentu, jika kami mampu mencetak semuanya, itu akan menjadi masa depan,” kata Tim Ellis, mantan karyawan Blue Origins.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti